Melky Sidhek Gultom
Mahasiswa Magister Hukum Universitas Sriwijaya
Para ahli hukum sempat berpolemik soal status penahanan mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjatuhkan vonis 2 tahun penjara kepada Ahok dalam kasus penodaan agama pada 9 Mei lalu dan langsung memerintahkan Ahok segera ditahan pada hari itu juga. Hal ini memicu gerakan massa yang meminta penahanan Ahok ditangguhkan.
Ada masalah hukum acara pidana di sini. Apakah mutlak perintah penahanan dicantumkan dalam amar putusan sebagaimana ditekankan Pasal 197 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana paralel dengan Pasal 193 ayat 1 huruf (a) KUHAP? Bagaimana jika terdakwa itu tidak pernah ditahan di tingkat penyidikan, penuntutan, dan persidangan tingkat pertama--seperti yang dialami Ahok?
Putusan yang tidak mencantumkan perintah penahanan bagi terdakwa yang sebelumnya tidak ditahan tidaklah batal demi hukum. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 69/PUU-X/2012 yang menyatakan putusan pengadilan yang tidak memenuhi Pasal 197 ayat (1) KUHAP, khususnya tentang perintah penahanan, tidak batal demi hukum, melainkan tetap sah secara hukum.
Sesungguhnya kewenangan menahan atau tidaknya terdakwa adalah kewenangan diskresioner. Pasal 20 ayat (3) dan 28 ayat (1) KUHAP menunjukkan bahwa (1) kewenangan untuk menahan itu sifatnya diskresioner dan (2) hanya diperlukan selama untuk kepentingan pemeriksaan. Selama proses persidangan, hakim tingkat pertama hanya diberikan kewenangan menahan terdakwa selama 30 hari + 60 hari. Apabila lewat dari itu, sekalipun belum selesai proses pemeriksaannya, terdakwa harus dikeluarkan dari tahanan sambil menunggu proses pemeriksaan perkara.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, jika putusan hakim kemudian dijadikan dasar hukum untuk menahan terdakwa, perintah penahanan itu melanggar hukum. Jika hal itu dibenarkan, lalu sampai berapa lama lagi masa penahanan itu dilaksanakan terdakwa? Untuk menghindari polemik tersebut, sebaiknya sebelum diucapkan putusan, majelis hakim membacakan penetapan penahanan terdakwa. Jika demikian, amar putusan hakim mutlak mencantumkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan
Frasa "perintah penahanan" dengan amar putusan "menjalani pidana" adalah dua sayap yang berbeda. Perintah penahanan hanya diperlukan selama terdakwa menjalani pemeriksaan, dari penyidikan hingga kasasi, untuk memperlancar proses pemeriksaan tersebut. Adapun menjalani pidana adalah hasil dari pemeriksaan sampai terbuktinya perbuatan terdakwa.
Untuk menghindari agar penahanan terdakwa tersebut tidak menimbulkan gejolak di lapangan, sebaiknya yang berwenang bukan lagi pengadilan negeri, melainkan pengadilan tinggi ketika terdakwa menyatakan banding. Syaratnya, terdakwa atau penasihat hukum harus terlebih dulu menandatangani "akta banding" di depan pengadilan (panitera pengganti). Jika belum, penetapan penahanan dari Ketua Pengadilan Tinggi menjadi "tidak sah secara hukum".
Sering kali terjadi, ketika ketua majelis bertanya apakah terdakwa akan mengajukan banding, terdakwa menjawab "naik banding". Tapi, berselang tujuh hari masa pikir-pikir, ternyata terdakwa tidak jadi naik banding. Pada kasus Ahok, awalnya ia menyatakan naik banding, tapi tiba-tiba mencabut permohonan bandingnya dari Pengadilan Tinggi DKI.
