Eropa

Penulis

Senin, 25 Juli 2016 00:00 WIB

Di tepi jalan kereta api di stasiun Kln Messe/Deutz patung-patung raja berkuda jadi hijau oleh cuaca beratus tahun. Terselip di antara pepohonan dan kabel-kabel yang terentang, mereka seperti barang logam bekas yang diletakkan di sana karena orang tak tahu ke mana harus dibuang. Yang saya lihat sebuah sosok yang seakan-akan sedang menggerakkan kudanya maju, tapi jalan telah raib. Abad ke-21 meletakkan sisa-sisa raja ke ruang yang kehilangan arti.

Tentu saja tak hanya sisa-sisa raja. Dan tak hanya di Jerman. Juga mimpi dan rasa cemas di Eropa yang membagi-bagi benua itusebelum ataupun sesudah Brexit. Dari jendela gerbong dari Frankfurt menuju Amsterdamini tahun 2012saya menyadari, tapal batas antara Belanda dan Jerman kini hanya dikenang sebagai cerita absurd nasionalisme. Ribuan orang mati dalam dua perang besar abad ke-20 untuk mengubah letak tapal batas itu. Di abad ke-21, yang mati pura-pura dikenang, dan yang dipertengkarkan tak berbekas.

Tapi benarkah? Peta telah jadi digital, yanamun kemajuan tak dengan sendirinya disertai tumbuhnya sesuatu yang nyaman: ruang hidup yang akrab. Eropa telah jadi bangunan supranasional; pelbagai keputusan yang mengatur hidup orang ditentukan nun jauh di luar ibu kota negeri masing-masing, oleh orang-orang, terutama para teknokrat, yang duduk di markas besar Uni Eropa di Brussels. Tapi dengan demikian, ada sebuah proses yang terasa tak terjangkau, terasa tak hadir.

Dalam sebuah wawancara dengan Die Zeit 12 Juli 2016setelah BrexitHabermas menyebut terjadinya "pengosongan teknokratis" (technokratische Entleerung) dari kehidupan. Uni Eropa, kata Habermas, dibentuk sedemikian rupa hingga keputusan ekonomi yang paling elementer, yang akibatnya mengenai seluruh masyarakat, "ditanggalkan dari pilihan demokratis". Brexit adalah gejala "pasca-demokrasi", ketika orang banyak, para warga, merasa hak dan kendali mereka lepas, dan sebab itu mereka bangkit untuk merebutnya kembali dalam sebuah referendum.

Dengan kata lain Brexit sebuah ungkapan anti-teknokrasi. Ada keinginan kembali kepada ruang hidup yang lebih akrab. Ada keyakinan yang tumbuh bahwa dalam ruang hidup itu peran negara nasional, yang mengikutsertakan para warga, bisa lebih cocok dengan keinginan orang banyak.

Advertising
Advertising

Yang dilupakan, suara orang banyak di Jerman, Prancis, Italia, dan lain-lain itulah yang pernah bersorak untuk nasionalisme dan perang. Maka tak mengherankan bila Persatuan Eropadengan tujuan mencegah perang barusejak mula dirintis dengan langkah yang mirip cara membentuk perusahaan besar ketimbang ramai-ramai mendirikan sebuah alternatif bagi nasionalisme. Jean Monnet, "Bapak Eropa", tak memulainya dengan gerakan politik. Ia mendirikan "Masyarakat Batu Bara dan Baja Eropa", yang mengintegrasikan industri Jerman dan Prancis, yang dikoordinasi sebuah "otoritas tinggi".

Separuh karena impian perdamaian, separuhnya lagi dengan pragmatisme, negeri-negeri Eropa lain bergabung (Inggris menolaksebuah indikasi Brexit yang paling awal). Lembaga inilah yang setahap demi setahap jadi Uni Eropa, lewat diplomasi dan pengembangan organisasi yang rumit. Monnet cocok untuk proses itu. Ia orang Prancis kelahiran 1888, anak saudagar brendi yang sejak usia muda mewakili bisnis keluarganya di pelbagai negeri. Lahir di Cognac, ia menggambarkan tempat lahirnya sebagai "kota brendi di mana orang mengerjakan sesuatu dengan perlahan-lahan dan penuh konsentrasi". Politik, baginya, berarti negosiasi yang sabar di tingkat atas, bukan kampanye untuk mendapat dukungan khalayak ramai.

Monnet meninggal pada usia 91 tahun. Eropa yang bersatu mulai jalan dan membesar. Dimulai dengan enam, kini ia persatuan 28 negara, terutama bekas negara sosialis yang dengan cepat jadi kapitalis. Tak mengherankan bila modal (bukan khalayak ramai) sangat berperan. Sebuah laporan Oxfam menyebutkan, dalam kelompok yang memberi masukan untuk reformasi pajak Eropa, 82 persen adalah wakil kepentingan swasta dan komersial. Kata seorang sosiolog: Uni Eropa adalah sebuah "mesin deregulasi".

