Trump

Penulis

Senin, 14 November 2016 00:00 WIB

Donald Trump adalah gejala penyakit kambuhan Amerika. Penyakit ini bermula dari sederet ketimpangan.

Ada ketimpangan sosial antara yang kaya dan yang miskin, antara yang "sudah sangat kaya" dan "belum kaya". Di sini, garis pemisah makin tegas dan tebal dalam tiga dasawarsa terakhir. Memang diyakinkan berulang-ulang sahihnya "impian Amerika", impian yang jadi sejenis iman, bahwa siapa pun di negeri itu, bila bekerja keras, bisa mencapai kehidupan yang jaya. Tapi sebagaimana layaknya mimpi, ia dimulai dari tidur. Dan masyarakat Amerika lama tertidur: mereka tak melihat bahwa gerak ke atas dalam mobilitas sosial sangat terbatas; yang miskin umumnya tetap miskin. Pada saat yang sama, kian miskin seseorang, kian terbatas modal informasi (terkadang disebut "modal budaya") untuk menang bersaing.

Maka timpang juga kesetaraan dalam kesiapan persepsi. Di sebelah sini hidup mereka yang lebih mengenal dunia yang rumit dan aneka warna; di sebelah sana berjubel mereka yang tak kenal, bahkan menolak, dunia itu. Dalam kancah yang egosentris itu, tiap yang "asing", dari "luar", un-Americansosialisme, komunisme, Yahudi, Islammembangkitkan waswas. Apa yang belakangan ini disebut sebagai "populisme" berkecamuk dengan paranoia, rasa terancam, dan kebencian.

Populisme pun jadi suara parau yang membentuk dan dibentuk antagonisme, terutama ketika situasi terasa menekan dan kekuasaan yang menjaganya dianggap berkepala batu. Kelompok-kelompok politik mulai terbentuk. Hasilnya satu mata rantai ketidakpuasan. Mereka memandang diri sebagai "Kami", "Rakyat" yang padu, menghadapi "Yang Lain" yang isinya mereka bayangkan berdasarkan amarah saat itu. Mereka melihat lembaga-lembaga sosial-politik yang ada selama ini tak membawa suara "Rakyat". Partai politik dan politikusnya dikuasai "Yang Lain", yakni kaum elite. Media massa serta media sosial dikendalikan orang-orang di atas. Mereka melawan.

Beberapa bulan sebelum kemenangan, Donald Trump dikecam para pembesar Partai Republikpartai politik yang notabene mendukungnya dan mencalonkannya. Tapi di hari pemilihan ia justru dengan gemuruh dipilih langsung oleh "Rakyat".

Advertising
Advertising

Pelbagai kecenderungan "populis" yang memusuhi "Yang Lain" tampak bergabung di sini. "Yang Lain" bisa berarti para pemimpin politik di ibu kota. "Yang Lain" bisa berarti imi- gran Meksiko, Muslim, orang Hitam, kaum gay, para intelektual, dan seniman yang membela minoritas-minoritas ini dengan bahasa yang jauh dari "Rakyat". "Yang Lain" juga bisa berarti pendukung "perdagangan bebas" dan "globalisasi" yang bagi suara populis ini hanya menguntungkan "bukan kami".

Tampak, populisme ini tak bisa disebut "kanan" tak pula bisa dicap "kiri". Penamaan dan label lama sudah tak bisa berlaku.

Tapi pada saat yang sama, bayang-bayang kemarahan dan kebencian masa lalu muncul kembali. Penyakit lama kambuh mencari antagonisme baru. Rasisme Putih yang menampik dan mencurigai orang Hitam, Kuning, Cokelat lahir dari sedimentasi purbasangka abad lalu ketika kata "Negro" berarti penghinaan. Semangat feminis yang menegaskan hak perempuan untuk mengelola fungsi keibuan kaum wanitatermasuk dalam memilih untuk tak melahirkandicurigai sebagai penyebab susutnya penduduk kulit putih dan guncangnya nilai-nilai keluarga yang dianggap jadi benteng Mayoritas. Demikian juga homoseksualitas dimusuhi dengan doktrin-doktrin agama yang cemas dari abad ke abad.

Tak mengejutkan bila populisme dengan cepat bertaut dengan konservatisme.

Donald Trump adalah pengingat bahwa proses demokrasi memang bisa membuat perubahan, tapi perubahan tak dengan sendirinya berarti kemajuan, tak pula berarti perbaikan. Dengan catatan, bila pengertian "maju" dan "lebih baik" masih tetap seperti yang disepakati sejak dunia modern menetapkan diri.

Modernitas melihat sejarah ibarat arus sungai ke arah muara kemerdekaan manusiadan itu dianggap arah yang lebih baik. Populisme abad ke-21 menunjukkan pandangan yang sebaliknya: arah yang lebih baik itu omong kosong. Kemerdekaan (yang dilihat sebagai hidup yang liar dan centang-perenang) adalah kemerosotan. Persaudaraan antarmanusia hanya bisa secara terbatas, atau bila tidak, akan merusak kemurnian etnis atau nilai-nilai "Kami". Dengan itu populisme menggabungkan konservatisme dengan sikap reaksioner yang meledak-ledak.

