Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Sentimen Negatif Foke-Nara *)

Oleh

image-gnews
Iklan

TEMPO.CO,Jika hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dapat dipercaya, pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli (Foke-Nara) boleh jadi sedang berada dalam situasi kritis menghadapi pemilihan kepala daerah DKI Jakarta pada 11 Juli mendatang.

Dalam survei yang dirilis 8 April lalu, LSI menyimpulkan Foke-Nara memiliki elektabilitas sekitar 49,1 persen dan berpotensi menang dalam satu putaran. Namun, dalam survei berikutnya dengan metode yang sama, yang diumumkan pada 27 Mei lalu, Foke-Nara diprediksi LSI hanya bakal meraih suara sekitar 43,3 persen. Artinya, dalam waktu kurang dari dua bulan, dukungan terhadap Foke-Nara tergerus hampir 6 persen. Sementara itu, dukungan bagi pesaing terdekatnya, Jokowi-Ahok, mengalami kenaikan lebih dari 6 persen, dari 14,4 persen menjadi 20,9 persen pada periode yang sama.

Apa artinya? Gejala penurunan dukungan ini menunjukkan bahwa Foke-Nara memiliki sentimen negatif yang sangat besar dan terus membesar mendekati hari pemilihan. Padahal popularitas Foke di kalangan calon pemilih DKI Jakarta mendekati angka 100 persen, karena dia adalah kandidat petahana (incumbent) yang sudah tersosialisasi sejak sedikitnya lima tahun lalu.

Sentimen publik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari demokrasi (Axmann, 2003, Understanding Democratic Politis, Sage Publications). Sentimen ini dapat bersifat positif atau negatif. Sentimen negatif dapat dilihat dari gap antara tingkat popularitas dan elektabilitas seorang kandidat. Makin tinggi jarak antara tingkat dikenalnya dan kemungkinan terpilih seorang calon, makin tinggi sentimen negatifnya. Sentimen ini bisa muncul dari berbagai faktor, salah satunya dari penilaian terhadap rekam jejak kandidat yang dianggap tidak mampu menunjukkan kepemimpinan dan kinerja yang mumpuni. Dengan berbagai problem yang membelit Jakarta, seperti ancaman banjir dan kemacetan, Foke sangat rawan terkena sentimen negatif yang tinggi, karena dia dinilai tidak mampu mengatasi kedua masalah akut tersebut.

Sentimen ini juga bisa bersumber dari kepribadian kandidat yang dianggap tidak layak memimpin, misalnya dianggap sombong, arogan, dan kurang sopan-santun. Atau bisa jadi karena pemilihan pasangan wakil gubernur yang dianggap tidak cocok. Isu-isu seputar kandidat yang belum jelas kebenarannya juga sering menjadi sumber sentimen negatif.

Celakanya, sentimen negatif ini biasanya semakin besar sejalan dengan peningkatan popularitas seorang kandidat. Karena semakin tinggi tingkat dikenalnya kandidat, semakin banyak informasi tentang kandidat itu yang diketahui oleh publik, ada kemungkinan akan semakin banyak pula informasi negatif mengenai kandidat bersangkutan yang sampai ke khalayak calon pemilih.

Dalam situasi ini, tantangan bagi Foke bukan lagi memperkenalkan diri ke sebanyak-banyaknya pemilih, melainkan meyakinkan calon pemilih yang sudah mengenalnya bahwa dia adalah kandidat yang paling layak di antara kandidat lainnya. Dengan kebutuhan seperti itu, strategi penyebaran poster, spanduk, billboard, atau “serangan udara” melalui iklan televisi dan media massa lainnya ada kemungkinan tidak lagi efektif bagi Foke-Nara. Publik membutuhkan konfirmasi yang lebih konkret bahwa kandidat yang sudah terkenal itu adalah yang terbaik di antara beberapa pilihan. Upaya memperbanyak turun ke lapangan, kampanye dari pintu ke pintu, dan testimonial adalah beberapa strategi yang dapat dipilih Foke-Nara untuk mengurangi sentimen negatif terhadap dirinya.