Dan peran negara dalam menjaga keadilan jadi layu, dan kesepakatan untuk reformasi makin rumit, dan ketimpangan sosial menajam. Sekitar 123 juta orang Eropa terancam miskin ketika tak sampai 400 orang hidup dengan bermiliar euro.

"Pengosongan teknokratis" akhirnya juga pengosongan proyek Eropa dari antusiasme bersama. Rakyat banyak pun cari harapan di tempat laindengan kemarahan. "Kami", underdogs yang tersingkir, berdiri melawan "Mereka", siapa saja yang "bukan-Kami". Suasana antagonistis seperti api dalam sekam. Kekerasan datang, kemarahan menjalar.

Dan Eropa, seperti patung kuda para raja di tepi rel itu, belum tampak mau ke mana.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

Kapan Gaji ke-13 PNS Cair? Cek Tanggal dan Daftar Penerimanya

1 menit lalu

Kapan Gaji ke-13 PNS Cair? Cek Tanggal dan Daftar Penerimanya

Berikut ini jadwal pencairan gaji ke-13 bagi CPNS, PNS, PPPK, dan aparatur negara lainnya, termasuk presiden dan wakil presiden.

Baca Selengkapnya

Ingin Datang di Fansign Ji Chang Wook, Hari Ini Kesempatan Terakhir Ikutan Tantangannya

4 menit lalu

Ingin Datang di Fansign Ji Chang Wook, Hari Ini Kesempatan Terakhir Ikutan Tantangannya

Mengutip laman Instagram publikasi K-Brand, Korea 360, berikut cara agar Anda bisa bertemu oppa Ji Chang Wook.

Baca Selengkapnya

Jembatan Sebulu Segera Dibangun, Edi-Rendi Gelontorkan Rp203 Miliar untuk Tahap Pertama

6 menit lalu

Jembatan Sebulu Segera Dibangun, Edi-Rendi Gelontorkan Rp203 Miliar untuk Tahap Pertama

Pemerintah telah melakukan seluruh persiapan dan proses pembangunan

Baca Selengkapnya

Tak Semua Pemain Naturalisasi Bersinar di Timnas Indonesia

7 menit lalu

Tak Semua Pemain Naturalisasi Bersinar di Timnas Indonesia

Maarten Paes menjadi naturalisasi kesekian untuk timnas Indonesia. Berikut pemain naturalisasi yang tak penuhi ekspektasi.

Baca Selengkapnya

Korupsi Rumah Dinas DPR RI, KPK Periksa Hiphi Hidupati

8 menit lalu

Korupsi Rumah Dinas DPR RI, KPK Periksa Hiphi Hidupati

KPK memanggil Kepala Bagian Pengelolaan Rumah Jabatan Sekretariat Jenderal DPR RI Hiphi Hidupati dalam dugaan korupsi rumah dinas

Baca Selengkapnya

Mengenal Sadiq Khan Wali Kota London Tiga Periode

9 menit lalu

Mengenal Sadiq Khan Wali Kota London Tiga Periode

Sadiq Khan meraih kemenangan periode ketiga sebagai Wali Kota London. Ia dari Partai Buruh

Baca Selengkapnya

Jelang Singapore International Water Week, Kadin: Masih Banyak Populasi di RI yang Tak Punya Akses Air Bersih

12 menit lalu

Jelang Singapore International Water Week, Kadin: Masih Banyak Populasi di RI yang Tak Punya Akses Air Bersih

Kadin menggelar panel diskusi sebagai rangkaian dari SIWW 2024. Akses terhadap air bersih masih menjadi tantangan sejumlah wilayah di Indonesia.

Baca Selengkapnya

Sengketa Pileg, KPU Tegaskan Tak Ada Pengalihan Suara Demokrat ke PKB di Dapil Jateng 5

15 menit lalu

Sengketa Pileg, KPU Tegaskan Tak Ada Pengalihan Suara Demokrat ke PKB di Dapil Jateng 5

Kuasa hukum KPU mengatakan, berdasarkan analisis hasil pemilihan, tidak ada penambahan suara sebagaimana yang dituduhkan Pemohon.

Baca Selengkapnya

Sinyal Awal PDIP Diprediksi Bakal Jadi Oposisi Pemerintahan Prabowo-Gibran

16 menit lalu

Sinyal Awal PDIP Diprediksi Bakal Jadi Oposisi Pemerintahan Prabowo-Gibran

PDIP disebut bakal menentukan sikap politiknya terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran pada Rakernas: Koalisi atau oposisi.

Baca Selengkapnya

Bareskrim Ungkap Kasus Manipulasi Data Gunakan Email Palsu yang Rugikan Perusahaan Singapura Rp 32 Miliar

20 menit lalu

Bareskrim Ungkap Kasus Manipulasi Data Gunakan Email Palsu yang Rugikan Perusahaan Singapura Rp 32 Miliar

Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri mengungkap kasus manipulasi data menggunakan email palsu dan memanfaatkan informasi data untuk menipu.

Baca Selengkapnya