HTI dan Penyelundupan Demokrasi

Penulis

Jumat, 19 Mei 2017 02:28 WIB

Fathorrahman Ghufron
Wakil Katib Syuriyah PWNU Yogyakarta

Tulisan Noorhaidi Hasan, "HTI Ujian bagi Demokrasi", di Koran Tempo edisi 12 Mei lalu menyampaikan pandangan bahwa pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dilakukan oleh pemerintah adalah tindakan blunder. Noorhaidi pun menguraikan bahwa jika HTI dihadapi dengan cara yang tidak demokratis, apalagi pembubaran tanpa proses hukum, ide-ide HTI justru akan semakin mendapat pembenaran.

Hal penting yang perlu dikritik dari tulisan Noorhaidi adalah ketika dia menyatakan bahwa keberadaan HTI adalah ujian demokrasi dalam negara ini. Negara tak perlu membubarkan HTI karena masyarakat sudah melek Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila serta dianggap mempunyai sistem imun yang memadai untuk menangkal berbagai kelompok penentang dasar negara, seperti yang ditunjukkan oleh HTI.

Posisi Noorhaidi yang cenderung "pasif" dan "membiarkan" keberadaan HTI sebenarnya menyimpan sebuah dilema dan mencerminkan pandangan yang blunder pula. Di satu sisi, toleran terhadap HTI dengan dasar hak kebebasan berserikat justru akan menjadi virus negatif yang akan menggerogoti tubuh keindonesiaan. Sejak kelahirannya, HTI sudah mengambil sikap tegas untuk menjunjung tinggi sistem khilafah yang diilhami oleh Taqiyuddin Al Nabhani (1909–1977), yang ingin menyatukan semua umat Islam yang tersebar di berbagai penjuru dunia melalui gerakan daulah islamiyah.

Di sisi lain, pembubaran HTI dianggap sebagai benalu bagi iklim demokrasi yang mulai tumbuh subur di Indonesia. Bahkan, tindakan ini merepresentasikan sikap despotik pemerintah yang, menurut Noorhaidi, bisa berlaku kepada kelompok-kelompok lainnya.

Bila argumen demokrasi yang digunakan sebagai alasan untuk membiarkan HTI, lalu bisakah kita menerapkan hak-hak demokrasi kepada HTI yang menyatakan demokrasi adalah sistem kufur? Dapatkah kita membiarkan pergerakan HTI yang selama bertahun-tahun menjadikan khilafah sebagai strategi wacana dalam relasi kuasa di negara ini--yang berarti mengabsahkan adanya pendirian negara di dalam negara--dengan hanya mengandalkan keyakinan bahwa rakyat memiliki modal sosial yang cukup untuk menangkalnya?

Tidakkah resonansi NKRI yang bertalu-talu disuarakan oleh masyarakat sesungguhnya memiliki keterbatasan oktaf yang tak lagi akan melengking, seiring dengan masif dan intensifnya HTI membiakkan pandangan dunianya? Dan, patut diingat bahwa HTI adalah jejaring transnasional yang sangat lihai memanfaatkan berbagai peluang dengan segala macam modus operandi, baik secara material maupun imaterial, sehingga dalam beberapa tempo mampu mempengaruhi barisan massa yang ada di berbagai lini dan lembaga.

Bahkan, HTI tak segan-segan menggunakan jargon demokrasi sebagai modus untuk mengamankan dirinya dari segala macam reaksi masyarakat yang dapat merugikan dirinya. HTI juga menggunakan istilah hak asasi manusia sebagai payung untuk menyuarakan pikiran-pikiran "makar"-nya terhadap pemerintah.

Padahal, dalam platform politiknya secara tegas HTI mengusung sistem teokrasi dengan kekuasaan dan kedaulatan mutlak milik Tuhan melalui mekanisme khilafah. Akan tetapi, dalam berbagai praktiknya, kedaulatan rakyat digunakan sebagai ruang defensif untuk menyamarkan agenda merongrong negara dan pemerintah yang sudah diatur dan dikelola melalui prinsip-prinsip demokrasi. Karena itu, bisakah kita menerima argumen hak asasi manusia dan kedaulatan rakyat, sedangkan HTI sesungguhnya tidak mempercayai kedaulatan rakyat dan hanya menjadikannya sebagai pemanis bibir untuk memuluskan agenda utamanya?

Di sinilah kerancuan sebagian pihak yang bersikap toleran terhadap keberadaan HTI, yang sejak 1980-an sudah berkembang di Indonesia dan memperoleh momentum aktualisasi dirinya pasca-reformasi, ketika demokrasi digunakan sebagai alat penyelundupan berbagai ajaran dan agendanya. HTI sesungguhnya sudah melakukan penyelundupan demokrasi untuk mencapai negara Islam yang dicita-citakan.

Apa yang dilakukan pemerintah perihal pembubaran HTI sebenarnya dapat dipahami dalam dua aspek. Pertama, ini tindakan pemerintah dalam melindungi segala macam simbol negara yang selama ini didiskreditkan oleh HTI dan melindungi bangunan NKRI agar masyarakat tidak dipengaruhi dan terseret arus ajaran dan agendanya yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 45, dan kebinekaan.

