TEMPO.CO, Jakarta- Seorang ahli matematika jenius di masa Perang Dunia II peletak dasar ilmu komputer yang kelak membuat hidup kita begitu mudah. Nama dia baru dibersihkan dari segala tuduhan dan vonis tahun lalu.
IMITATION GAMES
Sutradara : Mortem Tyldum
Skenario : Graham Moore
Berdasarkan buku biografi Alan Turing: The Enigma karya Andrew Hodges ( 1983)
Pemain : Benedict Cumberbatch, Keira Knightley, Matthew Goode, Mark Strong, Charles Dance, Allen Leech
****
Jauh sebelum nama Bill Gates, jauh sebelum Steve Jobs menguasai jagat ini, ada nama yang sama sekali tidak kita kenal: Alan Turing. Dialah sesungguhnya yang dikenal sebagai "Father of Theoretical Computer Science and Artificial Intelligence", atau sederhananya Bapak Penemu Ilmu Komputer. Mengapa kita tak mengenalnya? Mengapa nama dia dikubur puluhan tahun lamanya padahal dia berjasa memecahkan kode sandi Nazi yang luar biasa sulit, sehingga Perang Dunia II berhasil dihentikan dengan kalahnya Jerman?
Jawabannya sungguh tragis. Dan film ini mencoba berkisah kepada kita, yang hanya mengenal nama Steve Jobs dan Bill Gates bahwa semua kemudahan teknologi dan informasi yang kita peroleh setiap hari melalui komputer sebetulnya dimulai dari seorang ahli matematika bernama Alan Turing. Dialah sang jenius asal Inggris yang diminta bergabung dengan intelijen Britania Raya untuk menaklukkan kedahsyatan kode strategi Nazi yang menyebabkan pihak sekutu untuk beberapa saat terdesak. “Kalian akan kami sebut sebagai kelompok MI-6 secara internal karena sesungguhnya resminya hanya ada sampai MI-5 belaka” demikian Mayjen Stewart Menzies (Mark Strong) kepada Alan Turing dan timnya.
Film dimulai dengan di saat Perdang Dunia II, situasi genting di Bletchley Park, sebuah pusat para ahli sandi yang bertugas memecahkan kode-kode musuh. Alan Turing, seseorang yang tak mudah bersosialisasi, tak bisa menanggapi humor, sesekali gagap saat mengutarakan ide-idenya itu tak membuat hubungannya mulus dengan atasannya Alaistair Denniston (Charles Dance). Apalagi untuk memecahkan kode Nazi luarbiasa pelik karena Turing tahu setiap 24 jam, pihak Nazi mengubah kode mereka.
Pertanyaan terpenting yang dilontarkan Turing adalah sebuah pertanyaaan yang kelak menjadi basis dari ilmu komputer yang kini dinikmati oleh kita semua: bisakah dia menciptakan mesin yang ‘lebih cerdas’ daripada manusia? Bisakah mesin komputer berpikir? Turing membangun sebuah mesin komputer –untuk keperluan visualisasi film ini dibuat sangat besar dan gigantik yang menempati setengah ruangan kerjanya—untuk mendefinsikan makna ‘mesin yang berpikir’
Tak mudah. Tak selalu berhasil. Turing bahkan nyaris dipecat karena bos Denniston bukan hanya jengkel dengan gaya Turing yang tengil dan ‘tak menghasilkan apa-apa’ (maklum dia sosok militer, bukan ahli matematika) hingga tim mereka mengancam ikut mundur jika Turing mundur.
Drama keberhasilan menembus kode Nazi kemudian meningkat karena Turing berambisi agar mereka bisa memenangkan perang. “Kalau kita segera memberitahu Denniston sekarang, maka Nazi akan tahu kita berhasil memecahkan kode mereka,” kata Turing. Maka sebuah siasat dirancang. Tim Turing dan bagian intelijen Menzies membuat sebuah kesepakatan agar pasukan Sekutu bisa mengetahui siasat Nazi, tanpa harus mengungkap bahwa mereka sudah tahu kode-kode rahasia Nazi.
Sebagai sebuah film yang terinspirasi dari kisah nyata, sutradara Mortem Tyldum tentu merasa memiliki ‘lisensi kreativitas’ untuk mendramatisasi cerita. Bahwa Turing adalah seorang gay yang menyembunyikan orientasi seksualnya, itu adalah kisah nyata yang berakhir tragis. Tapi Tyldum lantas mengembangkan bagaimana Turing menamakan mesin komputernya Christopher, nama kawan masa kecilnya yang dicintainya. Masa kecil Turing yang sudah gemar mengutak-atik kode, meski itu lebih digunakan untuk saling berkirim kalimat cinta, disajikan dengan beberapa kilas balik untuk menggambarkan bagaimana sang jenius ini mengembangkan ilmu kriptografi (ilmu kode intelijen). Sang sutradara sengaja memilih untuk tidak menggambarkan kebiasaan Turing berhubungan dengan berbagai lelaki hingga suatu hari dia ditangkap dan diadili dengan tuduhan “melakukan perbuatan tidak senonoh.”
Jika nama Alan Turing kemudian dikubur sedalam-dalamnya dalam sejarah para penemu di dunia, sebetulnya karena semula Kerajaan Inggris memang merasa harus menyembunyikan strategi intelijen mereka, termasuk keberhasilan tim Alan Turin yang cemerlang, yang ikut mendorong kemenangan Sekutu dan pada gilirannya mencegah kematian jutaan korban yang sebetulnya, membaca strategi Nazi, sudah menjadi sasaran.
Problemnya adalah kemenangan Sekutu dan Ilmu Pengetahuan tidak dibarengi dengan kemenangan hak asasi manusia. Alan Turing, sang penemu, bapak komputer itu tetap saja setelah perang berakhir ditangkap karena orientasi seksualnya. Meski dia tak dihukum mati seperti aktivis anti kolonialisme Roger Casement—seorang aktivis anti kolonialisme asal Irlandia yang akhirnya digantung karena orientasi seksualnya, Turing melalui melalui siksaan yang parah dan berkepanjangan.
Pada Agustus 2014 laly, barulah Ratu Inggris mengumumkan pengampunan dan pembersihan nama Turing dari vonis yang telah dijatuhkan padanya.
Sebagai Alan Turing, aktor Benedict Cumberbatch adalah seorang bintang yang memang layak mendapatkan nominasi Oscar. Sebagai sebuah film, Tyldum memilih jalan aman,konvensional dan sopan. Fokus film tetap pada keberhasilan Turing sebagai seorang penemu ilmu komputer, dan bukan pada urusan tempat tidur. Paling tidak film ini memperkenalkan sebuah nama penting pada dunia bahwa kenikmatan kita hidup berdampingan dengna “Christopher” kita dimulai dari seorang jenius eksentrik bernama Alan Turing.
Leila S.Chudori