Wahyu Susilo
Direktur Eksekutif Migrant CARE
Dalam kolom di edisi khusus "Gelap-Terang Hidup Kartini" majalah Tempo, April 2013, sejarawan Hilmar Farid berandai-andai, bila Kartini mewujudkan impiannya bersekolah di Belanda, mungkin dia akan menjadi anggota Tweede Kamer--parlemen Belanda--mewakili kaum migran dari SDAP (Partai Sosial Demokrat Belanda). Pengandaian tersebut tentu tidak mengada-ada kalau kita teliti membaca korespondensi Kartini dengan kawan-kawannya dari Belanda yang kebanyakan berpendirian feminis dan sosialis (tepatnya sosial-demokrat).
Mengapa mewakili kaum migran? Dalam diri Kartini, yang terungkap dalam artikel dan surat-suratnya, mewujud sosok yang egaliter, internasionalis, dan tidak diskriminatif. Kartini memiliki legitimasi moral dan politik untuk mengartikulasikan aspirasi kaum migran di negara asalnya di koloni Belanda. Sayang sekali, Kartini tak jadi bersekolah di Negeri Kincir Angin.
Jauh sebelum tumbuhnya serikat-serikat buruh di Hindia Belanda, yang merupakan benih dari gerakan antikolonialisme, Kartini telah memikirkan bagaimana meningkatkan harkat hidup kaum buruh dengan meningkatkan pendidikan dan keterampilannya. Tak terbayangkan, di pengujung abad ke-19 dan memasuki abad ke-20, ada seorang perempuan Jawa mengungkapkan ketertarikannya pada langkah-langkah penguatan serikat buruh dan pendidikan buruh yang diinisiasi oleh Arnold Toynbee. Ketertarikan tersebut terungkap dalam korespondensinya dengan Stella ketika Kartini menyebutkan adanya "Toynbee Work".
Di sisi lain, Kartini sangat menentang patriarki dan feodalisme, meski akhirnya kalah ketika melawan dua penopang utama eksploitasi terhadap perempuan-perempuan Jawa. Apa yang dilihat dan dialami Kartini adalah penundukan dan perbudakan kaum perempuan: pingitan, pemaksaan bekerja pada anak perempuan, perkawinan paksa, dan poligami.
Ironisnya, apa yang terjadi, diamati, dialami, dan sekaligus dilawan Kartini pada masa itu masih berlangsung hingga saat ini. Perlawanan Kartini terhadap penundukan dan perbudakan perempuan adalah sejarah perjuangan perempuan Indonesia, tapi praktik penundukan dan perbudakan itu belum menjadi sejarah, bahkan telah berubah menyesuaikan zaman menjadi bentuk perbudakan modern.
Dalam kamus hak asasi manusia dan hak-hak kaum pekerja, "perbudakan modern" merupakan terminologi populer praktik-praktik yang mengakibatkan seseorang menjadi tidak bebas/merdeka sebagai pekerja. Praktik-praktik itu antara lain perdagangan manusia, pemaksaan anak untuk bekerja, eksploitasi seksual pada anak dan perempuan, perkawinan di bawah umur, serta penggunaan atau pemaksaan anak sebagai serdadu dalam konflik bersenjata.
Menurut catatan organisasi global melawan perbudakan modern, Walk Free, yang merilis laporan tahunan Global Slavery Index, sejak 2014 hingga 2016 Indonesia selalu masuk daftar 10 besar negara yang warganya terperangkap dalam praktik perbudakan modern. Mereka berada dalam situasi rentan ketika bekerja di sektor maritim (sebagai anak buah kapal), perkebunan sawit, dan rumah tangga.
Mengacu pada catatan kelam ini, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti segera bertindak untuk mengakhiri praktik perbudakan di sektor kelautan. Selain membentuk Satgas Anti-Mafia dan Perbudakan Kelautan dan Perikanan, Menteri Susi menyusun Rencana Aksi HAM Sektor Kelautan dan Perikanan. Langkah "Kartini Maritim Indonesia" ini tentu patut diapresiasi. Namun, di dua sektor lainnya, yakni perkebunan sawit dan rumah tangga, belum ada tindakan signifikan untuk mengakhiri perbudakan.
