Dirga Maulana
Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta
Wajah Islam Indonesia yang moderat tercoreng oleh sebagian kelompok Islam radikal. Jika hal ini dibiarkan, kelompok radikal tersebut makin menggerogoti dari dalam. Bagaimana caranya agar sikap moderat Islam ini tetap terjaga?
Serangan teroris teranyar terjadi di Kampung Melayu dengan cara bom bunuh diri, akhir Mei lalu. Jaringan ini diduga merupakan kelompok Jamaah Anshar Daulah (JAD), yang terbiasa melakukan tindakan teror serta berkeyakinan bahwa dunia ini diisi oleh orang-orang kafir dan thogut.
Potret tersebut bisa memunculkan gambaran Islam yang fanatik dan merupakan ancaman nyata bagi umat dan keutuhan sebuah bangsa. Sebab, mereka menstigma orang lain sebagai kafir, sesat, dan imajinasi yang menyeramkan.
Paham-paham radikal tersebut bisa masuk melalui institusi pendidikan, mimbar-mimbar masjid dengan menyebarkan ujaran kebencian, dan lini masa media sosial. Ruang-ruang tersebut menjadi arena paling ampuh untuk menyebarkan virus radikalisme.
Hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, pada 2016, merekam tiga temuan penting. Pertama, buku teks pendidikan agama Islam mengabaikan pembentukan nilai-nilai kebangsaan. Kedua, guru agama berorientasi Islamis, mendukung tindak kekerasan dalam menyikapi perbedaan. Ketiga, guru agama Islam tidak memiliki kapasitas dalam melawan paham eksklusif dan radikal.
Gambaran tersebut menunjukkan minimnya wawasan kebangsaan dan menguatnya paham keislaman yang eksklusif di kalangan guru agama. Mereka mempraktikkan "fikih" dengan saklek tanpa menjadi "fakih" (mengerti agama) sehingga menuduh orang menodai agamanya tanpa menyadari mereka telah menodai agamanya sendiri. Sikap mereka yang keras dan kasar mencerminkan sikap beragama yang konservatif dan mementingkan kelompok mereka. Bagaimana mungkin guru sebagai "garda depan" pendidikan tak mengerti soal kehidupan berbangsa dan bernegara? Pemahaman keagamaan mereka yang kaku dan membelenggu kerap membatasi keaktifan mereka dalam kerja-kerja toleransi.
Penelitian itu mencatat 78 persen responden guru agama setuju pada pemerintah berdasarkan syariat Islam; 77 persen setuju dukungan terhadap organisasi yang memperjuangkan syariat Islam; 87 persen tidak setuju kepala sekolah nonmuslim; 80 persen tidak setuju kepala dinas non-muslim; dan 89 persen tidak setuju kepala daerah non-muslim. Kondisi ini diperparah oleh menyeruaknya buku-buku ajar bermuatan radikal.
Hasil riset ini juga menunjukkan bahwa guru agama luput dari perhatian pemerintah. Kurangnya pelatihan keagamaan yang moderat dan wawasan kebangsaan menjadi faktor yang membuat mereka seperti itu. Bahkan, mereka belum pernah mendapatkan wawasan tentang keislaman dan keindonesiaan. Hasil riset ini bisa menjadi "peta jalan" dan membangun kerja sama antara Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dalam merumuskan dan mengelola konten-konten dan memperbaiki mutu guru.
Islam sebagai agama wasathiyyah yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan terbuka semestinya menjadi desain besar corak Islam Indonesia. Meminjam istilah Cak Nur, "Umat Islam harus kembali percaya sepenuhnya pada kemanusiaan, yang berimplikasi pada masa depan Islam yang tidak bertentangan pada nilai-nilai kemanusiaan dan kemoderenan."
Implikasi bahwa Islam merupakan agama kemanusiaan berarti Islam percaya sepenuhnya pada harkat dan martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan. Orang yang percaya kepada Tuhan dengan makna sesungguhnya akan juga menghormati dan tidak saling membunuh sesama manusia. Mereka tidak lagi mengatakan bahwa yang hidup di luar Islam sebagai "gangguan" dan kafir.
Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar telah menjadi contoh di dunia. Negara ini juga memiliki Pancasila sebagai dasar negara, yang dinilai Cak Nur sangat mirip dengan anjuran dan prinsip-prinsip Al-Quran. Pancasila disebut Cak Nur sebagai platform bersama (kalimatun sawa) dari berbagai kepentingan masyarakat Indonesia yang majemuk (Cak Nur, 1995). Elaborasi kalimatun sawa bukan hanya dalam hal teologis, tapi juga secara sosial merupakan prinsip transaksi kemanusiaan.
Pemerintah dan organisasi Islam terbesar, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, punya peran strategis. Kedua organisasi massa Islam ini memiliki perangkat sempurna dari kota hingga pedesaan, seperti lembaga pendidikan (sekolah, universitas), masjid, pondok pesantren, dan rumah sakit. Tapi keduanya dirasa "lesu" sehingga kantong basisnya direbut oleh kalangan radikal.
NU dan Muhammadiyah harus mampu melakukan "pribumisasi dan kontekstualisasi ajaran Islam" sehingga nilai-nilai Islam moderat bisa masuk ke segala tradisi manusia Indonesia agar melahirkan visi ke depan yang lebih progresif dan percaya diri. Inilah urgensi NU dan Muhammadiyah bagi bangsa Indonesia sebagai dua wajah Islam moderat.
Berita terkait
Putin Akui Belum Ada Bukti Keterlibatan Ukraina dalam Serangan Teroris Moskow
34 hari lalu
Presiden Rusia Vladimir Putin mengakui bahwa sejauh ini belum ada tanda-tanda keterlibatan Ukraina dalam penembakan di gedung konser Moskow
Baca SelengkapnyaDapat Ancaman dari Kelompok Radikal, Prancis Imbau Warganya Tinggalkan Pakistan
16 April 2021
Massa kelompok Islam radikal Pakistan bentrok dengan polisi untuk memprotes penangkapan pemimpin mereka yang menuntut dubes Prancis diusir.
Baca SelengkapnyaPrancis, Sekularisme, dan Kehati-hatian Menangani Islam Radikal
3 November 2020
Prancis menjadi sorotan sejak peristiwa pembunuhan guru asal Paris. Penyebabnya, pernyataan mereka soal paham radikal. Diduga lost in translation.
Baca SelengkapnyaIni Reaksi Berbagai Politisi dan Kepala Negara Atas Terorisme di Nice
29 Oktober 2020
Kepala pemerintahan dan politisi dari berbagai negara bereaksi atas aksi terorisme yang terjadi Notre-dame Basilica, Nice, Prancis.
Baca SelengkapnyaDewan Muslim Prancis Mengecam Aksi Terorisme di Nice
29 Oktober 2020
Dewan Keimanan Muslim Prancis mengutuk peristiwa teror yang terjadi di Gereja Notre-Dame Basilica, Nice Kamis ini
Baca SelengkapnyaPresiden Prancis Emmanuel Macron Menuju Lokasi Teror di Nice
29 Oktober 2020
Presiden Prancis Emmanuel Macron bergegas menuju Gereja Notre Dame Basilica di Nice yang menjadi lokasi aksi teror terbaru.
Baca SelengkapnyaTurki Akan Perkarakan Charlie Hebdo Atas Karikatur Erdogan
29 Oktober 2020
Pemerintah Turki menyatakan akan mengambil jalur hukum atas perkara karikatur Recep Tayyip Erdogan di majalah Charlie Hebdo
Baca SelengkapnyaPrancis Balas Kecaman Turki Soal Karikatur Erdogan di Charlie Hebdo
29 Oktober 2020
Pemerintah Prancis merespon kecaman Turki perihal karikatur Presiden Recep Tayyip Erdogan di sampul halaman majalah satir Charlie Hebdo.
Baca SelengkapnyaPresiden Iran Ikut Komentari Masalah Charlie Hebdo, Turki, dan Prancis
29 Oktober 2020
Presiden Iran Hassan Rouhani ikut berkomentar soal ketegangan antara Prancis dan Turki yang dipicu oleh karikatur Nabi Muhammad dari Charlie Hebdo
Baca SelengkapnyaEmmanuel Macron Mau Perkuat Hukum Sekuler Prancis untuk Lawan Islam Radikal
6 Oktober 2020
Emmanuel Macron akan mengusulkan rancangan undang-undang yang akan menguatkan penegakan sekuler untuk melawan Islam radikal.
Baca Selengkapnya