Jurnalisme Tempo: Obyektivitas atau Bobot Politik?

Penulis

Senin, 7 Agustus 2017 00:25 WIB

Dodi Ambardi
Dosen Departemen Ilmu Komunikasi UGM


Sejauh mana Tempo mampu menjaga netralitas atau obyektivitas pemberitaannya sepanjang pemberitaan pemilihan kepala daerah DKI Jakarta 2017 yang telah membelah Jakarta? Bisakah obyektivitas pemberitaan ala Tempo membantu pemilih untuk memilih secara benar bagi masa depan Jakarta?


Pengelola Tempo menghubungi saya dan meminta sebuah assessment. Mereka memberi saya kebebasan mutlak dalam melakukan penilaian setelah mengirimkan 306 berita hasil liputannya tentang pilkada Jakarta yang dirangkum dari Koran Tempo dan majalah Tempo dalam rentang enam bulan, sejak November 2016 sampai April 2017.


Definisi klasik obyektivitas merujuk pada penyampaian informasi faktual dan penghindaran dari opini personal serta pemeliharaan komitmen untuk memisahkan keduanya dalam proses pemberitaan. Dalam jagat politik yang kompetitif, panduan obyektivitas pemberitaan hadir dalam penerapan prinsip keseimbangan dan kesetaraan peliputan antar-kompetitor pemilu. Dengan kriteria ini, empat bundel topik pemberitaan Tempo bisa dinilai: pelanggaran pemilu, strategi dan taktik pemenangan kandidat, penistaan agama, serta isu kebijakan.


Pelanggaran aturan pemilu adalah topik berita yang paling sering muncul di Koran Tempo. Variasi kedalaman informasi dalam pemberitaan Tempo bisa ditebak. Berita-berita di majalah pasti lebih banyak menawarkan kedalaman ketimbang koran. Perbedaan ini tecermin dari pilihan format pemberitaan. Hampir seluruh berita Koran Tempo berformat berita langsung, sedangkan berita investigatif hanya muncul di majalah Tempo. Dalam derajat tertentu, perbedaan ini wajar saja karena pengelola Tempo tentu tak akan menyajikan menu kembar, yang sekaligus muncul di koran dan majalah.


Advertising
Advertising

Namun kewajaran ini menjadi persoalan karena tidak semua pembaca Koran Tempo adalah pembaca majalah Tempo. Pembaca Koran Tempo mendapatkan banyak variasi berita pelanggaran aturan pemilu yang episodik, yakni berita-berita yang terpisah satu dengan lainnya. Namun mereka tidak mendapatkan gambaran pola, tren, serta besaran dan jangkauan pelanggaran yang dilakukan masing-masing pasangan kandidat dan timnya.


Kalau jenis dan frekuensi pelanggaran pemilu itu begitu banyak, semuanya berpotensi mengubah peluang politik pasangan kandidat lawan. Namun baik Koran Tempo maupun majalah Tempo tidak menyajikan tren dan pola pelanggaran serta implikasi yang mengikutinya.


Bundel pemberitaan yang berfokus pada kebijakan publik memberikan gambaran yang miskin juga. Pertama, dari segi jumlah, proporsi berita tentang isu kebijakan memiliki proporsi paling sedikit. Kedua, baik Koran Tempo maupun majalah Tempo lebih bertumpu pada peristiwa-peristiwa formal, yakni debat kebijakan antarkandidat. Meskipun faktual dan obyektif, pemberitaan tersebut tidak bertolak dari observasi dan pemetaan mandiri tentang isu-isu kebijakan yang dianggap penting oleh publik-atau oleh Tempo sendiri. Selain itu, berita-berita tersebut ditandai dengan minimnya eksplorasi data untuk memberi bobot perdebatan dan sedikitnya upaya untuk melakukan verifikasi kritis di lapangan.


Kita ambil sebuah contoh berita "Anies Kumpulkan Data Penggusuran, Ahok Siapkan Kejutan" di Koran Tempo, 10 Februari 2017. Isu pokok berita ini adalah persiapan yang dilakukan oleh pasangan kandidat yang akan berdebat di televisi. Salah satu topik debat adalah kebijakan relokasi (atau penggusuran) yang dijalankan oleh pasangan inkumben, Ahok-Djarot. Dalam berita ini pula, pasangan Anies-Sandi mengkritik kebijakan tersebut dan menghubungkannya dengan penurunan kualitas hidup masyarakat korban penggusuran.


Problemnya, Koran Tempo dan majalah Tempo tidak mengkonfrontasi klaim para kandidat itu dengan data sendiri. Bahkan, setelah debat pun, informasi itu berhenti karena tidak diikuti berita lanjutan.


