Babak Baru Skandal BLBI

Penulis

Rabu, 3 Mei 2017 01:23 WIB

Emerson Yuntho
Anggota Badan Pekerja ICW

Komisi Pemberantasan Korupsi pada 25 April lalu secara mengejutkan menetapkan Syafruddin A. Tumenggung, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), sebagai tersangka perkara dugaan korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Syafruddin, saat menjabat sebagai Kepala BPPN, dinilai telah melakukan penyalahgunaan wewenang dalam pemberian surat keterangan lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim, salah satu debitor BLBI dan pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI). Dari penerbitan SKL untuk Sjamsul Nursalim, dugaan kerugian keuangan negara mencapai Rp 3,7 triliun. Jumlah ini lebih besar dari kerugian negara dalam skandal proyek pengadaan e-KTP yang berjumlah Rp 2,3 triliun.

Penetapan Syafruddin sebagai tersangka korupsi BLBI oleh KPK layak mendapat apresiasi sekaligus menjadi babak baru bagi penyelesaian perkara BLBI yang lebih dari 10 tahun ibarat "benang kusut" dan penuh ketidakpastian. Korupsi BLBI merupakan salah satu skandal korupsi terbesar di negeri ini. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan tahun 2000 menyebutkan, dari Rp 144,5 triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional, sebanyak Rp 138,4 triliun dinyatakan merugikan negara. Hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan terhadap 42 bank penerima BLBI sebesar Rp 106 triliun, ditemukan penyimpangan Rp 54,5 triliun. Sebanyak Rp 53,4 triliun bahkan merupakan penyimpangan yang terindikasi korupsi dan tindak pidana perbankan.

Sebelum ditangani KPK, proses penyelesaian perkara BLBI selalu diwarnai peristiwa yang kontroversial, dari pembebasan dan pengampunan (release and discharge), pemberian SKL kepada debitor BLBI, penghentian penyelidikan dan penyidikan, kaburnya pelaku korupsi ke luar negeri, hingga pengajuan hak interpelasi dan angket mengenai BLBI oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Penuntasan proses hukum kasus BLBI sejatinya menjadi tolok ukur serius atau tidaknya pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Namun, dalam sepuluh tahun terakhir, terlihat jelas bahwa pemerintah sepertinya bertindak setengah hati untuk menyelesaikannya, khususnya di ranah penegakan hukum.

Dalam pantauan Indonesia Corruption Watch, hingga 2006, sedikitnya 65 debitor BLBI pernah diperiksa oleh kejaksaan dan kepolisian. Hasilnya, hanya 16 orang yang kasusnya dilimpahkan ke pengadilan. Penyelidikan dan penyidikan kasus terhadap 11 orang dihentikan. Selebihnya, sebanyak 38 pelaku, tidak jelas proses hukumnya.

Langkah Kejaksaan Agung pada 2007 membentuk tim khusus penanganan BLBI pada awalnya menjadi angin segar bagi upaya pemberantasan korupsi. Penyelidikan difokuskan pada penyerahan aset oleh obligor BLBI, yakni Bank Central Asia dan BDNI. Namun proses penyelidikan berakhir mengecewakan. Kejaksaan Agung pada 29 Februari 2008 menghentikan penyelidikan dua perkara yang diduga melibatkan Sjamsul Nursalim dan Anthony Salim. Meskipun mengakui adanya kerugian negara, Kejaksaan tidak menemukan unsur melawan hukum. Selanjutnya, Kejaksaan menyerahkan perkara tersebut kepada Departemen Keuangan untuk diselesaikan di luar mekanisme peradilan.

Setelah itu, seluruh proses hukum kasus BLBI nyaris tak terdengar. Pada kemudian hari, akhirnya terungkap adanya praktik suap yang melibatkan jaksa kasus BLBI, Urip Tri Gunawan, dengan Artalyta Suryani, orang yang diduga dekat dengan debitor BLBI. Uang suap sebesar Rp 6 miliar itu diduga sebagai ucapan terima kasih karena jaksa Urip dinilai berjasa menghentikan penyelidikan kasus BLBI di Kejaksaan.

Proses penegakan hukum perkara BLBI yang setengah hati ini tidak bisa dilepaskan dari beberapa kebijakan pemerintah--dari era Presiden Megawati hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono--yang lebih memprioritaskan pengembalian uang negara daripada penegakan hukum. Sikap pemerintah dan buruknya kinerja aparat penegak hukum akhirnya membuat banyak pihak kehilangan harapan terhadap upaya penuntasan kasus BLBI.

Harapan publik muncul lagi ketika KPK terbentuk dan mulai beroperasi pada 2004. Tim khusus penanganan perkara korupsi BLBI pernah dibentuk KPK di bawah pimpinan Antasari Azhar. Prosesnya pasang-surut, bahkan sempat terhenti ketika terjadi kriminalisasi terhadap pimpinan KPK.