Menurut saya, walaupun Ahok mencabut bandingnya, jika penuntut umum tetap mengajukan kontra-memori banding, perkara masih tetap berlanjut di Pengadilan Tinggi DKI. Kalau budaya cabut-mencabut banding ini dibiarkan berlarut, penegakan hukum dan kepastian keadilan menjadi kelam.
Kasus Ahok ini menarik. Pertama, sekalipun penahanan Ahok tidak sah sejak vonis dibacakan oleh majelis hakim tingkat pertama, kuasa hukum Ahok mengajukan penangguhan penahanan. Penangguhan penahanan diajukan, sementara penahanan terdakwa saja tidak sah. Dasar hukum penetapan penahanan dari Ketua Pengadilan Tinggi DKI tersebut juga meragukan apakah didasarkan atas permohonan banding secara lisan atau tertulis (melalui akta banding). Kalau dasar penahanannya adalah permohonan lisan, penetapan penahanan itu menjadi tidak sah.
Kedua, dengan dicabutnya akta permohonan banding tersebut, Ahok telah menerima putusan tersebut. Dengan demikian, status hukumnya berubah menjadi terpidana, yakni menjalani pidana selama 2 tahun. Ia bukan lagi melaksanakan penetapan penahanan dari Ketua Pengadilan Tinggi DKI yang diragukan keabsahannya.
Berita terkait
Sidang Tuntutan Ahmad Dhani Batal, Jaksa Belum Siap untuk...
19 November 2018
Sidang tuntutan kasus ujaran kebencian dengan terdakwa Ahmad Dhani di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dijadwalkan berlangsung siang ini batal.
Baca SelengkapnyaKata Jack Lapian Soal Ahmad Dhani Ungkit Vonis Ahok di Pengadilan
7 November 2018
Pendiri Cyber Indonesia Jack Boyd Lapian menganggap lumrah Ahmad Dhani minta hukuman tidak lebih berat dari kasus Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Baca SelengkapnyaPK Ahok Ditolak, Fifi Lety: Silakan Ditafsirkan Sendiri
4 April 2018
Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah belum mengetahui alasan majelis hakim menolak PK Ahok tersebut.
Baca SelengkapnyaFifi Lety Lapor PK Ahok Ditolak, Bagaimana Reaksi BTP?
30 Maret 2018
Fifi Lety Indra datang langsung ke Rumah Tahanan Mako Brimob untuk memberitahukan PK Ahok ditolak Mahkamah Agung.
Baca SelengkapnyaMA Tolak PK Ahok, Humas Alumni 212 Ucap Takbir
26 Maret 2018
Novel memuji majelis hakim yang memeriksa perkara Peninjauan Kembali yang diajukan Ahok.
Baca SelengkapnyaMahkamah Agung Tolak PK Ahok
26 Maret 2018
Abdullah belum menjelaskan alasan majelis hakim agung menolak upaya hukum yang dilakukan Ahok.
Baca SelengkapnyaDi Dalam Penjara Ahok Tetap Bugar dengan Olahraga Ini
21 Maret 2018
Tiga bulan pertama tinggal di penjara menjadi masa terberat bagi Ahok.
Baca SelengkapnyaMA Pilih Hakim Artidjo Alkostar Tangani PK Ahok, Ini Alasannya
17 Maret 2018
Majelis hakim agung yang menangani perkara PK Ahok ini diketuai hakim Artidjo Alkostar yang didampingi Salman Luthan dan Surmadiyatmo.
Baca SelengkapnyaHakim Artidjo Alkotsar Tangani PK Ahok, ACTA: Sudah Tepat
17 Maret 2018
Sebagai seorang praktisi hukum, Habiburokhman menilai kredibilitas hakim Artidjo Alkotsar untuk menangani PK Ahok tidak perlu diragukan lagi.
Baca SelengkapnyaMahkamah Agung: Keputusan PK Ahok Dua Pekan Lagi
16 Maret 2018
Sebagian besar masyarakat memberi perhatian besar terhadap perkara penodaan agama yang dikenakan kepada Ahok itu.
Baca Selengkapnya