Putu Setia
@mpujayaprema
Lomba makan kerupuk merayakan ulang tahun kemerdekaan sudah berakhir. Pembicaraan soal Gloria Natapradja Hamel dan Arcandra Tahar juga mulai sepi. Orang kembali ngomong soal Ahok dan memelototi sidang Jessica yang rajin disiarkan televisi bak sinetron.
Gloria dan Arcandra jadi simbol kecerdasan seseorang, tapi sangat awam dalam bidang lain, misalnya soal hukum. Lihatlah bagaimana Gloria menjawab pertanyaan, bagaimana isi suratnya kepada Presiden Joko Widodo, terlepas apakah dia sendiri yang menulis surat itu atau dibantu orang lain. Arcandra Tahar, menteri tersingkat dalam sejarah republik, kurang apa lagi cerdasnya. Dua puluh tahun lebih di luar negeri menghasilkan penemuan yang sudah dipatenkan dalam bidang energi.
Di mana letak kekurangan kaum cerdas ini? Gloria lahir pada 2000 dari ibu orang Indonesia dan ayahnya orang Prancis. Gloria menempuh semua pendidikan di dalam negeri. Ia tak merasa menjadi orang asing. Ia tak peduli dengan paspor, bukankah persyaratan menjadi pengibar bendera pusaka tak harus menyerahkan paspor, bahkan kartu tanda penduduk pun tidak? Ibu kandung Gloria, Ira Natapradja, mungkin hanya tahu Undang-Undang Tahun 2006 bahwa anak yang lahir dari perkawinan campuran bisa memilih kewarganegaraan, apakah ikut ayah atau ikut ibu setelah berusia 18 tahun. Gloria masih punya waktu untuk memilihnya, karena usianya baru 16 tahun.
Ternyata Undang-Undang 2006 ini tidak berlaku surut. Karena Gloria lahir tahun 2000, ia harus tunduk pada UU No. 62/1958 tentang Kewarganegaraan. Di sini diatur, anak yang lahir dari perkawinan campuran, status kewarganegaraannya berdasarkan pertalian darah menurut garis ayah. Jadi Gloria otomatis warga negara Prancis, suatu hal yang mungkin sekali tak pernah dipikirkan anak seusia Gloria. Keawamannya dimaklumi.
Arcandra menempuh pendidikan S-2 dan S-3 di Amerika Serikat, kariernya mencuat dan memegang jabatan penting di perusahaan Amerika. Ia mendapat kewarganegaraan Amerika Serikat pada 2012. Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2006 yang mengatur dwikewarganegaraan, Arcandra harus melepaskan kewarganegaraan Indonesia, dan hal itu wajib hukumnya. Kalaupun tidak dilepaskan, menurut undang-undang tersebut, paspor Indonesia yang dipegangnya tak lagi sah, walau masa berlakunya sampai 2017. Belakangan Arcandra mengaku tidak tahu ada undang-undang itu. Keawamannya dianggap mustahil, meski setelah dicopot dari menteri ia bicara soal takdir.
Dua takdir yang berbeda. Gloria menerima takdirnya sebagai remaja cerdas yang berakhir happy ending, karena Presiden Jokowi mengizinkan anak ini ikut menurunkan bendera pusaka setelah gagal ikut mengibarkannya. Gloria bahkan satu-satunya anggota pasukan pengibar bendera pusaka yang diajak makan oleh Presiden. Akan halnya Arcandra, takdirnya tentu sulit kembali menjadi menteri. Ia sudah dewasa untuk menduduki jabatan politis yang jadi rebutan banyak orang itu. Ketidaktahuannya tentang undang-undang telah menodai kecerdasannya.
Itulah pelajaran lain dari kasus ini. Begitu banyak undang-undang dibuat, tapi seberapa banyak orang tahu apa saja yang diatur? Secara formal setiap warga negara dianggap tahu dan wajib menaati undang-undang setelah diumumkan di lembaran negara. Lalu seberapa banyak yang membaca lembaran negara? Sosialisasi undang-undang yang "tidak populer" hampir tak ada. Bahkan banyak undang-undang, termasuk yang mengatur kewarganegaraan ini, ternyata perlu direvisi setelah ada kasus. Orang cerdas bisa menerima takdir buruk jika abai baca undang-undang.