Penetapan status tersangka terhadap Syafruddin baru-baru ini menjadi bukti keseriusan KPK. Bahkan KPK sebaiknya mengambil alih perkara-perkara korupsi BLBI yang belum diselesaikan atau telah dihentikan oleh Kejaksaan. Perkembangan ini seharusnya menjadi momentum bagi Presiden Joko Widodo untuk meninjau kembali kebijakan pemerintah sebelumnya, yang memperlakukan secara istimewa para konglomerat pengemplang dana BLBI.

Presiden Jokowi sebaiknya meminta Menteri Keuangan mengumumkan laporan perkembangan penyelesaian utang-utang debitor BLBI. Berdasarkan hasil audit BPK pada 2006, 10 debitor BLBI dinilai tidak kooperatif dan tujuh orang belum melunasi kewajibannya. Mereka yang tidak kooperatif harus diserahkan kepada penegak hukum atau KPK agar diproses secara hukum. Untuk mencegah korupsi dalam penanganan perkara, Jokowi juga harus meminta Kejaksaan dan Kementerian Keuangan untuk melaporkan dan mengumumkan upaya penyelesaian--termasuk lelang--aset milik koruptor BLBI dan kejelasan setoran ke kas negara.

Berita terkait

Jokowi akan Tambah Masa Kerja Satgas BLBI yang Berakhir Desember 2023

27 April 2023

Jokowi akan Tambah Masa Kerja Satgas BLBI yang Berakhir Desember 2023

Untuk tahun 2023, Satgas BLBI akan fokus pada akselerasi dan sinergi penelusuran harta kekayaan debitur/obligor.

Baca Selengkapnya

Kemenkeu: Aset yang Sudah Diselesaikan Satgas BLBI Rp 28,85 T

29 Oktober 2022

Kemenkeu: Aset yang Sudah Diselesaikan Satgas BLBI Rp 28,85 T

Kemenkeu telah menyelesaikan piutang eks obligor bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) hingga Rp28,85 triliun sampai 27 Oktober 2022.

Baca Selengkapnya

Kemenkeu Kantongi Daftar Aset BLBI di Luar Negeri, Ada Obligor yang Beralih Kewarganegaraan

14 Oktober 2022

Kemenkeu Kantongi Daftar Aset BLBI di Luar Negeri, Ada Obligor yang Beralih Kewarganegaraan

Satgas BLBI tengah menelaah siapa saja obligor yang sudah beralih kewarganegaraan.

Baca Selengkapnya

Satgas BLBI Akui Kesulitan Lelang Aset Tommy Soeharto Senilai Rp 2,4 Triliun

14 Oktober 2022

Satgas BLBI Akui Kesulitan Lelang Aset Tommy Soeharto Senilai Rp 2,4 Triliun

Rionald mengatakan Satgas BLBI akan mengusahakan agar aset-aset itu dapat dimanfaatkan.

Baca Selengkapnya

Jokowi Klaim Kondisi Antikorupsi Terus Membaik

16 Agustus 2022

Jokowi Klaim Kondisi Antikorupsi Terus Membaik

Jokowi mengklaim telah memerintahkan Polri, Kejaksaan, dan KPK menjadikan pemberantasan korupsi sebagai prioritas utama.

Baca Selengkapnya

Benny Mamoto Ketua Harian Kompolnas dan Pernyataan Kontroversial Soal Penembakan Brigadir J

9 Agustus 2022

Benny Mamoto Ketua Harian Kompolnas dan Pernyataan Kontroversial Soal Penembakan Brigadir J

Benny Mamoto Ketua Harian Kompolnas dan pendapatnya tentang kasus pemubunuhan Brigadir J di rumah dinas Ferdy Sambo, Ini profilnya.

Baca Selengkapnya

Kemenkeu Lelang Ulang Aset Kaharudin Ongko

26 Juli 2022

Kemenkeu Lelang Ulang Aset Kaharudin Ongko

Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu melakukan lelang ulang tanah Kaharudin Ongko yang terdapat di Kabupaten Bandung

Baca Selengkapnya

Aset Eks BLBI Senilai 19,16 T Dilelang, Berikut Cara Pembeliannya

22 April 2022

Aset Eks BLBI Senilai 19,16 T Dilelang, Berikut Cara Pembeliannya

Purnama T Sianturi menjelaskan cara masyarakat membeli aset barang sitaan eks Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Baca Selengkapnya

Sita Dua Aset Anak Kaharudin Ongko, Ini Komentar Satgas BLBI

23 Maret 2022

Sita Dua Aset Anak Kaharudin Ongko, Ini Komentar Satgas BLBI

Satgas BLBI mengatakan selaku Obligor Bank Arya Panduarta, Kaharudin Ongko juga masih memiliki kewajiban sebesar Rp359 miliar

Baca Selengkapnya

Pihak Ketiga Kuasai Aset Negara secara Ilegal, Ini Strategi Kemenkeu

18 Maret 2022

Pihak Ketiga Kuasai Aset Negara secara Ilegal, Ini Strategi Kemenkeu

Kemenkeu melakukan penguasaan fisik terhadap aset negara yang dikuasai oleh pihak ketiga tersebut

Baca Selengkapnya