Namun pengalaman pada beberapa pemilihan di tempat lain membuktikan upaya mengatasi stigma negatif terhadap petahana ini tidak mudah dilakukan. Sejumlah kasus menunjukkan bahwa petahana yang elektabilitasnya melorot sulit mengalami recovery untuk tetap berada di atas para pesaingnya. Kekalahan Presiden Megawati Soekarnoputri atas Susilo Bambang Yudhoyono (2004), Danny Setiawan di Jawa Barat (2007), Syahrial Oesman di Sumatera Selatan (2008), atau Irwandi Yusuf di Aceh (2012) memperlihatkan bagaimana sulitnya membendung sentimen negatif terhadap petahana.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Putaran kedua
Foke-Nara harus bersiap menerima kenyataan bahwa pemilihan kepala daerah DKI Jakarta akan berlanjut ke putaran kedua untuk mencari pasangan yang meraih dukungan di atas 50 persen. Bahkan, jika tren penurunan dukungan terhadap Foke-Nara ini berlanjut sampai hari pemungutan suara, tidak mustahil suara petahana akan tersalip oleh para pesaingnya, terutama Jokowi-Ahok.

Para penantang Foke-Nara pada umumnya memiliki sentimen negatif yang relatif lebih rendah. Belum banyak informasi negatif mengenai Jokowi-Ahok, Hidayat-Didik, atau Alex-Nono yang sampai ke benak pemilih, sehingga membentuk resistansi tertentu. Tingkat popularitas para kandidat penantang kalangan pemilih Jakarta masih terbilang rendah, di kisaran 50-60 persen.

Para penantang yang belum terlalu dikenal publik memiliki peluang yang cukup terbuka untuk meningkatkan elektabilitas mereka dalam rentang waktu yang cukup pendek. Presiden Yudhoyono (2004), Ahmad Heryawan di Jawa Barat (2007), Alex Noerdin di Sumatera Selatan (2008), atau Zaini Abdullah di Aceh (2012) adalah contoh-contoh kandidat penantang yang sukses meningkatkan elektabilitasnya dalam waktu sekitar enam bulan saja-–dan pada akhirnya memenangi pemilihan.

Strategi bagi para penantang ini biasanya sederhana: genjot popularitas setinggi-tingginya, maka elektabilitas akan ikut terdorong naik. Karena itu, para penantang berkepentingan memasang alat peraga kampanye mereka seluas-luasnya agar dapat dilihat oleh sebanyak-banyaknya pemilih. Penyebaran poster, spanduk, pemasangan billboard, dan iklan di media massa atau media apa saja yang dapat menjangkau orang banyak menjadi pilihan strategis bagi para penantang Foke-Nara yang ingin lebih banyak dikenal pemilih.

Sentimen negatif terhadap Foke-Nara dapat menjadi ancaman mematikan jika pemilihan kepala daerah DKI Jakarta berlanjut ke putaran kedua-–ada kemungkinan Foke-Nara berhadapan dengan Jokowi-Ahok. Foke-Nara berpotensi menjadi “musuh bersama” sehingga pasangan yang kalah di putaran pertama secara bersama-sama mendukung pemenangan penantang Foke-Nara. Jika itu terjadi, kiprah “Bang Kumis” di panggung pemerintahan Jakarta boleh jadi akan segera menjadi sejarah.

