Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Tempat Ibadah sebagai Pelayanan Publik

Oleh

image-gnews
Iklan

Ahmad Suaedy, Koordinator Abdurrahman Wahid Centre Universitas Indonesia

Dua peristiwa kerusuhan bernuansa antarumat beragama yang membawa korban nyawa terjadi di waktu yang berdekatan dan di dua ujung provinsi Indonesia, timur dan barat. Kerusuhan di Kabupaten Tolikara, Papua, terjadi bersamaan dengan Idul Fitri, Juli lalu, dan di Aceh Singkil, Aceh, bertepatan dengan peringatan tahun baru Hijriah, Selasa pekan lalu.

Tanpa bermaksud mengingkari kompleksitas permasalahan pada kedua peristiwa memilukan itu, tempat ibadah merupakan isu sensitif. Ikut terbakarnya musala di pasar di Tolikara menjadi perhatian besar dari publik. Adapun penutupan dan pembakaran gereja di Aceh Singkil merupakan masalah pokok dari kerusuhan itu sendiri.

Kedua peristiwa tersebut selayaknya menjadi lampu merah, bukan lagi lampu kuning, bagi pemerintah dalam mengelola relasi antarumat beragama dan, khususnya, tempat ibadah. Kedua peristiwa tersebut bukan terjadi secara kebetulan dan sporadis, melainkan sudah bisa dilihat gejala ketegangan sebelumnya dan terjadi di berbagai tempat dalam skala yang berbeda-beda.

Dalam perspektif hak asasi manusia ataupun konstitusi, tempat ibadah termasuk dalam kategori ekspresi keyakinan atau forum externum dan bukan keyakinan itu sendiri atau forum internum. Berbeda dengan forum internum, yang menuntut jaminan kebebasan dan pemerintah tidak boleh campur tangan serta mengurangi hak-hak tersebut, forum externum justru harus diatur supaya tidak bertabrakan dan tidak saling mendominasi. Masalahnya adalah bagaimana pengaturan itu dilakukan secara adil dan memberikan kepastian hukum bagi semua orang.

Pendirian tempat ibadah memang sudah diatur dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM) antara Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 pada 21 Maret 2006. Masalahnya, peraturan tersebut diletakkan dalam perspektif yang tidak tepat, yaitu mengedepankan keamanan ketimbang keadilan dan pelayanan, serta agama diperlakukan sebagai kelompok dan bukan pada pelayanan setiap warga negara.

Peraturan ini juga berkebalikan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang meletakkan agama sebagai tanggung jawab pemerintah pusat karena PBM justru mendelegasikan masalah kerukunan umat beragama kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.

Ada baiknya untuk dibedah beberapa hal di sini. Ada tiga unsur yang diatur mengenai pendelegasian pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang tercakup dalam PBM: pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama (FKUB), dan pendirian tempat ibadah. Penggunaan kata "kerukunan" dalam PBM itu menunjukkan pendekatan yang lebih menekankan pada keamanan ketimbang peningkatan pelayanan dan penunaian hak para pemeluk agama.

PBM merupakan revisi dari Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri terbitan 1969 sebagai bagian dari pendekatan keamanan Orde Baru. PBM 2006 ini hanya menambah rincian pengaturan, seperti FKUB, tanpa mengubah paradigma dan pendekatan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tugas pemeliharaan kerukunan di dalam PBM ini tidak memiliki indikator keberhasilan, reward bagi yang sukses ataupun sanksi bagi yang gagal. Sedangkan tugas pemberdayaan FKUB adalah sisi lain dari pemberian dominasi kepada mayoritas. Keanggotaan FKUB, misalnya, didasari jumlah masing-masing agama di suatu daerah, sehingga tidak memungkinkan untuk terjadinya keseimbangan obyektif dalam pengambilan keputusan.

Kriteria pendirian rumah ibadah yang mensyaratkan pengguna 90 orang dan pendukung dari penduduk sekitar 60 orang adalah sisi lain lagi dari dominasi mayoritas. Pada peluncuran PMB 2006, Menteri Agama Maftuh Basyuni menyatakan kriteria jumlah dukungan tanda tangan bersifat kontekstual. Pemerintah daerah bisa memberikan kriteria menurut kearifan lokal.

Pada prakteknya, ada daerah yang memberikan kriteria dukungan 100 orang, seperti di Sumatera Barat, dan 150 orang di Bali. Jika ada satu saja yang mencabut tanda tangan dari jumlah itu, rencana itu bisa digagalkan, meski pembangunan sudah berjalan.

