Malam itu, tanggal yang sama dengan hari ini, saya hadir di Teater Utan Kayu untuk acara doa bersama lintas agama. Pas giliran doa Hindu, saya mendampingi seorang pendeta dari Dewi Mandir, Kemayoran. Supaya mantap karena ini bukan doa main-main.
Yang didoakan adalah Munir Said Thalib. Dia meninggal dunia diracun di pesawat Garuda dalam penerbangan ke Belanda. Jenazahnya belum sampai di Jakarta. Isi doa agar almarhum mendapat tempat terbaik di alam sana dan pembunuhnya segera tertangkap.
Saya yakin Tuhan mendengar doa itu. Banyak kasus yang ribet menjadi dimudahkan berkat doa-setidaknya begitu keyakinan saya. Misalnya, kasus Bom Bali 2002. Berhari-hari tim kepolisian yang dipimpin Made Mangku Pastika-waktu itu Kapolda Papua-mengubek-ubek tempat bom meledak. Tak ada alat bukti yang menunjukkan jalan terang. Setelah anggota tim berdoa di Pura Besakih, tentu disertai pendeta, esoknya ditemukan petunjuk dari serpihan pelat mobil yang dipakai untuk meledakkan bom. Dari sana terungkap siapa pelakunya. Lalu ditangkap, diadili, dan sudah dieksekusi.
Saya menyimpan harapan sama terhadap kasus Munir. Saya pikir, kasus ini sangat mudah dibanding kasus Bom Bali. Apalagi kemudian seorang pilot Garuda yang lagi cuti, Pollycarpus Budihari Priyanto, ditangkap, diadili, dan dihukum 14 tahun penjara sebagai pembunuh Munir. Tapi siapa otak dan apa motif pembunuhan ini? Ada mantan Deputi V BIN Mayjen Purn Muchdi Purwoprandjono yang diseret sebagai terdakwa. Dia divonis bebas. Siapa dong otak pembunuh Munir? Tim Pencari Fakta (TPF) yang dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menghasilkan laporan yang konon mengungkap siapa yang diduga sebagai otak.
Hari ini ternyata 13 tahun berlalu. Pollycarpus sudah bebas karena narapidana wajib mendapat remisi. Hasil TPF tetap tak bisa dibuka ke publik. Belakangan, dokumen ini disebut hilang-modus canggih meniru hilangnya Surat Perintah 11 Maret. Doa kami belum dikabulkan. Barangkali Tuhan juga menerima banyak doa agar kasus Munir tak dibuka.
Banyak kejahatan HAM yang tetap gelap jika melibatkan kekuasaan. Kasus Semanggi, misalnya, tak pernah jelas siapa yang menembak mahasiswa itu. Sampai kini, "aksi Kamisan" di depan Istana rajin dilakukan keluarga korban. Penyair Wiji Thukul, yang diduga diculik, juga serba tak pasti.
Kasus Novel Baswedan naga-naganya bernasib sama. Sudah lewat hari keseratus, siapa yang menyiram air keras ke wajah Novel belum juga jelas. Padahal ada rekaman CCTV, ada kejadian sebelumnya yang bisa menjadi petunjuk. Polisi tak menemukan apa-apa. Justru Novel yang dilaporkan oleh perwira polisi dengan tuduhan pencemaran nama.
Kalau ceritanya begini, berbuih-buih pun polisi menyebut kasus Novel sangat berat, publik akan bertanya-tanya. Logika masyarakat itu sederhana. Institusi kepolisian tak suka kepada Novel sejak mantan polisi ini mengobok-obok korupsi di kepolisian. Novel pernah ditangkap dalam kasus yang sudah lama selesai saat dia menjadi polisi aktif di Bengkulu. Logikanya, kalau Novel sudah jadi "musuh polisi", apa polisi bisa serius menangkap penyiram air keras ke wajah Novel?
Jangan putus berdoa. Malam ini saya akan berdoa sendiri-tanpa mengajak pendeta lain. Doa untuk kasus Munir, Novel, dan kejahatan HAM lain. Mohon diberi kemudahan mengungkap siapa pelakunya. Lalu doa khusus untuk Jokowi supaya mau membuka hasil TPF kasus Munir dan mau membentuk TPF kasus Novel. Saya percaya Tuhan akan mengabulkan, meski tidak serta-merta. Amin. PUTU SETIA