Kini, warisan politik tanam paksa itu telah menjadi komoditas beserta sistem pengolahan agroindustri penghasil devisa. Pemerintah menasionalisasi perkebunan-perkebunan Belanda melalui Undang-Undang Nomor 86 tahun 1958. Perbaikan pengelolaan kebun dan manajemen benih misalnya baru-baru ini dideklarasikan di Makasar dengan meluncurkan Program BABE BUN atau Bank Benih Perkebunan oleh Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo untuk pengadaan benih unggul perkebunan terutama kelapa sawit.
Menjelang usia 78 tahun kemerdekaan RI, pemerintah belum berhasil melahirkan sistem agroindustri komoditas baru seperti pada masa Hindia Belanda. Ini sungguh ironis mengingat Indonesia sebagai negeri mega biodiversity yang kaya sumber hayati, namun belum juga menjelma sebagai negera agro industri super dunia.
Menelisik sejarah, pada awal 2006, pemerintah mencetuskan kebijakan Bahan Bakar Nabati (BBN) dengan komitmen mendorong diversifikasi sumber bahan baku nabati sebagai agro industri baru. Namun pengembangan tumbuhan asli Indonesia nyampung (Chalophyllum inophyllum) dan jarak pagar (Jatropha curcas) menjadi agro industri BBN tak kunjung terwujud. Agaknya kita sekarang berharap pada pengembangan kemiri sunan (Reutealis trisperma) yang tengah dikembangkan untuk industri biosolar.
Sementara dalam kelimpahan keanekaragaman hayati, nipah (Nypa frutican) dan sagu (Metroxylon sagu) belum tergarap menjadi aset agro industri nasional sebagai sumber pangan dan bioenergi. Sama nasibnya dengan lontar (Boraqssus flabellifer), gebang (Corypha), dan aren (Arenga pinnata) yang seratnya berpotensi mendukung industri tekstil dan gula. Ihau (Dimocarpus logan spp) dan Matoa (Pometia pinnata), buah dari hutan terbatas dicicipi warga lokal di Kalimantan dan Papua karena buahnya dipungut dari hutan setempat, dan belum dikembangkanbiakan secara luas.
Nasib serupa untuk buah “anggur papua” dari keluarga Pandanaceae (Sararanga sinuosa) yang pertama kali dipublikasi secara ilmiah oleh peneliti Becarri pada 1875, dan Hemsley, 1894. Dikonfirmasi keberadaannya pada 2006 oleh peneliti LIPI Dr. Ary P. Keim di Desa Sarawandori, Serui, Yapen, Papua, sebagai jenis liar namun punya potensi dikembangkan sebagai buah-buahan nasional.
Buah "anggur" Papua dari keluarga Pandanaceae (Sararanga sinuosa). Keberadaan "anggur" Papua ini dikonfirmasi oleh peneliti LIPI Dr. Ary P. Keim pada 2006. Buah ini terdapat di Desa Sarawandori, Serui, Yapen, Papua, sebagai jenis liar dan berpotensi dikembangkan sebagai buah-buahan nasional. Dok. Istimewa
Tengkawang atau disebut illipe nut, tumbuhan hutan Kalimantan dan ditemukan juga di Sumatera (Shorea spp.) telah dibudidaya sejak 1881. Tanaman ini memiliki potensi lemak untuk bahan industri minyak nabati dan kosmetika. Mereka menanti dikembangkan agar manfaat ekonominya dapat dirasakan sebelum punah karena deforestasi.
Keberadaan nipah, sagu dan tengkawang di habitatnya, sesungguhnya sangat mungkin dikembangkan sehingga dapat dikelola sebagai sistem agroforestri dengan manajemen agro-industri modern. Nipah dan Sagu juga merupakan jenis paladikultur yang dapat dibudidaya di lahan gambut, sehingga memberi nilai tambah bagi pengembangan komoditas itu secara ekologi dan ekonomi.
Sebaliknya, pemuliaan tanaman untuk orientasi pasar semata berpotensi menggerus kaya ragam jenis tanaman. Indonesia adalah pusat penyebaran durian (Durio zibeethinus) atau disebut center of origin. Namun akibat merespons peminat durian semata, pasar hanya menyediakan jenis-jenis tertentu yang sangat diminati, seperti durian montoung dan durian petruk. Akibatnya mengeliminasi keberadaan ragam jenis lokal durian nusantara. Kondisi ini juga terjadi pada mangga, jambu, duku, dan kedelei lokal.
Melalui Undang-Undang No 29 tahun 2000, pemerintah menjamin perlindungan varietas tanaman (PVT) meliputi varietas dari jenis species tanaman yang baru, unik, seragam, stabil, dan diberi nama. Perlindungan hukum atas PVT bagi pemulia tanaman di Indonesia diharapkan mendorong kreativitas hingga mendatangkan investasi di bidang penemuan varietas unggul dan mendukung industri perbenihan modern.
Hingga Oktober 2019, sebanyak 748 permohonan hak PVT telah diajukan dan 470 di antaranya diterima atau ditetapkan sebagai varietas baru. Sebanyak 133 ditarik kembali dan 27 permohonan ditolak. Kebanyakan permohonan PVT tersebut adalah untuk komoditas padi, sayur-sayuran (timun, buncis, pare), dan buah-buahan seperti tomat dan melon.
Kendati kepastian hukum atas pelepasan varietas baru telah dijamin pemerintah, banyak petani/pemulia tidak mengajukan perolehan hak PVT. Tercatat, hingga 2019 ada sebanyak 32 orang pemulia, 97 badan pemerintah, 15 perguruan tinggi, dan 286 perusahaan dalam negeri serta 40 perusahaan luar negeri yang memperoleh hak PVT.
Selanjutnya: Kendala Pemuliaan