Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Perilaku Pemilih Pilkada DKI

Oleh

image-gnews
Iklan

Tobias Basuki
Peneliti Centre for Strategic and International Studies

Perdebatan perilaku pemilih dalam Pemilihan Kepala Daerah DKI 2017 kali ini sangat menarik. Tulisan Eep Saefulloh Fatah di kolom majalah Tempo edisi 12 Maret 2017 menggelitik karena menafikan dua teori utama dalam melihat pemilih DKI. Pemilih rasional sering terlalu disederhanakan sebagai pemilih yang menggunakan akal sehat dan diterjemahkan dalam pilkada ketika pemilih melihat kinerja sebagai basis pilihan. Politik aliran lebih melihat sekat-sekat kelompok, khususnya agama, sebagai salah satu penentu bagi pemilih di Indonesia.

Bisa dikatakan hasil putaran pertama pilkada DKI ini adalah imbang untuk kedua kerangka teori pemilih rasional versus politik aliran. Hasil putaran pertama menempatkan petahana Basuki Tjahaja Purnama dengan 43 persen suara dan penantangnya, Anies Baswedan, 40 persen. Ini menunjukkan bahwa dua teori tersebut mempunyai kekuatan penjelas tapi terbatas.

Ketika elektabilitas Ahok menukik tajam sampai di titik 20 persen sekitar November, alasan utama yang digarisbawahi adalah kasus penistaan agama yang menjerat Ahok ke dalam kasus hukum. Menariknya, setelah kasus penistaan tersebut masuk ke pengadilan, justru elektabilitas Ahok menanjak ke angka 30-an persen.

Dari kasus ini bisa dikatakan kurang akurat jika menggambarkan 400 ribu umat muslim yang turun dalam aksi 411 dan 212 semata marah karena agamanya dinistakan. Sebab, jika kemarahan itu demikian besar, elektabilitas Ahok pasti tidak akan mencapai 43 persen pada putaran pertama lantaran  pemilih muslim di DKI Jakarta lebih dari 80 persen.

Besarnya demonstrasi pada dua tanggal tersebut merupakan konvergensi berbagai kepentingan politik yang memobilisasi massa. Seperti survei yang dirilis Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada populasi nasional: 60 persen responden menganggap Ahok menistakan Islam, tapi 80 persen lebih tidak tahu kasus tersebut secara detail. Di sisi lain, kenyataan bahwa Ahok hanya mendapat 43 persen suara, jauh di bawah tingkat kepuasan terhadap kinerjanya (70 persen), memang menunjukkan ada efek politik aliran tapi tetap diimbangi pemilih rasional.

Ini artinya, pemilih dalam pilkada DKI ada dalam dua konstruksi tersebut, tapi ada elemen ketiga yang lebih menjadi penentu. Inilah yang dalam literatur psikologi politik disebut sebagai affective intelligence voting, yakni peran emosi dalam menentukan pilihan di luar dari kognisi (kalkulasi rasional) dan identitas primordial semata.

Eep mungkin cukup benar ketika mengatakan pemilih Anies bukan hanya pemilih berdasarkan alasan primordial agama. Namun asersinya yang menyatakan hal tersebut adalah efek dari gagal paham inkumben dalam menangkap angin populisme bisa dikatakan kurang tepat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pertama, Eep bernalar bahwa populisme secara otomatis adalah kebijakan yang menjawab permasalahan masyarakat banyak. Populisme dalam literatur politik adalah kemampuan pemimpin memobilisasi emosi warga (seperti Islamofobia Trump). Namun bukan berarti janji atau narasi populis adalah satu sikap yang positif bagi rakyat.

Kedua, Eep berasumsi berdasar exit poll Polmark bahwa hanya 9,4 persen yang memilih Anies karena alasan agama. Ia mengatakan, "Ternyata tawaran janji kerja serta bukti kapasitas kandidat memainkan peran signifikan."

Hal ini merupakan asersi tanpa dasar. Seperti halnya tidak adil membandingkan Ahok dengan Anies berdasar kinerja karena yang satu inkumben dan satunya tidak mempunyai rekam jejak sebagai kepala daerah.

Bounded rationality (keterbatasan informasi, pendidikan, dan pengetahuan) dari para pemilih membuat pemilihan berdasarkan pilihan rasional sangat terbatas. Pemilih tidak memiliki cukup informasi akan janji kerja yang ada. Belum lagi, dalam debat sebelum putaran pertama, bisa dilihat semua kandidat berputar-putar menunjukkan kebolehan tanpa substansi yang bisa dibandingkan secara jelas.

Pada akhirnya, kerangka teori ketiga mungkin dapat menjelaskan perilaku pemilih rakyat Jakarta pada putaran pertama dan menjelang putaran kedua pada 19 April. Affective intelligence voting melihat variabel lain yang lebih mudah berubah dibanding kalkulasi rasional (pilihan rasional) atau identitas primordial. Ini adalah teori yang melihat psikologis pemilih yang terbentuk oleh nuansa kondisi sekitar, apakah membuat kecemasan (anxiety) atau antusias. Hal ini terlihat cukup jelas pada pendukung kedua belah pihak.