Amerika kini menampakkan diri sebagai masyarakat yang macam itumemandang dunia dengan kelam dan tak punya kemampuan berharap. Yang mencemaskan bukanlah kepemimpinan Donald Trump; ia hanya symptom. Yang mencemaskan ialah bahwa sebuah negeri yang punya lembaga pendidikan terbaik di dunia, ilmuwan yang teruji, karya sastra dan seni yang tak henti-hentinya kreatif, ternyata dengan gampang jatuh jadi katak yang meradang tapi setia di bawah tempurung.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

Peringatan Dini BMKG: Sejumlah Provinsi Berpotensi Hujan Lebat Disertai Petir

2 menit lalu

Peringatan Dini BMKG: Sejumlah Provinsi Berpotensi Hujan Lebat Disertai Petir

Potensi hujan signifikan terjadi karena kontribusi dari aktivitas Madden Julian Oscillation (MJO), Gelombang Kelvin dan Rossby Equatorial.

Baca Selengkapnya

Top 3 Dunia: Arab Saudi Terbitkan Aturan Baru untuk Haji 2024 dan Jepang Kucurkan Bantuan untuk Papua

4 menit lalu

Top 3 Dunia: Arab Saudi Terbitkan Aturan Baru untuk Haji 2024 dan Jepang Kucurkan Bantuan untuk Papua

Top 3 dunia pada 2 Mei 2024, di antaranya pelapor yang menuduh Boeing telah mengabaikan cacat produksi 737 MAX, meninggal.

Baca Selengkapnya

Universitas Sciences Po Prancis Tolak Tuntutan Mahasiswa untuk Putus Hubungan dengan Israel

4 menit lalu

Universitas Sciences Po Prancis Tolak Tuntutan Mahasiswa untuk Putus Hubungan dengan Israel

Universitas Sciences Po di Paris menolak tuntutan mahasiswa untuk memutus hubungan dengan universitas-universitas Israel.

Baca Selengkapnya

Jadwal Proliga 2024 Jumat 3 Mei: 3 Laga Live, Termasuk Aksi Megawati Hangestri Bersama Jakarta BIN

24 menit lalu

Jadwal Proliga 2024 Jumat 3 Mei: 3 Laga Live, Termasuk Aksi Megawati Hangestri Bersama Jakarta BIN

Jadwal bola voli Proliga 2024 Jumat, 3 Mei, akan menampilkan 3 pertandingan, termasuk aksi Megawati Hangestri bersama Jakarta BIN.

Baca Selengkapnya

Dewan Pers Minta Wartawan yang Jadi Kontestan atau Tim Sukses di Pilkada 2024 Mundur

33 menit lalu

Dewan Pers Minta Wartawan yang Jadi Kontestan atau Tim Sukses di Pilkada 2024 Mundur

Insan media yang terlibat dalam kontestasi atau menjadi tim sukses pada Pilkada 2024 diminta mengundurkan diri sebagai wartawan

Baca Selengkapnya

Penemuan Mayat di Kosan Depok, Kepala Tertutup Bantal di Atas Kloset

33 menit lalu

Penemuan Mayat di Kosan Depok, Kepala Tertutup Bantal di Atas Kloset

Polisi telah mengamankan TKP, mencari dan menggali informasi penemuan mayat tersebut.

Baca Selengkapnya

Komnas PP KIPI Sebut Tidak Ada Efek Samping Vaksin AstraZeneca di Indonesia

37 menit lalu

Komnas PP KIPI Sebut Tidak Ada Efek Samping Vaksin AstraZeneca di Indonesia

Sebanyak 453 juta dosis vaksin telah disuntikkan ke masyarakat Indonesia, dan 70 juta dosis di antaranya adalah vaksin AstraZeneca.

Baca Selengkapnya

Lagu MAESTRO SEVENTEEN Versi Orkestra Bakal Dirilis Hari Ini

49 menit lalu

Lagu MAESTRO SEVENTEEN Versi Orkestra Bakal Dirilis Hari Ini

Lagu MAESTRO SEVENTEEN versi aslinya bergenre dance R&B, versi orkestra ini akan lebih megah

Baca Selengkapnya

Pembekuan Darah Usai Vaksinasi AstraZeneca, Epidemiolog: Kasusnya Langka dan Risiko Terkena Minim

50 menit lalu

Pembekuan Darah Usai Vaksinasi AstraZeneca, Epidemiolog: Kasusnya Langka dan Risiko Terkena Minim

Pasien pembekuan darah pertama yang disebabkan oleh vaksin AstraZeneca adalah Jamie Scott.

Baca Selengkapnya

KKP Berkomitmen Tingkatkan Jangkauan Pasar Tuna Indonesia

53 menit lalu

KKP Berkomitmen Tingkatkan Jangkauan Pasar Tuna Indonesia

Kementerian Kelautan dan Perikanan atau KKP berkomitmen meningkatkan jangkauan pasar tuna Indonesia.

Baca Selengkapnya