Upaya Konsevasi Gajah
Dilansir PPID KLHK, November 2016, total populasi gajah captive (ex-situ) di Indonesia mencapai 1.322 individu, terdiri atas 473 jantan dan 849 betina. Dari total populasi tersebut, 545 individu berada di Lembaga Konservasi Khusus/Pusat Latihan Gajah/Pusat Konservasi Gajah, dan 777 individu berada di Lembaga Konservasi untuk kepentingan umum.
Pemerintah memiliki dokumen rencana tindakan mendesak penyelamatan populasi gajah sumatera (Elepas maximus sumatransus) 2020-2023 yang diperkuat melalui Surat Keputusan Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem No. 39/KSDAE/SET/KSA.2/1/2020
Fokus penyelamatan populasi gajah sumatera terutama dari ancaman aksi perburuan, konflik gajah-manusia dan kematian tak alami karena dijerat, diracun dan pemasangan pagar listrik bertegangan tinggi yang membahayakan gajah, sehingga menjadikan status gajah kritis (critically endangered\
Pemerintah berperan aktif dalam penyelamatan populasi gajah di kawasan Asia. KLHK pernah menjadi tuan rumah Asian Elephant Range States Meeting kedua pada April 2017, berhasil melahirkan “The Jakarta Declaration for Asian Elephant Conservation” sebagai komitmen penyelamatan gajah di Asia.
Ikhtiar Mencegah Punah Gajah Sumatera
Gajah yang hidup dalam kantong-kantong habitat beresiko melakukan perkawinan kerabat (inbreeding). Bila dibiarkan dikuatirkan populasi gajah sumatera tidak viable, erosi genetik (genetic drift) akan menghasilkan keturunan yang lemah. Pemetaan genetik dari kelompok gajah liar kantong habitat termasuk gajah penghuni PLG di seluruh Sumatera, dilakukan Veterinary Society for Sumatran Wildlife Conservation, Medan untuk mencegah inbreeding terus terjadi.
Peneliti Universitas Sriwijaya Prof Arum Setiawan dan Winda Indriarti Msi mengambil kotoran gajah di kawasan konservasi, PLG dan area konsesi di kantong habitat Sugihan-Simpang Heran rawa gambut. Uji DNA mitokondria kotoran gajah menginformasikan “jarak kekerabatan” pada kelompok berbeda.
Informasi itu dapat merekomendasikan “perkawinan aman” gajah antarkelompok atau terhadap gajah terindikasi inbreeding dapat dilakukan dan berdampak bagi pengelolaan konservasi gajah.
Selain pemetaan genetik, habitat yang sesuai bagi perkembangbiakan populasi gajah secara alami perlu disiapkan. Tim peneliti Universitas Muhamadiyah Palembang dipimpin Asvic Helida mengkaji habitat gajah di Suaka Margasatwa Gunung Raya, Ogan Komering Ulu Selatan, pada 2021.
Habitat gajah harus memenuhi kesediaan ragam pakan, sumber mineral (garam), air minum dan mandi untuk mendinginkan suhu tubuh. Hutan bertajuk untuk istirahat, berkawin, dan menunjang pergerakan gajah sehingga tak mengganggu area budidaya dan permukiman.
Ikthiar konservasi lainnya: menggiring, menghalau, merintangi dan memagarinya dengan kawat bertegangan listrik dilakukan untuk mengelola pergerakan gajah keluar dari kantong habitatnya.
Pegiat konservasi menuturkan gajah mampu mengatasi semua rintangan: menggiring, menghalau, merintangi, dan memagarinya sering kali tak efektif.
Gajah mampu memanipulasi situasi, dua ekor gajah liar seolah bergaduh menarik perhatian jagawana, sehingga kawanan gajah dalam kelompok dapat mengecohnya bermigrasi dijalur yang dihalangi. Atau dengan kekuatannya merobohkan pagar kawat berlistrik.
Kemampuan berkomunikasi ultrasuara (tidak terdengar manusia) antargajah, membuatnya dapat bergerak dalam senyap. Tak ada yang dapat menghentikan gajah kecuali peluru dan racun dari tangan manusia.
Meminjam teori Cognitive Revolution dari Yuval Noah Harari, kecerdasan gajah bertambah seiring interaksinya dengan manusia, yang kemudian digunakannya untuk bekerja sama, memperdayai, sekaligus melakukan perlawanan terhadap aksi manusia.
Evolusi anatomi sejak leluhur Meoritherium hingga Loxodonta dan Elephas sepuluh ribu tahun lalu dan revolusi kognitif gajah dalam lintasan waktu sesungguhnya adalah risalah gajah menolak punah sepanjang hayatnya. Manusia sebagai kalifah di muka bumi seharusnya mampu melindunginya. Selamat Hari Gajah Sedunia 12 Agutsus 2023!