Kedua, ini merupakan tindakan pemerintah dalam melakukan intervensi sosial terhadap HTI, sekaligus isyarat terhadap berbagai kelompok sosial dan keagamaan yang merongrong dasar negara dan konstitusi. Ini juga isyarat kepada kelompok yang melakukan tindakan otoriter untuk mengintimidasi pihak lain atas dasar kepentingan dan kebenaran dirinya semata.

Apa yang dilakukan pemerintah dengan membubarkan HTI sebenarnya merupakan langkah yang tepat. Pemerintah juga tidak menghalang-halangi HTI untuk melakukan gugatan hukum di pengadilan karena, bagaimanapun, Indonesia adalah negara hukum.

Berita terkait

Koalisi Prabowo Rangkul PKB dan Partai Nasdem Bahayakan Demokrasi

2 hari lalu

Koalisi Prabowo Rangkul PKB dan Partai Nasdem Bahayakan Demokrasi

Upaya Koalisi Prabowo merangkul rival politiknya dalam pemilihan presiden seperti PKB dan Partai Nasdem, berbahaya bagi demokrasi.

Baca Selengkapnya

Dosen Politik Universitas Udayana Sebut 5 Skenario Potensial Putusan Sengketa Pilpres oleh Hakim MK

7 hari lalu

Dosen Politik Universitas Udayana Sebut 5 Skenario Potensial Putusan Sengketa Pilpres oleh Hakim MK

Dosen Ilmu Politik Universitas Udayana (Unud) prediksi 5 skenario potensial putusan MK sengketa Pilpres 2024 yang akan di gelar Senin, 22 April 2024

Baca Selengkapnya

Kelompok Pemantau Eopa: Pemilu Turki Belum Sepenuhnya Kondusif bagi Demokrasi

26 hari lalu

Kelompok Pemantau Eopa: Pemilu Turki Belum Sepenuhnya Kondusif bagi Demokrasi

Kelompok pemantau pemilu dari Dewan Eropa mengatakan lingkungan pemilu Turki masih terpolarisasi dan belum sepenuhnya kondusif bagi demokrasi.

Baca Selengkapnya

Respons Bambang Widjojanto Soal MK Panggil 4 Menteri Jokowi Jadi Saksi Sengketa Pilpres

26 hari lalu

Respons Bambang Widjojanto Soal MK Panggil 4 Menteri Jokowi Jadi Saksi Sengketa Pilpres

Bambang Widjojanto menilai MK ingin sungguh-sungguh memeriksa setiap bukti dalam sidang sengketa Pilpres 2024.

Baca Selengkapnya

Ketika Ganjar dan Mahfud Md Kompak Berharap MK Selamatkan Demokrasi

32 hari lalu

Ketika Ganjar dan Mahfud Md Kompak Berharap MK Selamatkan Demokrasi

Mahfud Md berharap MK mengambil langkah penting untuk menyelamatkan masa depan demokrasi dan hukum di Indonesia.

Baca Selengkapnya

Ganjar dan Mahfud Bakal Singgung Kemunduran Demokrasi di Sidang Sengketa Pilpres

32 hari lalu

Ganjar dan Mahfud Bakal Singgung Kemunduran Demokrasi di Sidang Sengketa Pilpres

Mahkamah Konstitusi menjadwalkan pemeriksaan pendahuluan kepada Ganjar dan Mahfud, hari ini, pukul 13.00 WIB.

Baca Selengkapnya

Deretan Partai Oposisi dari Masa ke Masa

34 hari lalu

Deretan Partai Oposisi dari Masa ke Masa

Oposisi menjadi bagian penting dalam sistem demokrasi sebagai upaya penerapan mekanisme check and balance, berikut deretan partai oposisi dari masa ke masa.

Baca Selengkapnya

Aktivis Masyarakat Sipil Sumbar Tolak Dwi Fungsi TNI hingga Dorong Hak Angket

39 hari lalu

Aktivis Masyarakat Sipil Sumbar Tolak Dwi Fungsi TNI hingga Dorong Hak Angket

Majelis Akademika dan Aktivis Masyarakat Sipil Sumatera Barat menyampaikan delapan tuntuntan untuk penyelamatan demokrasi.

Baca Selengkapnya

Faisal Basri sebut Jokowi Bikin Indeks Demokrasi RI Mendekati Nol, Lebih Rendah dari Papua Nugini dan Timor Leste

40 hari lalu

Faisal Basri sebut Jokowi Bikin Indeks Demokrasi RI Mendekati Nol, Lebih Rendah dari Papua Nugini dan Timor Leste

Berdasar V-Dem Democracy Index 2024, Faisal Basri sebut Jokowi membuat indeks demokrasi mendekati nol, lebih rendah dari Papua Nugini dan Timor Leste.

Baca Selengkapnya

Tak Kendur Guru Besar UGM dan UI Kritisi Jokowi, Kampus Menggugat dan Seruan Salemba Menguat

43 hari lalu

Tak Kendur Guru Besar UGM dan UI Kritisi Jokowi, Kampus Menggugat dan Seruan Salemba Menguat

Setelah menggelar aksi yang melibatkan puluhan kampus pada akhir Januari lalu, kini UGM, UI, dan UII kembali kritisi Jokowi. Apa poin mereka?

Baca Selengkapnya