Sampai di sini, kita bisa mengatakan bahwa jurnalisme Tempo mendekati kriteria obyektivitas yang bertumpu pada faktualitas, tapi gagal menyajikan informasi yang kritis terhadap pernyataan kandidat. Dengan batas ini, seberapa banyak bekal informasi yang diberikan Tempo kepada pembaca dan pemilih agar mereka bisa memilih secara benar? Memilih secara benar mengandaikan adanya kesempurnaan dan kelengkapan informasi yang diakuisisi oleh pemilih melalui media.


Dalam perbandingan, keempat bundel topik berita Tempo memiliki relevansi yang bertingkat terhadap kepentingan pemilih. Topik pelanggaran memiliki relevansi yang tinggi bagi kandidat yang bertarung, tapi tidak bagi pemilih. Berita-berita tersebut menentukan peluang kemenangan kandidat, tapi tidak memberikan basis evaluasi bagi pemilih tentang kinerja dan janji kebijakan para kandidat. Dua topik lainnya, yakni topik tentang taktik dan strategi pemenangan serta topik penistaan agama, diliput secara reguler. Namun dua topik ini memiliki relevansi yang juga rendah bagi pemilih. Celakanya, ketiga topik ini proporsinya secara ekstrem melampaui topik pemberitaan tentang kebijakan.


Kritik lainnya, di mana suara mereka yang tergusur bisa kita temukan? Berbagai berita Tempo tidak memberikan ruang bagi mereka.


Kritik ini direspons secara lebih baik di majalah Tempo. Setidaknya, untuk kebijakan reklamasi Teluk Jakarta, Tempo menyajikan dua pandangan yang bertabrakan. Sayangnya, eksplorasi jalan tengah tidak tersajikan.


Kita mungkin bisa berharap, jika saja pembaca mendapatkan suplai informasi kebijakan yang komplet dari Tempo, mungkin akan lebih banyak pemilih Jakarta yang memilih secara benar.

Berita terkait

Diberitakan Ditangkap, Bambang Widjojanto Ajukan Hak Koreksi ke Poskota

11 Agustus 2022

Diberitakan Ditangkap, Bambang Widjojanto Ajukan Hak Koreksi ke Poskota

Bambang Widjojanto membantah ditangkap polisi seperti yang diberitakan Poskota.co.id

Baca Selengkapnya

Kasus Setya Novanto, Metro TV Tak Toleransi Pelanggar Kode Etik

17 November 2017

Kasus Setya Novanto, Metro TV Tak Toleransi Pelanggar Kode Etik

Direksi, kata Bosco, akan memberi sanksi kepada wartawannya jika terbukti terlibat menghalangi proses hukum kasus Ketua DPR RI Setya Novanto.

Baca Selengkapnya

Dewan Pers: Jangan Layani Permintaan THR dari Pers  

16 Juli 2015

Dewan Pers: Jangan Layani Permintaan THR dari Pers  

Hanya ada tiga organisasi wartawan yang diakui Dewan Pers

Baca Selengkapnya

Dianggap Langgar Kode Etik, Koran Kedaulatan Rakyat Didemo  

6 April 2015

Dianggap Langgar Kode Etik, Koran Kedaulatan Rakyat Didemo  

Octo Lampito menyatakan siap menghadapi upaya pengaduan ke Dewan Pers.

Baca Selengkapnya

Kasus Pemred Jakarta Post Diserahkan ke Dewan Pers  

6 Januari 2015

Kasus Pemred Jakarta Post Diserahkan ke Dewan Pers  

Pemimpin Redaksi The Jakarta Post tak jadi diperiksa pada Rabu, 7 Januari 2015.

Baca Selengkapnya

Polda Stop Kasus Jakarta Post bila Mediasi Sukses  

18 Desember 2014

Polda Stop Kasus Jakarta Post bila Mediasi Sukses  

Penyidik lebih mengedepankan Undang-Undang Pers sehingga mempersilakan Dewan Pers untuk menyelesaikan kasus tersebut dengan cara mediasi.

Baca Selengkapnya

Pilpres, Media di Indonesia Mengkhawatirkan  

13 Juli 2014

Pilpres, Media di Indonesia Mengkhawatirkan  

"Membuat publik tak percaya."

Baca Selengkapnya

Ini Surat Terbuka Jurnalis RCTI untuk Hary Tanoe

26 Juni 2014

Ini Surat Terbuka Jurnalis RCTI untuk Hary Tanoe

"Asumsi 'semua juga tahu' tak berlaku dalam karya jurnalistik."

Baca Selengkapnya

Gubernur Sumut Tantang Jurnalis Adu Fisik

25 Juni 2014

Gubernur Sumut Tantang Jurnalis Adu Fisik

Diwawancarai dana bagi hasil belum dibayarkan Pemprov Sumut sebesar Rp 2,2 triliun ke pemerintah kabupaten/kota.

Baca Selengkapnya

Wartawan Adukan Pegawai Kominfo Sampang ke Polisi  

6 Mei 2014

Wartawan Adukan Pegawai Kominfo Sampang ke Polisi  

Entah bercanda atau serius, YP melontarkan pernyataan bernada melecehkan.

Baca Selengkapnya