Segregasi

Penulis

Senin, 2 Januari 2017 00:00 WIB

MARI kita lihat foto lama. Ada papan pengumuman di sebuah kota Amerika, sekitar tahun 1950-an, dengan kalimat tegas: NO NIGGERS, NO JEWS, NO DOGS.

Tak hanya satu. Di ruang publik lain tampak pemberitahuan di dinding toilet atau dekat keran air minum: sebelah sini untuk "kulit putih", sebelah sana untuk "kulit berwarna".

Segregasi, pemisahan: "Negro", "Yahudi", orang kulit kuning, cokelat, dan anjing tak boleh ada dalam posisi tertentu. Haram jika berubah. Sebuah Undang-Undang Perdata dari Virginia tahun 1847: "Barang siapa [orang kulit putih] hadir bersama budak, (atau) orang negro yang bebas... dengan tujuan mengajari mereka membaca atau menulis... akan dihukum penjara...."

Percampuran dilarangbahkan percampuran di tempat kencing. Putih harus untuk Putih. Kemurnian harus dijaga. Kalau perlu dengan kekerasan.

Pada pertengahan 1920-an Ku Klux Klanyang punya sejarah panjangmuncul kembali. Dengan jubah putih-putih bertanda salib dan bertopeng, organisasi "gelap" di wilayah berpenduduk Protestan menyebarkan kebencian terhadap orang hitam, Katolik, dan Yahudi. Sesekali mereka gantung sampai mati seorang "nigger" tanpa jelas salahnya. Merasa membawa sikap mayoritas Kristen dan kulit putih, 13 September 1926 mereka berparade di ibu kota, Washington, DC, dengan seragam dan panji-panji lengkap.

Advertising
Advertising

Sejarah tak berulang, tapi ada yang seakan-akan kembali dari masa lalu. Menjelang Trump jadi Presiden AS, David Duke, aktivis neo-Nazi dan Ku Klux Klan, tetap menegaskan: "Tujuan kita yang jelas haruslah kemajuan ras putih dan pemisahan ras putih dari ras hitam." Juga harus ada pembebasan media dan pemerintah Amerika dari "kepentingan Yahudi yang tersembunyi".

Ada "kami", ada "mereka" sebagai identitassemuanya dibangun dengan rasa curiga, cemburu, dan paranoia, diteguhkan dengan pemurnian.

Tak cuma di Amerika.

Dengan latar yang berbeda, di Indonesia, khususnya di kalangan yang lazim menyebut diri Islam, ada orang-orang yang tak putus dirundung waswas dan sebab itu di mana-mana menegakkan barikade. Kaum segregasionis macam ini seperti ketakutan memasuki dinamika yang khaotik yang membuat banyak hal, termasuk identitas, campur aduk. Dengan kata lain: cemas memasuki sejarah.

Apalagi bagi sementara kalangan Islam, terutama di Timur Tengah, sejarah mereka diinterupsi imperialisme yang datang dari Eropa. Interupsi itu tidak hanya menandai kekalahan penguasa-penguasa lokal dan menyisakan sakit hati, tapi juga membawa hal-hal yang "tak murni"meskipun sebelum itu pun tak pernah jelas apa sebenarnya yang "murni" itu, kecuali dalam hasrat dan angan-angan.

Tapi dengan hasrat dan angan-angan itulah mereka melihat dunia. Dengan kecurigaan yang akut, mereka mengharamkan banyak hal sebagai ancamantermasuk topi Santa dan trompet kertas. Mereka melihat perbedaan semata-mata sebagai antagonisme. Tiap titik singgung, tiap pertemuan, antara "kami" dan "mereka", harus ditampik. Di Malaysia, "Allah" hanya boleh dipakai orang Islam, meskipun di Timur Tengah kata itu disebut dalam doa Nasrani.

Tentu saja akhirnya akan sia-sia. Teknologi, modal, media, ilmu, musik (terutama musik pop), makanan, pakaian, dan entah apa lagi menghambur dari mana-mana. Selalu ada anasir "mereka" yang jadi "kami", dan "kami" tak berhenti sebagai seutuhnya "kami". Edward Said dalam Culture and Imperialism menunjukkan: di zaman ini, tak ada seorang pun yang semata-mata satu, murni, dan utuh. No one today is purely one thing.

Tapi memang tak mudah lepas dari obsesi kemurnian. Sejarah adalah perjumpaan, saling banding, saling saing peradaban. Ada yang kalah, ada yang menang. Perbedaan memang bukan semata-mata antagonisme, tapi juga bukan semata-mata harmoni. Perbedaan "hitam" dan "putih" di Amerika, misalnya, menunjukkan juga penindasan, paralel dengan perbedaan kaya dan miskin, dengan akhir yang kalah tak akan diacuhkan. Kata-kata Ralph Ellison dalam novel Invisible Man tentang keterpojokan orang hitam di Amerika: "I am invisible, understand, simply because people refuse to see me."

