GUNUNG EMAS ALMAYER
Sutradara: U Wei Haji Saari
Skenario: U Wei Haji Saari berdasarkan novel karya Josep Conrad berjudul “Almayer's Folly: A Story of an Eastern River”
Pemain: Peter O’Brien, Alex Komang, Rahayu Saraswati, El Manik, Sofia Jane, Diana Danielle, Ady Putra
Produser: Rahayu Saraswati Djojohadikusumo
***
“Ibu menyebut Ayah sebagai setan; Ayah memanggil ibu nenek sihir. Lalu aku ini siapa?” demikian si jelita Nina (Diane Danielle),.
“Kau adalah anugerah Tuhan,” kata si tampan Dain Maroolah (Ady Putera) merayu.
Dua sejoli itu berbincang di tepi sungai. Sang lelaki, Dain Maroolah, pangeran Malaka yang jatuh cinta pada Nina, seorang puteri pasangan yang saling membenci: Kaspar Almayer (Peter O’Brian), seorang pedagang Belanda dan Nyonya Almayer (Sofia Jane), seorang perempuan Melayu. Hubungan mereka adalah sebuah hubungan terlarang. Sang Ayah tak akan menyetujui puterinya menikah dengan lelaki Melayu.
Ini satu adegan kecil dari film yang mengambil setting hutan Kalimantan (dahulu bernama Borneo) abad 19 yang diadaptasi dari novel pertama sastrawan Inggris terkemuka Joseph Conrad. Di dalam film ini, Kaspar Almayer adalah seorang arkeolog dan pedagang senjata Belanda yang mempunyai mimpi menemukan harta karun di kaki Gunung Emas di Selat Malaka. Almayer bercita-cita kekayaan itu akan digunakan untuk kembali ke Belanda, tanah air yang tak pernah dikenalnya, karena ia dilahirkan di Singapura. Tapi upayanya menemukan emas itu tak pernah berhasil. Di dalam hutan itu, ada pedagang Arab (Alex Komang) dan ketua suku adat setempat (El Manik) yang saling intrik yang bersaing. Belum lagi selalu saja ada ancaman tentara kolonial Inggris dan para perompak.
Di tengah ketakpastian situasi finansial yang semakin memburuk, Almayer bertemu dengan Dain Maroola , pangeran Malaka yang datang untuk membeli bubuk mesiu dari Almayer. Dain juga berjanji untuk mengantar ke area Gunung Emas. Pada saat itulah Dain bertemu dengan puteri Almayer dan mereka saling jatuh cinta.
Dengan durasi yang begitu panjang dan skenario yang kurang rapi serta subplot yang berloncatan—kita senantiasa tak yakin apakah mereka tengah sibuk berdagang mesiu atau sedang ada serangan perompak —menyaksikan film ini membutuhkan kesabaran luar biasa. Problem paling nyata: seni peran. Nyonya Almayer yang hampir selalu berteriak-teriak memaki suaminya yang pemimpi sementara Almayer yang senantiasa tampak bermesraan dengan botol alkohol dan hampir selalu mabuk. Stereotip yang lama-lama melelahkan. Apalagi di antara situasi stereotip itu, sang puteri yang diam-diam bermesraan dengan pangeran cakep melayu sehingga sang putri merasa “saya orang Melayu,” katanya menentang Almayer.
Karya pertama Joseph Conrad ini bukanlah karya terbaik dan terbesar sastrawan yang kelak menjadi panutan banyak sastrawan dunia terkemuka. Yang membuat karyanya dianggap sebagai salah satu monumen di masanya adalah keberaniannya menjadikan seorang antihero sebagai protagonis. Di dalam film ini, meski Almayer adalah seorang antihero: pemimpi, pemabuk, pedagang yang banyak utang tetapi sangat mencintai puterinya. Dia seharusnya menjadi antihero yang tetap dibela dan disayang penonton. Tapi nyatanya itu tak pernah terjadi. Tokoh Almayer tampak seperti seorang asing yang hanya bosan menetap di hutan yang banyak nyamuk itu.
Conrad, yang hampir selalu mengisahkan pelayaran atau masuknya orang asing ke ‘dunia baru’ –Asia atau Amerika Selatan—tanpa pernah mengunjungi tempatnya, lazimnya berkisah tentang apa yang dia sebut sebagai ‘hati yang gelap’ yang direpresentasikan oleh kaum penjajah yang menganggap benua yang dijajahnya sebagai arena barbar yang perlu diperkenalkan pada peradaban. Kelak di abad 20, ketika istilah rasisme mulai dikenal, sastrawan Chinua Achebe menghajar karya-karya Conrad yang dianggap rasis, karena tokoh-tokoh lokal yang digambarkan selalu saja seperti yang dipandang tokoh antihero novelnya: bodoh dan tak beradab.Sementara para pengamat sastra menganggap apa yang dilakukan Conrad bisa dianggap rasis sekaligus sebuah otokritik. Akibat kontroversi ini, seringkali tafsir visual karya-karya Conrad—kecuali untuk film Apocalypse Now (Francis Ford Coppola, 1979) yang diadaptasi dari novela Heart of Darkness—menjadi stereotip bagaimana Barat memandang orang-orang non Barat.
Harus diakui, sutradara film ini mencoba mengenyahkan stereotip gaya Conrad. Orang Melayu seperti Dain ditampilkan berwibawa dan punya harga diri untuk melawan Inggris, meski kita juga tetap disajikan karakter licik lainnya. Tokoh para perempuan seperti nyonya Almayer dan Nina, meski akting nyonya Almayer agak teaterikal, dibentuk sebagai deretan perempuan Melayu yang kuat dan perkasa. Ini titik yang cukup menarik yang perlu diperhatikan.
Seandainya sutradara sudi menyuntingnya lebih padat pada babak dua dan menetralisir dialog yang penuh dengan teriakan-teriakan itu, sebetulnya ini bukan film yang buruk. Pada akhirnya, mengadaptasi novel Conrad adalah sebuah pekerjaan yang sangat besar dan berat.
Leila S.Chudori