Panggung

Penulis

Senin, 13 Juni 2016 00:00 WIB

Nama samarannya "Prapanca". Ia menggambarkan dirinya sebagai lelaki yang tak disukai para perempuan istana, tak fasih bicara, parasnya tak riang. Tapi ia penulis reportase pertama dalam sejarah Indonesia: Desawarnana, yang rampung ditulisnya pada 1365, adalah laporan kunjungan perjalanan darat Hayam Wuruk, Raja Majapahit, ke pelbagai wilayah kekuasaannya.

Sayangnya, Prapanca seorang pencatat yang terbatas. Kakawinnya lebih merupakan rekaman kesan-kesan tentang tamasya dan tontonan dari tempat ke tempat. Desawarnana adalah travelogue abad ke-14. Ia bukan catatan peristiwa-peristiwa.

Mungkin karena Prapanca bukan sepenuhnya orang dalam istana. Kakawin yang hilang dan baru ditemukan lebih dari 500 tahun kemudian di Lombok ini ia tulis setelah ia tersingkir dari pusat kekuasaan. Diduga ia menyelesaikannya di sebuah desa di Bali. Deskripsi tentang dirinya di akhir kakawin menggambarkan profil seseorang yang tak merasa mampu bergabung dengan para penyair lain yang menulis seloka-seloka untuk memuja Raja. Bisa jadi ini menandai kepahitan dan kekecewaan yang dicoba disembunyikannya.

Apa gerangan yang terjadi? Mengapa ia tersingkir? Harus saya katakan, kakawin yang juga disebut Negarakertagama ini bukan informasi yang memadai tentang kehidupan politik masa itu. Prapanca dengan memikat menggambarkan tembok kota dari batu merah yang tinggi, gapura berukir, pohon-pohon tanjung berbunga lebat, taman bertingkat, dan arsitektur candi dengan menara yang menjulang. Perhatiannya lebih ke hal estetis ketimbang politis. Tentang sakit dan wafatnya Gajah Mada dan perundingan rahasia di istana untuk mengatasi kehilangan perdana menteri yang tak tergantikan itu Prapanca hanya menyebutnya dalam beberapa kalimat.

Penulis ini mungkin tak tahu. Kekuasaan dalam Negarakertagama-nya tak ditandai pangeran-pangeran yang berambisi atau para perwira yang siap dengan pasukan. Administrasi pemerintahan hanya kelihatan dalam klasifikasi pedesaan. Selebihnya, tanda hadirnya kekuasaan adalah kunjungan raja dan upacara meriah yang berulang kali. Tak ada konflik. Tak ada penaklukan. Satu-satunya yang mirip itu terjadi dalam perburuan; para hewan hutan kalah menghadapi pasukan Hayam Wuruk.

Advertising
Advertising

Tapi benarkah Majapahit hanya ibarat pesta yang berpindah-pindah?

Clifford Geertz memperkenalkan istilah yang kemudian terkenal: negara sebagai "theatre state", yang ia simpulkan dari pengamatannya tentang Bali abad ke-19. Di sana Negara memerintah dengan simbol dan ritual, bukan dengan kekuatan yang memaksa. Kerajaan berjalan bukan melalui administrasi yang efektif ataupun penaklukan, melainkan melalui "spectacle" yang dipertunjukkan dengan memukau.

Mungkin itu pula yang bisa dikatakan tentang Negarakertagama Prapanca: sebuah pentas. Upacara jadi tujuan utama. Kemegahan dan kemeriahan itu bukan buat melayani kekuasaan, melainkan kekuasaan itu yang justru untuk melayani kemegahan. Kata Geertz, "Power served pomp, not pomp power."

Ada yang mencatat bahwa "theatre state" itu tak hanya fenomena Bali dan Majapahit. Upacara dan peneguhan simbol bisa dilihat dalam tradisi Kerajaan Inggris dan mungkin di negara-negara di mana konstitusi belum dituliskan. Negara memerlukan panggung-dan ia jadi panggung.

Tapi saya kira Geertz mengabaikan satu hal: di panggung itu sebenarnya kita tak tahu di mana pomp mulai dan power berakhir. Seperti umumnya dalam sejarah, kekuasaan, kekerasan, dan pemaksaan selalu tersembunyi dalam diri Negara. Setidak-tidaknya dalam genealoginya. Dengan mengagungkan seorang ratu dari Singasari sebagai chattra ning rat wisesa ("pelindung bumi yang utama"), Prapanca menunjukkan pertalian Kerajaan Singasari di abad ke-13 dengan Majapahit di abad ke-14. Dan kita tahu Singasari didirikan Ken Arok; ia tumbuh dari pembunuhan dan penaklukan.

Dalam menafsirkan masa lalu sebagai bagian masa kini, dalam merangkai upacara Hayam Wuruk dari pentas ke pentas yang berbeda, Prapanca ingin menunjukkan Majapahit sebagai sebuah bangunan yang koheren dan konsisten. Seantero wilayahnya diibaratkan satu kota dalam telatah Raja: salwaning yawabhumi tulya nagari sasikhi ri panadeg. Tapi sejauh mana yang dianggap "satu kota" itu bisa mengingkari multiplisitas yang tak tepermanai, yang tak bisa konsisten? Negara mana pun, juga negara modern, tak akan bisa.

