Tren Bunga Turun

Penulis

Rabu, 31 Mei 2017 02:33 WIB

Tri Winarno
Peneliti senior Bank Indonesia

Sejak resesi besar pada 2007-2009, bank sentral utama dunia masih menahan bunga pada tingkat yang sangat rendah, mendekati nol persen. Bahkan, di Amerika Serikat, setelah The Fed menaikkan beberapa kali tingkat bunganya, tingkat bunga jangka pendek tetap di bawah 1 persen serta tingkat bunga jangka panjang dan obligasi pemerintah juga sama rendahnya. Sampai sekarang bank sentral utama dunia masih menopang pasar uang dunia dengan membeli obligasi dalam jumlah yang masih masif dan tetap menahannya sebagai aset utama sehingga tingkat bunga masih bertahan sangat rendah.

Mengapa ekonomi global perlu dibantu dengan kebijakan moneter yang sangat longgar dan mengapa begitu lama? Kalau jawabannya akibat dari resesi besar yang terjadi pada rentang waktu 2007-2009, argumen itu sangat menyederhanakan penyebab utamanya.

Tingkat bunga jangka panjang riil tidak mencapai titik terendah dalam rentang waktu 2007-2009. Kalau data imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor sepuluh tahun dibentangkan dalam rentang waktu 35 tahun, di situ terlihat tren menurun, termasuk selama masa resesi besar tersebut. Imbal hasil obligasi pemerintah AS itu adalah 3,5 persen pada 2009, yaitu pada akhir resesi. Sekarang yield tersebut hanya berkisar 2 persen.

Hal yang sama terjadi pada tingkat bunga riil. Selama resesi besar, imbal hasil sekuritas riil AS tenor sepuluh tahun (TIPS) mencapai hampir 3 persen pada titik tertentu dan berada di sekitar 2 persen pada pengujung resesi. Sejak itu, imbal hasil TIPS terus menurun dan tetap rendah, mencapai 0,5 persen pada Mei 2017.

Fakta bahwa masyarakat mau menyimpan dananya selama 10 tahun (dalam jangka panjang) dengan tingkat bunga maupun imbal hasil yang begitu rendah menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan pesimistis terhadap perkembangan perekonomian global jangka panjang. Ini merupakan pembenaran nyata terhadap pandangan adanya secular stagnation, kondisi melemahnya ekonomi global yang berkepanjangan. Istilah tersebut dipopulerkan Menteri Keuangan AS Lawrence Summers dalam pidatonya di IMF pada November 2013. Kemudian, ekonom Paul Krugman menulis di New York Times tentang tema tersebut, sehingga istilah itu menjadi populer.

Walaupun istilah secular stagnation menjadi terkenal lima tahun setelah krisis keuangan global 2008, istilah itu sebenarnya telah lama muncul dalam khazanah ekonomi publik. Istilah tersebut muncul pertama kali tatkala ekonom Harvard University, Alvin Hansen, menyampaikan pidato di hadapan Asosiasi Ekonomi Amerika pada Desember 1938 dan di dalam bukunya yang terbit pada tahun yang sama.

Hansen menjelaskan esensi dari secular stagnation sebagai pemulihan ekonomi sakit yang meninggalkan masalah utama yang sulit dipecahkan, yaitu pengangguran. Tatkala Hansen menyampaikan pidatonya, dia berharap stagnasi ekonomi AS akan segera mereda. Namun depresi yang berawal pada runtuhnya pasar modal AS pada 1929 telah berlangsung selama 10 tahun tatkala Hansen berpidato dan Perang Dunia II belum dimulai. Hanya setelah Perang Dunia II dimulai pada 1939, stagnasi benar-benar berakhir.

Secular stagnation yang muncul pada era depresi besar tahun 1930 itu ditengarai salah satunya disebabkan rendahnya tingkat kelahiran di AS, ketika tingkat kelahiran mengalami penurunan yang dramatis sejak 1920. Menurut Hansen, jumlah kelahiran yang semakin sedikit memicu stagnasi ekonomi karena masyarakat tidak perlu membelanjakan uangnya lebih banyak untuk keperluan anak-anak, serta tidak perlu meningkatkan investasi untuk masa depan.

Menurut statistik Bank Dunia, rata-rata tingkat kelahiran global telah mengalami penurunan sejak krisis keuangan 2008. Namun rendahnya tingkat kelahiran tidak ada kaitannya dengan krisis keuangan tersebut, mengingat penurunan kelahiran telah terjadi saat kinerja ekonomi masih menunjukkan prestasi.

Penjelasan lain bahwa krisis 2008 masih tertanam di benak pelaku ekonomi adalah adanya kekhawatiran mendalam bahwa krisis yang sebenarnya jarang terjadi tersebut dapat terulang kembali. Dengan demikian, walaupun indikator kepercayaan konsumen sudah tinggi dan volatilitas pasar keuangan relatif rendah, ekonomi masih belum mampu pulih ke tingkat sebelum krisis.

Hal ini didukung oleh hasil penelitian di New York University oleh Julian Kozlowski dkk yang menyatakan bahwa masyarakat mengalami ketakutan akan terjadinya krisis lagi karena tatkala krisis benar-benar terjadi dampaknya sangat menyakitkan. Akibatnya, masyarakat cenderung berhati-hati dalam berbelanja, baik untuk konsumsi maupun untuk investasi, sehingga terjadilah penyakit ekonomi secular stagnation.