Kini, satu setengah dasawarsa lebih reformasi, sudah waktunya mengubah paradigma dari pendekatan keamanan ke pelayanan dan penunaian hak dalam pendirian rumah ibadah. Pemberian pelayanan kepada umat beragama, termasuk pendirian tempat ibadah, harus ditempatkan sebagai bagian dari pelayanan publik. Setiap orang berhak mendapatkannya. Tapi, dalam pelaksanaannya, harus diletakkan pada kriteria dan aturan yang jelas, transparan, akuntabel, konsisten, dan memenuhi kepastian hukum.

Pendirian tempat ibadah untuk umum pertama-tama harus mengacu pada tata ruang serta tata guna dan peruntukan tanah di setiap wilayah secara obyektif. Dengan demikian tidak terjadi pendirian tempat ibadah yang tidak fungsional dan dengan ukuran yang berlebihan. Meski demikian, komunitas atau bahkan keluarga memiliki hak untuk memiliki tempat ibadah yang bersifat privat seperlunya dengan kriteria dan aturan tertentu pula.

Pelayanan pendirian tempat ibadah bisa bersifat relatif dengan penyesuaian karakter dari masing-masing agama. Tapi penempatan rumah ibadah tetap harus mengacu pada tata ruang serta tata guna dan peruntukan tanah. Dengan demikian, rekomendasi dari kelompok-kelompok agama ataupun dari tetangga sekitar tidak menentukan.

Kelembagaan seperti FKUB harus diubah menjadi semacam Komisi Antar-Agama. Tugas komisi ini meneliti dan memetakan ancaman dan kemudian memberikan rekomendasi kepada pemerintah daerah tentang pelayanan yang adil kepada minoritas. Keanggotaan FKUB harus direkrut secara profesional dan tidak didasari komposisi pemeluk agama dalam suatu wilayah.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Tempat Ibadah sebagai Pelayanan Publik

19 Oktober 2015

Tempat Ibadah sebagai Pelayanan Publik

Dua peristiwa kerusuhan bernuansa antarumat beragama yang membawa korban nyawa terjadi di waktu yang berdekatan dan di dua ujung provinsi Indonesia, timur dan barat. Kerusuhan di Kabupaten Tolikara, Papua, terjadi bersamaan dengan Idul Fitri, Juli lalu, dan di Aceh Singkil, Aceh, bertepatan dengan peringatan tahun baru Hijriah, Selasa pekan lalu.


Sunni, Syiah, dan Ruang Kosong Budaya *)

4 Januari 2012

Sunni, Syiah, dan Ruang Kosong Budaya *)

Dan berbagai kesalahpahaman yang terjadi antara umat Islam Sunni dan Syiah Indonesia, salah satunya disebabkan oleh absennya budaya sebagai perangkat dakwah dan dialog. Perangkat hardware (teologi, syariah, fiqh) lebih dikedepankan ketimbang software (budaya, akhlak, moral). Padahal yang kedua justru lebih efektif untuk membangun harmoni.


Agama Sebagai Selubung Kekerasan

8 Februari 2011

Agama Sebagai Selubung Kekerasan

Di samping dipicu oleh faktor-faktor lain, keberanian masyarakat dalam melakukan kekerasan terhadap kelompok minoritas yang dianggap sesat itu lahir karena mendapatkan "legitimasi" dari kekerasan yang telah dilakukan oleh para pemegang otoritas pada ranah psikologis, simbolis, dan verbal tersebut.


Ketua FPI Bekasi Jadi Tersangka Kasus HKBP

16 September 2010

Ketua DPW FPI Bekasi Murhali Barda (tengah) didampingi Ketua DPP FPI bidang hukum Munarman (kiri). ANTARA/Yudhi Mahatma
Ketua FPI Bekasi Jadi Tersangka Kasus HKBP

"BAP sudah ditutup. Ustad pejuang itu, bukan ustad pecundang, telah dijadikan tersangka," ujar Shalih.


Presiden Diminta Hentikan Ulah FPI, Kalau Perlu Bubarkan  

28 Juni 2010

TEMPO/ Nickmatulhuda
Presiden Diminta Hentikan Ulah FPI, Kalau Perlu Bubarkan  

Permintaan lebih keras diajukan fungsionaris Partai Demokrat Ulil Abshar Abdalla. Menurut Ulil, FPI telah melakukan kekerasan sistematis dan sudah mengarah kepada kelompok-kelompok tertentu. Karena alasan itu, FPI sudah seharusnya dibubarkan.