Alih-alih terjadi perbaikan praktik bisnis agar sehat dan ramah HAM di sektor perkebunan sawit, menguatnya isu perbudakan modern di sektor ini direspons secara reaksioner dan negatif oleh kalangan pengusaha serta pemerintah. Tudingan balik bahwa isu perbudakan modern di sektor sawit adalah kampanye negatif dalam persaingan bisnis bukanlah cara yang elegan, karena hal itu hanya merupakan apologia sesaat. Harus ada langkah strategis dan nyata untuk mengakhiri praktik perbudakan itu dengan benar-benar melakukan audit bisnis dan HAM yang melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk kalangan buruh, di sektor perkebunan sawit.
Di sektor rumah tangga juga belum ada langkah yang signifikan untuk mengakhiri perbudakan modern, baik yang mendera pekerja di dalam negeri maupun yang menjadi buruh migran di luar negeri. Tentu saja, sesuai dengan spirit perjuangan Kartini, jalan keluar yang harus diambil haruslah berlandaskan penghormatan terhadap hak-hak perempuan. Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, yang sudah diusulkan lebih dari satu dekade lalu, masih berada di tumpukan bawah berkas Program Legislasi Nasional.
Nasib serupa dialami buruh migran. Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran juga masih berpotensi mendiskriminasi dan membebani buruh migran. Mereka menuntut adanya perbaikan kondisi kerja di luar negeri dan tanggung jawab negara untuk melindungi. Namun kebijakan yang ada cenderung menghalangi mereka untuk bekerja ke luar negeri, dan justru mengembalikan mereka ke domestifikasi perempuan. Jika masih hidup, Kartini mungkin akan menggugat: jangan pingit mereka agar tidak bekerja, melainkan didik dan latih mereka agar terampil, sadar akan hak, dan berorganisasi.
Berita terkait
Pentingnya Peran Perempuan Dalam Keluarga dan Dunia Profesional
8 hari lalu
Refleksi terhadap dinamika peran perempuan dalam berbagai aspek kehidupan dalam memperingati Hari Kartini.
Baca SelengkapnyaMaknai Semangat RA Kartini, Ini Kelebihan Perempuan di Industri Garmen
10 hari lalu
Keahlian perempuan memberikan keuntungan sendiri khususnya di unit bisnis garmen J99 Corp.
Baca SelengkapnyaSemangat Hari Kartini dalam Transformasi Kepemimpinan Perempuan di Jasa Marga
12 hari lalu
27 persen perempuan sebagai pimpinan puncak perusahaan.
Baca SelengkapnyaPT Pegadaian Dukung Kesetaraan Gender Melalui Edukasi Keuangan
13 hari lalu
Dalam rangka memperingati Hari Kartini, PT Pegadaian dukung Kegiatan Edukasi Keuangan bertema "Perempuan Cerdas Keuangan, Perempuan Indonesia Hebat" yang diselenggarakan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Baca SelengkapnyaHari Kartini, OJK Prioritaskan Peningkatan Literasi Keuangan Perempuan
13 hari lalu
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berkomitmen meningkatkan edukasi literasi keuangan untuk perempuan.
Baca SelengkapnyaDaftar Film Perjuangan Kartini Berikut Sinopsisnya
14 hari lalu
Film-film yang menggambarkan perjuangan R.A Kartini
Baca SelengkapnyaSri Mulyani Pakai Kain Batik pada Hari Terakhir di Washington, Hadiri 3 Pertemuan Bilateral
14 hari lalu
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengenakan kain batik pada hari terakhirnya di Washington DC, Amerika Serikat, 21 April kemarin.
Baca SelengkapnyaJejak Surat RA Kartini: Emansipasi Hingga Agama
14 hari lalu
Potongan-potongan surat RA Kartini yang menunjukan perjuangan wanita
Baca SelengkapnyaHari Kartini, Yogyakarta Diramaikan dengan Mbok Mlayu dan Pameran Lukisan Karya Perempuan
15 hari lalu
Para perempuan di Yogyakarta memperingati Hari Kartini dengan lomba lari dan jalan kaki, serta membuat pameran lukisan.
Baca SelengkapnyaGelar Kampus Menggugat di Hari Kartini, Guru Besar UGM: Kita Bagian Kerusakan Demokrasi di Era Jokowi
15 hari lalu
Kegiatan Kampus Menggugat ini menyorot kondisi demokrasi di penghujung kepemimpinan Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang merupakan alumnus UGM.
Baca Selengkapnya