Teori lain yang mampu menjelaskan fenomena secular stagnation adalah meningkatnya kekhawatiran akan kemajuan teknologi yang pesat. Misalnya, kecemasan bahwa pekerjaannya akan digantikan oleh robot. Hal ini membuat masyarakat enggan membelanjakan uangnya untuk konsumsi dan investasi, sehingga mereka pun menabung, baik di bank maupun di pasar modal dalam obligasi, misalnya.

Dengan demikian, memang dibutuhkan stimulus dalam bentuk tingkat bunga yang semakin rendah agar masyarakat bersedia membelanjakan uangnya sehingga terjadi peningkatan permintaan.

Berita terkait

Sri Mulyani Beberkan Efek Konflik Timur Tengah ke Indonesia, Mulai dari Lonjakan Harga Minyak hingga Inflasi

2 hari lalu

Sri Mulyani Beberkan Efek Konflik Timur Tengah ke Indonesia, Mulai dari Lonjakan Harga Minyak hingga Inflasi

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan tensi geopolitik di Timur Tengah cenderung meningkat dan menjadi fokus perhatian para pemimpin dunia. Ia menegaskan kondisi ini mempengaruhi beberapa dampak ekonomi secara signifikan.

Baca Selengkapnya

Ekonom Ideas Ingatkan 3 Tantangan RAPBN 2025

3 hari lalu

Ekonom Ideas Ingatkan 3 Tantangan RAPBN 2025

Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono menyebut RAPBN 2025 akan sejumlah tantangan berat.

Baca Selengkapnya

Setelah Kemarin Melemah, Kurs Rupiah Hari Ini Diprediksi Menguat

3 hari lalu

Setelah Kemarin Melemah, Kurs Rupiah Hari Ini Diprediksi Menguat

Analis Ibrahim Assuaibi, memperkirakan rupiah hari ini fluktuatif dan akan ditutup menguat pada rentang Rp 16.150 sampai Rp 16.220 per dolar AS.

Baca Selengkapnya

Pengamat Sebut Kenaikan BI Rate hanya Jangka Pendek, Faktor Eksternal Lebih Dominan

3 hari lalu

Pengamat Sebut Kenaikan BI Rate hanya Jangka Pendek, Faktor Eksternal Lebih Dominan

BI menaikkan BI Rate menjadi 6,25 persen berdasarkan hasil rapat dewan Gubernur BI yang diumumkan pada Rabu, 24 April 2024.

Baca Selengkapnya

IHSG Ditutup Melemah Ikuti Mayoritas Bursa Kawasan Asia

3 hari lalu

IHSG Ditutup Melemah Ikuti Mayoritas Bursa Kawasan Asia

IHSG Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Kamis sore, ditutup turun mengikuti pelemahan mayoritas bursa saham kawasan Asia.

Baca Selengkapnya

Terpopuler: Kontroversi 1 Juta Hektare Padi Cina di Kalimantan, Deretan Alasan BI Naikkan Suku Bunga

4 hari lalu

Terpopuler: Kontroversi 1 Juta Hektare Padi Cina di Kalimantan, Deretan Alasan BI Naikkan Suku Bunga

Berita terpopuler bisnis pada 24 April 2024, dimulai rencana Cina memberikan teknologi padi untuk sejuta hektare lahan sawah di Kalimantan.

Baca Selengkapnya

Tingginya Suku Bunga the Fed dan Geopolitik Timur Tengah, Biang Pelemahan Rupiah

4 hari lalu

Tingginya Suku Bunga the Fed dan Geopolitik Timur Tengah, Biang Pelemahan Rupiah

Gubernur BI Perry Warjiyo menyebut pelemahan rupiah dipengaruhi oleh arah kebijakan moneter AS yang masih mempertahankan suku bunga tinggi.

Baca Selengkapnya

Gubernur BI Prediksi Suku Bunga The Fed Turun per Desember 2024: Bisa Mundur ke 2025

4 hari lalu

Gubernur BI Prediksi Suku Bunga The Fed Turun per Desember 2024: Bisa Mundur ke 2025

Gubernur Bank Indonesia atau BI Perry Warjiyo membeberkan asumsi arah penurunan suku bunga acuan The Fed atau Fed Fund Rate (FFR).

Baca Selengkapnya

BI Naikkan Suku Bunga Acuan, Bank Mandiri: Penting di Tengah Ketidakpastian dan Fluktuasi Global

4 hari lalu

BI Naikkan Suku Bunga Acuan, Bank Mandiri: Penting di Tengah Ketidakpastian dan Fluktuasi Global

Bank Mandiri merespons soal kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI).

Baca Selengkapnya

BI Naikkan Suku Bunga Acuan Jadi 6,25 Persen, Perry Warjiyo: Untuk Perkuat Stabilitas Rupiah

4 hari lalu

BI Naikkan Suku Bunga Acuan Jadi 6,25 Persen, Perry Warjiyo: Untuk Perkuat Stabilitas Rupiah

BI akhirnya menaikkan suku bunga acuan atau BI Rate menjadi 6,25 persen. Apa alasan bank sentral?

Baca Selengkapnya