SIAPAPUN tak akan senang mendengar suara bising knalpot sepeda motor. Apalagi wrang-wreng knalpot itu datang dari kerumunan massa kampanye calon presiden. Selain mengganggu, knalpot itu juga menunjukkan arogansi mob. Tapi gangguan itu tak bisa dan tak boleh direspons dengan main hakim sendiri, seperti yang dilakukan TNI Angkatan Darat di Boyolali, Jawa Tengah, dan Kota Manado, Sulawesi Utara.
Puluhan prajurit Kompi Senapan B Bataliyon Infanteri Raider 408/ Suhbrastha menganiaya tujuh pendukung calon presiden Ganjar Pranowo yang sedang berkonvoi melintas di depan asrama pasukan reaksi cepat pada 30 Desember 2023. Para tentara itu juga menggiring beberapa orang ke dalam area asrama dan memukulinya. Dua hari kemudian, di Manado, tentara Komando Daerah Militer XIII/Merdeka juga menyerang para pengiring jenazah yang memakai sepeda motor dengan knalpot brong.
Apa yang dilakukan para prajurit itu jelas menyalahi aturan apa pun alasannya. Jika mereka terganggu karena suara knalpot, penindakannya menjadi wewenang polisi. Jika massa di Boyolali itu menyalahi regulasi kampanye, hukum sudah mengatur yang berwenang menanganinya adalah Badan Pengawas Pemilu. Demikianlah hukum bekerja menurut konstitusi.
Tindakan para tentara itu amat berbahaya karena mereka manusia terlatih. Nama kompinya saja Suhbrastha. Ini nama senjata Sang Hyang Wisnu Murti. Artinya, senjata ampuh pemusnah angkara murka. Para pengendara sepeda motor itu tentu saja tak sedang mempertontonkan angkara murka sehingga prajurit terpilih harus menindaknya dengan kekerasan.
Pernyataan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Maruli Simanjuntak makin menambah kekeliruan itu. Alih-alih minta maaf karena tindakan brutal anak buahnya, Maruli malah mendukungnya. Alasannya, para tentara itu sudah mengingatkan para pengendara sebanyak delapan kali. Jika Maruli dan para tentara itu paham hukum, semestinya mereka melapor ke polisi untuk menindaknya.
Tindakan para tentara dan pembelaan komandan mereka sungguh mencemaskan karena tentara kita ternyata tak pandai mengendalikan emosi. Padahal, sebagai warga negara yang mendapat keistimewaan pelatihan dan memegang senjata menurut hukum, mereka seharusnya lebih bisa menahan diri dan mengendalikan emosi. Alangkah berbahaya orang yang terlatih dalam kekerasan dan memegang senjata tak stabil perasaannya.
Main hakim sendiri para tentara itu juga menunjukkan pemahaman keliru pada prinsip negara hukum. Bahkan prinsip keberadaan tentara di sebuah negara. Undang-Undang Dasar 1945 jelas menyebut tugas dan fungsi tentara sebagai alat negara dalam mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Para pengendara itu tentu saja bukan massa yang sedang merongrong kedaulatan Indonesia.
Pernyataan Maruli yang membela pelanggaran hukum anak buahnya juga bisa menjadi pesan buruk bagi seluruh tentara: langgarlah hukum karena komandanmu akan membelanya. Jika Maruli tak meralat pernyataan dalam wawancara di Kompas TV itu kekerasan tentara kepada rakyat sipil akan semakin menjadi-jadi.
Jangan sampai tindakan para tentara di Boyolali dan Manado itu makin menebalkan prasangka publik selama ini bahwa TNI tidak netral dalam pemilihan umum. Kita anggap saja pernyataan Maruli sesuai fakta bahwa kekerasan anak buahnya semata karena terganggu suara brisik knalpot, bukan karena motif berpihak kepada rival Ganjar Pranowo dalam pemilihan presiden.
TNI yang tak netral tambah berbahaya karena menjadi alat kepentingan politik. Jika netralitas TNI sudah cemar, Indonesia benar-benar darurat hukum dan demokrasi. Pemilu yang menjadi ajang menyaring pemimpin secara jujur, adil, dan terbuka itu kotor oleh alat negara yang berpihak.
Agar prasangka dan penilaian itu tidak terus, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto mesti menegur Maruli dan menindak para prajurit yang bertindak semena-mena itu. Serahkan mereka kepada polisi untuk diadili di peradilan umum memakai hukum pidana.