Dari sinilah yang disebut "politik identitas" berkembang: perjuangan bersama sehimpun manusia menolak untuk selamanya invisible, "tak tampak". Mereka menuntut diakui. Mereka membentuk satu identitas, mengibarkan satu bendera, dan bertarung dalam politics of recognition.

Perjuangan ini, juga oleh aktivis Islam, adil, sebagaimana gerakan feminisme ketika perempuan disepelekan. Tapi "politik identitas" juga bisa terbawa ke dalam bangunan identitas yang tertutup, yang ingin tak tercampur. Dengan itu diabaikan kemungkinan bahwa dalam dirinyakatakanlah "Islam", "hitam", "perempuan"juga ada konflik, ketidaksetaraan, perubahan. Segregasi yang dibentuk hanya menyembunyikan yang terbelah di dalam.

Pada gilirannya yang tertutup akan layu. Segregasi adalah permulaan bunuh diri.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

Starlink Masuk RI, Kominfo: Kompetisi Bikin Hidup Lebih Hidup, Kita Tidak Berada di Zona Nyaman

3 menit lalu

Starlink Masuk RI, Kominfo: Kompetisi Bikin Hidup Lebih Hidup, Kita Tidak Berada di Zona Nyaman

Kementerian Kominfo yakin kedatangan investor asing seperti Starlink tak akan mengganggu bisnis perusahaan penyedia layanan telekomunikasi eksisting.

Baca Selengkapnya

Jokowi Respons Positif soal Wacana Presidential Club, Berharap Bisa Dilakukan Setiap 2 Hari Sekali

11 menit lalu

Jokowi Respons Positif soal Wacana Presidential Club, Berharap Bisa Dilakukan Setiap 2 Hari Sekali

Jokowi merespons positif wacana Presidential Club yang digagas Presiden terpilih Prabowo Subianto

Baca Selengkapnya

Saran Dermatolog untuk Cegah Flek Hitam kala Cuaca Panas

12 menit lalu

Saran Dermatolog untuk Cegah Flek Hitam kala Cuaca Panas

Paparan berlebihan terhadap sinar matahari dapat meningkatkan risiko munculnya hiperpigmentasi atau flek hitam pada kulit.

Baca Selengkapnya

Ini Agenda Masa Jabatan Kedua Trump, termasuk Deportasi Massal

12 menit lalu

Ini Agenda Masa Jabatan Kedua Trump, termasuk Deportasi Massal

Donald Trump meluncurkan agenda untuk masa jabatan keduanya jika terpilih, di antaranya mendeportasi jutaan migran dan perang dagang dengan Cina.

Baca Selengkapnya

Respons KPU Saat Mendagri Minta Cegah Kebocoran Data Pemilih Pilkada 2024

12 menit lalu

Respons KPU Saat Mendagri Minta Cegah Kebocoran Data Pemilih Pilkada 2024

Tito Karnavian mengingatkan KPU tentang potensi pidana jika terjadi kebocoran data pemilih Pilkada 2024.

Baca Selengkapnya

Timnas U-23 Kalah dari Irak, Ketua Umum PP Muhammadiyah: Seperti Politik, Kalah Menang Biasa

18 menit lalu

Timnas U-23 Kalah dari Irak, Ketua Umum PP Muhammadiyah: Seperti Politik, Kalah Menang Biasa

Haedar Nashir berpesan kepada punggawa Timnas U-23 dan para pendukungnya menyikapi kekalahan itu dengan bijaksana.

Baca Selengkapnya

Mengenali Asal-usul Tas Hermes, Jenama Asal Prancis

23 menit lalu

Mengenali Asal-usul Tas Hermes, Jenama Asal Prancis

Belakangan viral video seorang pria menyobek tas Hermes di depan petugas Bea Cukai

Baca Selengkapnya

Hasil Piala Thomas 2024: Jonatan Christie Menang, Indonesia Kembali Ungguli Korea Selatan 2-1

24 menit lalu

Hasil Piala Thomas 2024: Jonatan Christie Menang, Indonesia Kembali Ungguli Korea Selatan 2-1

Jonatan Christie menyudahi perlawanan sengit Cho Geon Yeop lewat pertarungan sengit tiga game di perempat final Piala Thomas 2024.

Baca Selengkapnya

Alasan TNI Pakai Computer Assisted Tes BKN dalam Penerimaan Calon Taruna 2024

24 menit lalu

Alasan TNI Pakai Computer Assisted Tes BKN dalam Penerimaan Calon Taruna 2024

Tes Kompetensi Dasar (TKD) Penerimaan Calon Taruna Akademi TNI 2024 menggunakan computer assisted test (CAT) Badan Kepegawaian Negara (BKN)

Baca Selengkapnya

Pemerintah Indonesia akan Berangkat ke Australia untuk Belajar Publisher Right

25 menit lalu

Pemerintah Indonesia akan Berangkat ke Australia untuk Belajar Publisher Right

Indonesia akan mempelajari publisher rights langsung dari Australia, negara yang berpengalaman mengatur hubungan pers dan platform digital.

Baca Selengkapnya