Dua bom yang meledak di Kampung Melayu menunjukkan lemahnya intelijen dalam mendeteksi aksi teror. Menewaskan tiga polisi dan melukai 11 orang lainnya, petaka Rabu malam pekan lalu itu terjadi akibat intelijen lengah melacak gerak-gerik pelaku.
Teror di halte bus Transjakarta di Jakarta Timur ini semestinya bisa dicegah. Apalagi tim Detasemen Khusus Antiteror telah mengawasi gerak-gerik Ahmad Sukri dan Ichwan Nurul Salam--dua pelaku bom bunuh diri itu--sejak enam bulan lalu. Pengawasan terhadap keduanya semakin ketat setelah polisi menangkap pelaku teror bom panci di dekat kantor Kelurahan Arjuna, Cicendo, Bandung.
Namun pemantauan kemudian mengendur karena saat itu tidak ada bukti bahwa keduanya akan melakukan teror. Sejak itu, polisi kehilangan jejak Sukri dan Ichwan. Tak mengherankan jika polisi gagal "mengendus" pembelian panci di supermarket Borma, Padalarang, Bandung, dua hari sebelum bom meledak, dan gagal pula mendeteksi keberadaan pelaku di minimarket Alfamart Stasiun Gambir beberapa jam sebelum teror bom terjadi.
Hubungan antarpelaku juga tak sulit dipetakan. Sukri terlacak pernah menemui Aman Abdurrahman di penjara Nusakambangan pada November 2014. Adapun Ichwan mengenal Yayat Cahdiyat alias Abu Salam, pelaku bom panci di Cicendo. Sukri, Ichwan, dan Abu Salam sama-sama tercatat sebagai anggota Jamaah Ansharut Daulah.
Kelompok ini tak bisa dipisahkan dari sosok Aman Abdurrahman, terpidana terorisme yang berbaiat kepada pemimpin Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), Abu Bakar al-Baghdadi. Aman adalah guru Bahrun Naim, komandan ISIS Asia Tenggara yang ditengarai tewas dalam sebuah pertempuran di Suriah. Aman juga menjadi guru bagi Muhammad Iqbal dan Helmi Priwardani--keduanya pemimpin awal Jamaah Ansharut Daulah Jawa Barat dan Bandung Raya.
Polisi seharusnya bisa memprediksi teror di Kampung Melayu karena pola dan modus yang digunakan hampir sama dengan serangan ISIS sebelumnya. Pertama, serangan bom di satu negara akan diikuti serangkaian bom di negara lain. Hal ini terjadi saat teror di Prancis diikuti serangan bom di Sarinah, Thamrin, awal tahun lalu. Meledaknya bom seusai konser Ariana Grande di Manchester, Inggris, Senin malam pekan lalu, merupakan sinyal bahwa serangan bom akan terjadi di negara lain.
Kedua, bom Kampung Melayu memakai bahan peledak triacetone triperoxide (TATP)--bahan yang dipakai milisi ISIS. Jaringan Ansharut Daulah tercatat dua kali memakai bahan peledak ini di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Karena itu, penelusuran kasus ini tak boleh berhenti hanya pada Ketua Mudiriyah Jamaah Ansharut Daulah Bandung Raya, Jajang Iqin Sodikin, atau dua anggota Jamaah lainnya yang ditangkap sehari setelah bom meledak. Intelijen harus lebih lincah mengendus jejaring pelaku lainnya.
Kita tak ingin kasus seperti bom pekan lalu terulang. Kepolisian, terutama Detasemen Khusus Antiteror, harus belajar dari peristiwa "bom kampung Melayu" ini: jangan lengah sedikit pun mengawasi dan mendeteksi mereka yang berpotensi melakukan perbuatan biadab tersebut.