Putu Setia
@mpujayaprema
Romo Imam ternyata pernah menjadi tentara. Pangkat terakhirnya sersan kepala, bertugas di Bagian Keuangan Komando Daerah Militer (Kodam). Suatu ketika komandannya ketahuan menyelewengkan surat perjalanan dinas dan dihukum pindah tugas. "Ada perjalanan fiktif. Sebagai bawahan saya tak enak hati, lalu mengundurkan diri," ceritanya.
"Apa kesan selama dinas?" tanya saya. "Disiplin tentara ketat, meski ada juga celah untuk korupsi kecil-kecilan menambah uang lauk-pauk. Pakaian dinas tak boleh sembarangan. Topi harus terus dipakai sesuai ketentuan. Pernah kaki kiri saya luka, tak bisa pakai sepatu, kaki harus dibalut. Tapi kaki kanan tetap bersepatu, lalu pakai tongkat dan memberi hormat." Romo tertawa.
"Sekarang kan masih disiplin, Romo," kata saya basa-basi. Romo berkata: "Tapi tuntutan zaman mulai aneh kalau dilihat dari masa lalu. Tentara berpakaian dinas memakai kopiah haji berwarna putih, berbaur dengan ulama, berzikir untuk ketenteraman negeri. Kemarin dulu tentara dengan pakaian dinas lengkap memakai ikat kepala berwarna merah putih, katanya ada apel Nusantara Bersatu."
Saya mulai memancing. "Artinya apa, Romo?" Romo menjawab: "Tentara sejak dulu selalu repot. Tugas pokoknya menjaga pertahanan negara dari serangan musuh, tetapi tentara juga membangun jembatan di desa. Ada tanah longsor atau banjir, tentara turun tangan. Sekarang ada ribuan orang melakukan aksi demo, eh maaf, aksi doa bersama, tentara pula yang mengamankan. Kebinekaan diasumsikan tergerus, tentara pula yang mengobarkan semangat untuk menyatukan Nusantara. Para panglima di daerah-daerah memimpin apel dan berorasi perlunya persatuan."
"Itu panggilan tugas, Romo. Yang penting tidak dwifungsi lagi," kata saya. Romo semangat menjawab: "Dwifungsi yang dulu ada aturannya, bukan sembarangan. Istilahnya dikaryakan. Tentara yang dikaryakan menjadi bupati pangkatnya minimal letnan kolonel, setara dengan pangkat komandan Distrik Militer. Yang dikaryakan jadi gubernur berpangkat kolonel setara komandan Resor militer, bahkan sudah berbintang supaya lebih matang. Kan ada musyawarah pimpinan daerah, di sana ada panglima kodam, ketua pengadilan tinggi, dan seterusnya. Masak gubernur pangkatnya mayor, ya, nanti menghormat ke koleganya, dong...."
"Stop, Romo, jangan diteruskan, nanti ada yang tersindir," saya memotong. "Yang saya persoalkan, kalau tentara direpotkan dengan doa bersama, menggelorakan kerukunan, menyemangati persatuan Nusantara, apa tidak pecah konsentrasinya dalam menjaga keutuhan bangsa dari serangan luar? Memang ancaman dari luar diprediksi tidak ada, atau mungkin tidak mencemaskan benar, tetapi bukankah program membangun pulau terluar lebih penting melibatkan tentara? Daripada memakai kopiah haji bersama ulama atau memakai ikat kepala merah-putih kayak mengusir penjajah."
"Itu kekhawatiran saya juga," kata Romo. "Awalnya tentara hanya mem-back-up polisi. Lama-lama menjadi kebutuhan yang tak bisa ditinggalkan. Polisi senang mendapat bantuan. Presiden juga senang tentara berkomitmen menjaga kebinekaan, terbukti Presiden berkeliling mengunjungi kesatuan elite. Rakyat pun juga senang, merasa ada yang mengayomi dari kegiatan yang paling ditakuti: makar. Buktinya apel Nusantara Bersatu di pusat sampai daerah yang tampil di depan komandan tentara, bukan kepala polisi setempat. Kalau semuanya senang, ya, lama-lama ini pintu masuk untuk munculnya dwifungsi gaya baru. Apalagi partai gagal memunculkan pemimpin sipil."
Saya tepok jidat.