TEMPO.CO, Jakarta - Robertus Robet
Jika seseorang menginginkan kejayaan yang abadi, mintalah kepada Tuhan supaya diizinkan hidup di sebuah negara yang korup agar berkesempatan mengubahnya. Demikianlah nasihat Machiavelli, sang empu republikan sejati, untuk para pemimpin. Bagi Machiavelli, ujian sekaligus nilai tertinggi dari kepemimpinan politik adalah kesanggupan untuk menghadapi dunia yang korup.
Bagi Machiavelli, the rule of law dan the rule of man (supremasi hukum, dan supremasi manusia - redaksi), mesti dimiliki oleh suatu pemerintahan republik yang kuat. Mengapa? Terdapat dua alasan. Pertama, Machiavelli mengakui dua elemen pokok dalam politik, yakni virtù (kualitas manusiawi yang membentuk kepastian), dan fortuna (aspek ketakpastian dalam semesta). Politik dan kepemimpinan, bagi Machiavelli, merupakan aktivitas yang melampaui virtù dan fortuna: politik adalah berenang antara kepastian dan ketakpastian.
Kedua, Machiavelli, dalam karyanya yang legendaris The Discourse, mengatakan, "Dalam sebuah republik yang secara parah dijangkiti korupsi, kehidupan kewargaan yang sehat musnah, segala norma dan kebenaran dengan mudah dijungkirbalikkan." Dalam situasi ini, hukum apa pun tidak berjalan.
Machiavelli berpandangan bahwa apabila korupsi telah merajalela dalam republik, hukum yang terbaik sekalipun tidak akan bermanfaat. Korupsi adalah penyakit yang menyerang sendi terdalam kehidupan kolektif, menghancurkan perilaku dan menghancurkan kemampuan pertimbangan baik dan buruk dari setiap warga. Dalam kondisi demikian, demi menyelamatkan republik, the rule of law mesti berhenti, sebagai gantinya, dibutuhkan seorang pemimpin yang kuat atau "the rule of man". Dengan itu, Machiavelli memang mendorong seorang pemimpin dengan subyektivitas dan keberanian untuk bertindak melampaui hukum, hanya dalam situasi di mana segala pranata hukum sudah rusak oleh korupsi. Subyektivitas atau kepemimpinan diperlukan untuk menyelamatkan republik yang jatuh ke dalam korupsi.
Bagi Machiavelli, kerusakan terbesar yang diakibatkan oleh korupsi bukanlah pertama-tama pada hukum, melainkan pada common good (kebaikan bersama). Machiavelli menyatakan, begitu common good rontok, seluruh atmosfer kepolitikan yang sehat dan baik juga runtuh, hubungan kewargaan hancur, politik menjadi tidak memiliki dasarnya lagi. Karena rasa kebersamaan hilang, perasaan bertanah air pun menjadi lemah.
Dari sini kita masuk ke segi yang lebih esensial dalam pandangan Machiavelli, yakni tentang patriotisme atau cinta tanah air. Ukuran patriotisme adalah kebaikan bersama. Karena itu, baginya patriotisme tidak bergantung pada jabatan seorang, melainkan pada sikap virtous terhadap common good.
Ia juga mengatakan bahwa rasa cinta tanah air adalah sebuah kekuatan moral yang mendorong setiap warga mengejar pencapaian kebaikan bersama (common good). Dengan demikian, sebagaimana kebanyakan republikan, Machiavelli senantiasa menganggap bahwa cinta tanah air atau patriotisme adalah hasrat untuk mendahulukan kebaikan bersama ketimbang kepentingan privat. Di titik inilah korupsi merupakan musuh terbesar dari patriotisme.
Tanah air kita kini mengalami masalah yang serius akibat korupsi. Pergolakan di KPK bukanlah sekadar konflik KPK dengan kepolisian. Namun lebih merupakan upaya okupasi terhadap KPK. Kenyataan ini ditegaskan dalam fakta di mana Presiden bukan sekadar mengganti kedua pemimpin KPK dengan orang-orang baru yang penuh tanda tanya, melainkan dengan itu Presiden juga membiarkan kriminalisasi terhadap dua pemimpin KPK. Penunjukan kedua pemimpin baru KPK pada akhirnya hanya mengkonfirmasi kriminalisasi terhadap kedua pemimpin sebelumnya. Bukan hanya itu, okupasi KPK itu juga didahului dengan berbagai rentetan kegagalan dari institusi hukum yang lain, misalnya lembaga kehakiman dan kepolisian.
Indonesia kini memang adalah Indonesia yang demokratis. Namun kebanyakan kita juga tahu bahwa praktek demokrasi Indonesia tidak disertai dengan penegakan hukum yang adil dan tidak disertai dengan keadaban publik yang kuat. Kita juga tahu bahwa dalam demokrasi kini sebagian besar kehidupan kepartaian tumbuh dan bergerak di atas mesin dengan pelumas duit haram. Artinya, demokrasi tanpa KPK yang sehat adalah demokrasi bagi para penjarah.
Yang juga lebih mengkhawatirkan daripada krisis negara hukum dari dalam okupasi atas KPK adalah krisis kepemimpinan politik. Dari persoalan ini, kita menyaksikan betapa bukan saja wewenang Presiden dengan mudah dibatalkan atau didahului oleh pejabat-pejabat di bawahnya. Lebih jauh daripada itu, kita juga menyaksikan bagaimana Presiden tidak mampu memilih keputusan yang benar pada saat yang paling genting untuk sebuah lembaga sepenting KPK.
Jangan-jangan, dengan krisis negara hukum dan krisis kepemimpinan saat ini, kita butuh seseorang yang berani menegakkan "the rule of man" secara sementara, demi memulihkan lagi republik kita.