Endar Sumarsono
Praktisi hukum
Reformasi sistem peradilan mendesak dilaksanakan. Banyaknya penegak hukum yang terjaring operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi pemicu. Selama 2012-2016 saja, tak kurang dari 25 aparat pengadilan (hakim, panitera, dan sekretaris Mahkamah Agung) terjerat kasus rasuah. Tahun ini, panitera Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dicokok KPK terkait dengan suap berkode "sapi" dan "kambing" menjelang Lebaran Kurban. Belum kasus suap ini reda, KPK kembali mencokok hakim dan panitera Pengadilan Negeri Bengkulu terkait dengan kasus suap, pekan lalu.
Ini membuat lembaga peradilan disorot dan dikritik masyarakat. Tidak saja dugaan adanya mafia peradilan, tapi juga kelambatan penanganan perkara, biaya yang mahal, dan administrasi yang berbelit. Sulit diterima, misalnya, perkara penggelapan uang makan di rumah sakit di Medan baru memperoleh putusan inkracht setelah 16 tahun.
Pimpinan Mahkamah Agung memang berupaya memulihkan kepercayaan publik dengan program akreditasi dan sertifikasi standar sistem manajemen mutu (ISO) hingga Sistem Informasi Pengawasan (SIWAS). Sayangnya, program ini cenderung menjadi riasan semata. Berdasarkan pengalaman praktik di pengadilan, seharusnya Mahkamah lebih berfokus pada aspek "kesehatan jiwa" dari peradilan itu sendiri, yaitu kualitas putusan dan integritas hakim, pejabat peradilan, dan warga peradilan. Ibarat kebersihan rumah yang berdampak pada kesehatan penghuninya, sistem peradilan yang baik diharapkan menjadi obat mujarab bagi "kesehatan" aparat penegak hukum yang tinggal dan singgah.
Berdasarkan hasil penelitian Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), penanganan perkara di MA melewati sekitar 27 tahap dan melibatkan tiga unit kerja berbeda, dari penerimaan berkas oleh Biro Umum di bawah Badan Urusan Administrasi (BUA), proses di Direktorat Pranata dan Tata Laksana di bawah Direktorat Jenderal Badan Peradilan, hingga Kepaniteraan Muda di bawah Panitera MA.
Panjangnya proses ini tidak sesuai dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Semakin banyak pihak terlibat dalam penanganan perkara memungkinkan lebih banyak oknum yang berkesempatan memainkan perkara. Maka, proses ini harus ditata dan dipangkas sesederhana mungkin. Misalnya, prosesnya cukup ditangani kepaniteraan sebagaimana penanganan perkara di tingkat pertama dan banding untuk pemusatan administrasi perkara dan mempermudah pengawasan.
Dualisme pengawasan MA yang dilaksanakan Ketua Kamar Pengawasan dan Badan Pengawas di bawah Sekretaris MA ternyata tidak membuat fungsi pengawasan menjadi efektif. Badan Pengawas secara struktural berada di bawah Sekretaris MA, padahal Badan diisi oleh para hakim tinggi pengawas. Adapun di organisasi lain, baik di lembaga eksekutif maupun legislatif, lembaga pengawasan, seperti inspektorat, terpisah dari sekretariat.
Kiranya tugas pengawasan di MA lebih tepat dijalankan oleh Ketua Kamar Pengawasan saja dan menempatkan hakim-hakim tinggi pengawas di bawah Kamar Pengawasan. Selain untuk sentralisasi pengawasan, hal ini bertujuan menegaskan kedudukan hakim dalam struktur organisasi MA.
Sebagaimana penyakit dalam birokrasi lainnya, seperti primordialisme, birokrasi MA belum sepenuhnya konsisten menjalankan kebijakan penghargaan dan hukuman. Meskipun ada mekanisme uji kelayakan untuk jabatan-jabatan tertentu. Ini terbukti dari masih adanya hakim yang pernah dijatuhi sanksi atas pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim tapi masih bisa menjabat sebagai pemimpin pengadilan hingga akhirnya dia terjaring KPK. Sedangkan hakim-hakim dengan rekam jejak baik malah ditugaskan di pelosok-pelosok.
Posisi pimpinan pengadilan dan jabatan strategis di MA menuntut kecakapan yang hanya dapat dilaksanakan dengan baik apabila diisi oleh individu berkualitas dan berintegritas. MA harus membangun birokrasi rasional/modern yang menitikberatkan pada unsur prestasi. Bagaimanapun, tingkat kepercayaan publik akan berbanding lurus dengan kualitas putusan yang dibuat oleh para hakim MA.
Komisi Yudisial harus menjadi mitra strategis MA sebagai lembaga pengawas. Komisi ini berwenang untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR dan menegakkan kehormatan dan menjaga perilaku hakim. Berkonflik dengan Komisi justru kontraproduktif dengan upaya membangun kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.
Perbaikan sistem rekrutmen hakim dan pejabat peradilan mutlak harus dilaksanakan. Rekrutmen harus mengedepankan prinsip obyektivitas, transparansi, akuntabilitas, kompetensi, serta fair dan bersih dari segala bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme. Status dan kedudukan hakim harus diperjelas dalam organisasi MA sendiri, selain upaya sistematis lain untuk mengubah pola pikir korup yang telanjur melekat. Bagaimanapun, hakim yang baik tidak dilahirkan tapi diciptakan (Odette Buitendam, 2000: 221).