Pernah Desawarnana Prapanca menampilkan pentas sebagai karnival: Hayam Wuruk ikut membanyol, rakyat datang berduyun, terkadang mabuk, tanpa diarahkan. Dalam karnival, seperti kata Mikhail Bakhtin, struktur, hierarki, dan hukum ditangguhkan. Mungkin di situ tampak sisi Negara yang hendak disembunyikan, tapi yang malah membuatnya hidup: selalu akan ada politik yang tak mengekalkan struktur, melainkan mengingatkan bahwa manusia itu setara.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

Catatan Dosen Unair untuk Relokasi ASN ke IKN: Kebijakan Terburu-buru

55 menit lalu

Catatan Dosen Unair untuk Relokasi ASN ke IKN: Kebijakan Terburu-buru

Sejak Oktober 2023 lalu, Pemerintah telah mengumumkan keputusan untuk memindahkan Aparatur Sipil Negara (ASN) ke Ibu Kota Nusantara atau IKN

Baca Selengkapnya

Somasi Minta Robert Bonosusatya Jadi Tersangka Korupsi PT Timah Tak Direspons, MAKI Akan Gugat Praperadilan Kejaksaan Agung

1 jam lalu

Somasi Minta Robert Bonosusatya Jadi Tersangka Korupsi PT Timah Tak Direspons, MAKI Akan Gugat Praperadilan Kejaksaan Agung

Boyamin mengklaim punya data sendiri tentang Robert Bonosusatya dalam pusaran korupsi timah yang telah diserahkan kepada penyidik Kejaksaan Agung.

Baca Selengkapnya

KPK Terima 214 CPNS Baru di 19 Unit Kerja

2 jam lalu

KPK Terima 214 CPNS Baru di 19 Unit Kerja

KPK berharap ke depannya, paraCPNS baru ini dapat menjaga nama baik lembaga dalam menjalankan tugasnya.

Baca Selengkapnya

Polres Metro Depok Tangkap 2 Kurir Narkoba Modus Tempel dan Bungkus Permen

3 jam lalu

Polres Metro Depok Tangkap 2 Kurir Narkoba Modus Tempel dan Bungkus Permen

Dari kedua kurir narkoba itu, polisi juga mengamankan 6 botol liquid ganja cair dan alat hisap.

Baca Selengkapnya

Polisi Ungkap Alasan Keluarga Tak Mau Jenazah Brigadir RA yang Tewas Bunuh Diri Diautopsi

3 jam lalu

Polisi Ungkap Alasan Keluarga Tak Mau Jenazah Brigadir RA yang Tewas Bunuh Diri Diautopsi

Brigadir RA disebut bunuh diri dengan menembakkan senjata api HS Kaliber 9mm ke aras kepalanya saat berada di dalam mobil Alphard.

Baca Selengkapnya

Kompolnas Turun Tangan Selidiki Motif Bunuh Diri Brigadir RA dalam Mobil Alphard

4 jam lalu

Kompolnas Turun Tangan Selidiki Motif Bunuh Diri Brigadir RA dalam Mobil Alphard

Polisi telah menutup kasus tewasnya Brigadir RA dalam mobil Alphard di sebuah rumah di Mampang. Disebut bunuh diri.

Baca Selengkapnya

KPK Eksekusi Eks Kadis PUPR Papua Gerius One Yoman ke Lapas Sukamiskin Bandung

4 jam lalu

KPK Eksekusi Eks Kadis PUPR Papua Gerius One Yoman ke Lapas Sukamiskin Bandung

Hakim memvonis eks Kadis PUPR Papua, Gerius One Yoman dengan hukuman empat tahun delapan bulan penjara dan uang pengganti Rp 4,5 miliar.

Baca Selengkapnya

5 Hal yang Jadi Fokus Tangani Penyakit Arbovirus seperti DBD

4 jam lalu

5 Hal yang Jadi Fokus Tangani Penyakit Arbovirus seperti DBD

Kementerian Kesehatan Indonesia dan Brazil berkolaborasi untuk memformulasikan upaya mencegah peningkatan insiden penyakit Arbovirus seperti DBD

Baca Selengkapnya

Hakim Izinkan Kasdi Subagyono Hadir di Sidang Etik Nurul Ghufron di Dewas KPK

4 jam lalu

Hakim Izinkan Kasdi Subagyono Hadir di Sidang Etik Nurul Ghufron di Dewas KPK

Majelis hakim memberikan izin kepada bekas Sekretaris Jenderal Kementan Kasdi Subagyono untuk mengikuti sidang Dewas KPK tentang kasus Nurul Ghufron.

Baca Selengkapnya

Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo, Program Studi Produksi Media Gelar Bedah Film

4 jam lalu

Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo, Program Studi Produksi Media Gelar Bedah Film

Dalam acara ini, ditayangkan film karya mahasiswa Politeknik Tempo yang berjudul Kala: Rahasia Fana.

Baca Selengkapnya