*) Ali Nurdin, Kandidat doktor ilmu politik Universitas Padjadjaran, Bandung; Direktur Strategy PR Jakarta

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Perilaku Pemilih Pilkada DKI

21 Maret 2017

Perilaku Pemilih Pilkada DKI

Perdebatan perilaku pemilih dalam Pemilihan Kepala Daerah DKI 2017 kali ini sangat menarik. Tulisan Eep Saefulloh Fatah di kolom majalah Tempo edisi 12 Maret 2017 menggelitik karena menafikan dua teori utama dalam melihat pemilih DKI. Pemilih rasional sering terlalu disederhanakan sebagai pemilih yang menggunakan akal sehat dan diterjemahkan dalam pilkada ketika pemilih melihat kinerja sebagai basis pilihan. Politik aliran lebih melihat sekat-sekat kelompok, khususnya agama, sebagai salah satu penentu bagi pemilih di Indonesia.


Perilaku Pemilih Pilkada DKI

21 Maret 2017

Perilaku Pemilih Pilkada DKI

Perdebatan perilaku pemilih dalam Pemilihan Kepala Daerah DKI 2017 kali ini sangat menarik. Tulisan Eep Saefulloh Fatah di kolom majalah Tempo edisi 12 Maret 2017 menggelitik karena menafikan dua teori utama dalam melihat pemilih DKI. Pemilih rasional sering terlalu disederhanakan sebagai pemilih yang menggunakan akal sehat dan diterjemahkan dalam pilkada ketika pemilih melihat kinerja sebagai basis pilihan. Politik aliran lebih melihat sekat-sekat kelompok, khususnya agama, sebagai salah satu penentu bagi pemilih di Indonesia.


Hitung Cepat Pilih Jokowi-Ahok Pimpin Jakarta

20 September 2012

Joko Widodo dan Basuki T. Purnama (Ahok). TEMPO/Dhemas Reviyanto
Hitung Cepat Pilih Jokowi-Ahok Pimpin Jakarta

Rata-rata selisih perolehan suara Foke dan Jokowi hanya 9,4 persen.


Jokowi - Ahok Disenggol Isu SARA

17 Juli 2012

Jakarta Baru, Jokowi dan Basuki. citizenjurnalism.com
Jokowi - Ahok Disenggol Isu SARA

Meski aksi jegal kandidat pada pasangan pemenang putaran pertama pemilihan Pilkada DKI Jakarta versi hitung cepat Jokowi-Ahok terus bergulir


Jokowi Klaim Didukung Tiga Kandidat

13 Juli 2012

Jokowi menanda tangani berkas-berkas yang menumpuk selama ditinggal cuti kampanye dan pencoblosan pilkada jakarta di rumah dinas wali kota, 12-7, 2012. Begitu tiba dari Jakarta, Jokowi menyempatkan melihat dan mengecek berkas yang harus segera ditanda tangani. Tempo/Ukky Primartantyo
Jokowi Klaim Didukung Tiga Kandidat

"Saya bebaskan mereka pilih siapa pun."


Jokowi Siap Genggam DKI-1

19 Maret 2012

Wali Kota Joko Widodo menyaksikan pentas Opera Van Java di Stadion R Maladi Sriwedari Solo, Sabtu malam (17/3). TEMPO/Ahmad Rafiq
Jokowi Siap Genggam DKI-1

Wali Kota Solo ini menyatakan siap menaklukkan Jakarta. "Sudah dari dulu saya sampaikan, saya siap," kata Jokowi.


Koalisi Dukung Fauzi Tandingi Alex-Nono

17 Maret 2012

Fauzi Bowo. TEMPO/Subekti
Koalisi Dukung Fauzi Tandingi Alex-Nono

Fauzi, berbekal dukungan dari Demokrat, diagendakan siap merapat ke PDI Perjuangan.


Mundurnya Wakil Gubernur Prijanto

27 Desember 2011

Prijanto, Wakil Gubernur DKI Jakarta saat akan meresmikan Pos Terpadu di Perum Permata, Cengkareng, Jakarta (29/06). TEMPO/Arif Fadillah
Mundurnya Wakil Gubernur Prijanto

Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Saldi Isra, menilai mundurnya Prijanto sebagai sinyal bahwa posisi wakil kepala daerah sebaiknya dihapuskan.