Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Anti barat

Oleh

image-gnews
Iklan
SIAPA YANG BERMAKSUD MENJUAL ANAK PEREMPUANNYA, SILAKAN DATANG KEPADA KAMI. TULISAN dengan huruf-huruf menyolok itu dipasang -- seperti pengumuman obral -- di pintu beberapa kantor. Orang-orang lewat. Di antaranya, para petani yang digaru kemiskinan di dusun mereka, masuk membungkuk. Pintu pun dibuka. Gadis-gadis dijual. Bordil menadah. Ini bukan cerita khayal, Ibu. Ini Tokyo beberapa puluh tahun yang lalu -- ketika Jepang belum lagi sebuah negeri dengan kekayaan yang menakjubkan. Dan itu belum lama berselang. Di tahun 1934, misalnya, seorang reporter dari Tokyo berkunjung ke sebuah keluarga di sebuah desa di wilayah Aomori. Ia menulis: "Ketika aku memasuki rumah itu, seorang wanita berumur 70 lebih, orangtua si gadis yang dijual, berkerumuk di dekat pediangan yang berasap, dengan seorang anak 5 tahun. Bocah ini nampaknya masuk angin dan menangis. 'Kenapa Ibu jual anak Ibu', tanya saya. Wanita tua itu mengerdipkan matanya yang rusak oleh asap arang dan telah dirajang trakhoma, dan menjawab, "Sumie telah dijual dan kini menjalani hidup yang susah. Saya tak peduli jika saya mati. Saya ingin cucu-cucu saya hidup senang." Air mata mengalir dari matanya yang merah, yang membusuk. Keluarga ini telah kehilangan rumah mereka oleh utang yang mereka ambil, lalu tinggal bersama tetangga. Mereka pun menjual anak perempuan mereka yang berumur 14, Sumie, ke sebuah bordil di Nagoya. Uangnya mereka pakai untuk membeli rumah ini ...." Petani memang korban yang dahsyat dari zaman yang seakan-akan tak berubah meskipun struktur feodalisme masa Tokugawa telah diganti dengan semangat "modernisasi" masa Meiji. Tanah yang mereka olah tetap kecil, dengan tenaga manusia yang banyak. Meskipun masa Meiji di akhir abad ke-19 mencoba menggunakan teknologi Barat, cara bertani pada dasarnya tak beranjak dari masa abad ke-16. Cara itu adalah cara kerja yang mengiris dan pedih. "Hidup macam apakah ini?", keluh seorang petani di tahun 1920-an. "Pada pukul 4.30 peluit di pabrik sutera berbunyi. Adikku dan aku meninggalkan sawah dan pergi mengumpulkan kotoran manusia... dalam empat gerobak. Ketika kami mengembalikan ember ke stasiun kereta api, hari telah pukul 11 malam." Keluhan seperti itu, seperti direkam cukup banyak dalam sebuah studi sejarawan Mikiso Hane tahun lalu, merupakan kontras bagi kehidupan cerah di kota seperti Tokyo. Di sini segala hal berkembang hebat: jembatan, bangunan bagus, kereta api, lampu gas, dan pelbagai konstruksi mahal. "Tujuan pemerintah seakan-akan menggunakan buah kerja pedesaan untuk kembang Kota Tokyo," tulis seorang pengkritik di tahun 1874. Ketimpangan antara pedalaman dan kota besar itu pun tak urung menimbulkan kebencian kepada segala yang berbau mentereng di kota itu. Dan, dengan demikian, juga bertambah kecurigaan pada Barat. Sejak masa lalu memang kecurigaan pada Barat menjalar laten di pedalaman. Wajib militer bagi seluruh rakyat -- yang memberi kesempatan bagi petani agar ikut dalam kegiatan yang dulu cuma previlese kaum samurai -- dikutuk sebagai ketsuzei, "pajak darah". Desas-desus pun bilang bahwa anak-anak muda yang jadi prajurit itu sebenarnya digantung. Darah mereka dipakai untuk minuman orang Barat -- yang disebut "anggur". Maka tak heran bila ada sejarawan yang menulis bahwa modernisasi yang terjadi di masa Meiji, suatu proses Westernisasi, punya wajah malapetaka. "Kebudayaan Barat yang diimpor di zaman Meiji telah memisahkan kelas atas dari kelas bawah dalam cara yang belum pernah ada sebelumnya. Politik Barat, ekonomi Barat, agama Barat, pikiran Barat, seni Barat, dan pergerakan sosial Barat ...." Dan meledaklah sikap anti-Barat yang dapat dukungan baik dari kiri maupun dari kanan yang ekstrem. Kaum kanan yang militer itu kemudian berkuasa. Perang Dunia II pun pecah. Jepang memaklumkan diri cahaya Timur, yang mau membawa nilai-nilai penangkal Barat. Tapi ia kalah. Anehnya ialah bahwa ia kemudian diselamatkan juga oleh "Barat" itu: dengan landreform, dengan demokratisasi politik, dan dengan pertumbuhan bisnis dan teknologi. Bayarannya memang mahal sekali.
Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Merkel Peringatkan Trump yang anti Globalisme, Mengapa?

1 Oktober 2018

Presiden AS, Donald Trump, dan Kanselir Jerman, Angela Merkel, dalam pertemuan bilateral mereka saat KTT NATO, Rabu, 11 Juli 2018 di Brussels, Belgia. [AP Photo / Pablo Martinez Monsivais]
Merkel Peringatkan Trump yang anti Globalisme, Mengapa?

Kanselir Jerman, Angela Merkel memperingatkan Donald Trump karena pidatonya yang menolak multilateralisme dan globalisme akan menghancurkan PBB.


Cina Didesak Bebaskan Aktivis Anti-WTO

9 Januari 2006

Cina Didesak Bebaskan Aktivis Anti-WTO

Mereka terancam dituntut dengan pasal permufakatan yang melawan hukum.


McDonald's Solo Disegel Demonstran Anti Globalisasi

13 September 2003

McDonald's Solo Disegel Demonstran Anti Globalisasi

McDonald's Solo disegel puluhan demonstran anti globalisasi.


Lokalisme

2 November 1985

Lokalisme

Lahirnya pelbagai bangsa yang kemudian membentuk negara masing-masing, pada akhirnya menimbulkan pertentangan. Kepentingan nasional bentrok dengan kepentingan negara lain. Internasionalisme padam. (ctp)