Dari kubu Ahok kelihatan sekali ada antusiasme besar yang kadang berlebihan, sementara sebagian pendukung Anies didasari kecemasan (pengaruh narasi hoax Cina menguasai dan pemimpin nonmuslim yang tidak sah).  Pada akhirnya, yang menentukan siapa pemenang pada putaran kedua rasanya akan bertumpu pada pemilih dalam kerangka affective intelligence ini.

Pemilih tidak semata-mata mengkalkulasi pilihannya maupun terjebak identitas dalam pilihannya. Pemilih akan terpengaruh nuansa sosial dan politik serta perasaan terhadap kedua kandidat menjelang pemilihan. Faktor apakah yang akan menentukan nuansa dan psikologis tersebut? Itulah hal yang menarik dan perlu ditelusuri lebih lanjut oleh peneliti perilaku politik di Jakarta.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Perilaku Pemilih Pilkada DKI

21 Maret 2017

Perilaku Pemilih Pilkada DKI

Perdebatan perilaku pemilih dalam Pemilihan Kepala Daerah DKI 2017 kali ini sangat menarik. Tulisan Eep Saefulloh Fatah di kolom majalah Tempo edisi 12 Maret 2017 menggelitik karena menafikan dua teori utama dalam melihat pemilih DKI. Pemilih rasional sering terlalu disederhanakan sebagai pemilih yang menggunakan akal sehat dan diterjemahkan dalam pilkada ketika pemilih melihat kinerja sebagai basis pilihan. Politik aliran lebih melihat sekat-sekat kelompok, khususnya agama, sebagai salah satu penentu bagi pemilih di Indonesia.


Hitung Cepat Pilih Jokowi-Ahok Pimpin Jakarta

20 September 2012

Joko Widodo dan Basuki T. Purnama (Ahok). TEMPO/Dhemas Reviyanto
Hitung Cepat Pilih Jokowi-Ahok Pimpin Jakarta

Rata-rata selisih perolehan suara Foke dan Jokowi hanya 9,4 persen.


Jokowi - Ahok Disenggol Isu SARA

17 Juli 2012

Jakarta Baru, Jokowi dan Basuki. citizenjurnalism.com
Jokowi - Ahok Disenggol Isu SARA

Meski aksi jegal kandidat pada pasangan pemenang putaran pertama pemilihan Pilkada DKI Jakarta versi hitung cepat Jokowi-Ahok terus bergulir


Jokowi Klaim Didukung Tiga Kandidat

13 Juli 2012

Jokowi menanda tangani berkas-berkas yang menumpuk selama ditinggal cuti kampanye dan pencoblosan pilkada jakarta di rumah dinas wali kota, 12-7, 2012. Begitu tiba dari Jakarta, Jokowi menyempatkan melihat dan mengecek berkas yang harus segera ditanda tangani. Tempo/Ukky Primartantyo
Jokowi Klaim Didukung Tiga Kandidat

"Saya bebaskan mereka pilih siapa pun."


Sentimen Negatif Foke-Nara *)

8 Juni 2012

Sentimen Negatif Foke-Nara *)

Namun pengalaman pada beberapa pemilihan di tempat lain membuktikan upaya untuk mengatasi stigma negatif terhadap petahana ini tidak mudah dilakukan. Sejumlah kasus menunjukkan bahwa petahana yang elektabilitasnya melorot sulit mengalami recovery untuk tetap berada di atas para pesaingnya.


Jokowi Siap Genggam DKI-1

19 Maret 2012

Wali Kota Joko Widodo menyaksikan pentas Opera Van Java di Stadion R Maladi Sriwedari Solo, Sabtu malam (17/3). TEMPO/Ahmad Rafiq
Jokowi Siap Genggam DKI-1

Wali Kota Solo ini menyatakan siap menaklukkan Jakarta. "Sudah dari dulu saya sampaikan, saya siap," kata Jokowi.


Koalisi Dukung Fauzi Tandingi Alex-Nono

17 Maret 2012

Fauzi Bowo. TEMPO/Subekti
Koalisi Dukung Fauzi Tandingi Alex-Nono

Fauzi, berbekal dukungan dari Demokrat, diagendakan siap merapat ke PDI Perjuangan.


Mundurnya Wakil Gubernur Prijanto

27 Desember 2011

Prijanto, Wakil Gubernur DKI Jakarta saat akan meresmikan Pos Terpadu di Perum Permata, Cengkareng, Jakarta (29/06). TEMPO/Arif Fadillah
Mundurnya Wakil Gubernur Prijanto

Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Saldi Isra, menilai mundurnya Prijanto sebagai sinyal bahwa posisi wakil kepala daerah sebaiknya dihapuskan.