PRESIDEN Joko Widodo mengakhiri polemik sekolah delapan jam sehari dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Beleid baru ini bisa dibilang terlambat terbit dan tidak tegas mengatur jam sekolah.
Keluarnya peraturan baru ini menunjukkan pemerintah tak punya visi yang terang tentang arah pendidikan kita. Pemerintah Jokowi kembali mengulang hal yang selama ini terjadi: ganti menteri, ganti kebijakan.
Peraturan Menteri Pendidikan tentang hal yang sama, yang kemudian memunculkan pro dan kontra, terbit tiga bulan lalu. Ketika itu Menteri Pendidikan Muhadjir Effendy belum genap sebulan menggantikan Anies Baswedan. Alasan yang muncul sama sekali tidak berkaitan dengan mutu pendidikan, misalnya keinginan Menteri Muhadjir agar guru berada di sekolah lebih lama. Alasan lain, agar murid bisa libur bersamaan dengan orang tua mereka.
Jam sekolah sehari penuh sebenarnya belum layak diterapkan, karena masih ada 15 ribu gedung sekolah yang digunakan dua kali sehari. Jumlahnya sekitar 7 persen dari 220 ribu gedung sekolah di Nusantara. Pemerintah juga perlu mengkaji secara komprehensif dan tak tergesa-gesa ihwal sistem persekolahan yang sesuai dengan kondisi di semua wilayah.
Keriuhan selama dua bulan ini seharusnya membuka mata pemerintah soal belum meratanya fasilitas belajar serta jumlah dan kualitas tenaga pendidik. Pemerataan kualitas pendidikan ini tak boleh lagi menjadi persoalan yang berkesinambungan. Pendidikan yang layak dan nyaman bukan hanya merupakan hak anak-anak di kota besar, melainkan juga di berbagai pelosok.
Peraturan presiden terbaru itu juga tidak cukup tegas. Aturan tersebut menjadikan ketentuan sekolah lima hari sepekan sebagai pilihan, bukan kewajiban. Setiap sekolah bisa menentukan sendiri apakah proses belajar akan diselenggarakan lima ataukah enam hari sepekan. Syaratnya, sekolah melapor kepada pemerintah daerah atau kantor kementerian yang mengurusi bidang agama di daerah setempat.
Dalam aturan itu juga disebutkan sekolah yang menetapkan lima hari belajar harus mempertimbangkan kecukupan jumlah pendidik dan tenaga kependidikan, ketersediaan sarana dan prasarana, kearifan lokal, serta pendapat tokoh masyarakat atau tokoh agama. Ketentuan ini mengkhawatirkan, mengingat tokoh masyarakat ataupun tokoh agama punya kepentingan berbeda-beda dan berpotensi mempengaruhi sistem belajar hingga unit terkecil, yaitu sekolah.
Seharusnya peraturan baru pemerintah tetap berbasis pada tujuan pendidikan. Pernyataan Jokowi bahwa peraturan tersebut dibuat dengan mengakomodasi semua kelompok, termasuk Nahdlatul Ulama yang menolak sekolah lima hari dan Muhammadiyah yang bersikap sebaliknya, justru menunjukkan penyelenggaraan pendidikan dipengaruhi oleh alasan nonpendidikan.