Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Lokalisme

Oleh

image-gnews
Iklan
TUHAN menciptakan hanya satu bumi, tapi kemudian lahirlah bangsa-bangsa. Mereka membentuk negara masing-masing. Tembok-tembok pun tegak, dan sejak itu manusia tak tahu persis hendak bagaimana lagi. Sebab, yang terjadi adalah semacam kekacauan, meskipun kadang-kadang tanpa darah. Kata Voltaire di abad ke-18, "Sebuah negeri hanya bisa mendapat apabila sebuah negeri lain merugi." Pada mulanya, yang disebut mendapat terbatas pada pengertian memperoleh logam mulia. Yang disebut negeri tentu saja, kurang-lebih, sang penguasa. Kepentingan nasional berarti kepentingan raja, atau kalangan yang menentukan di atas. Kata-kata seorang bangsawan Castilia yang mengingatkan Raja Philip III dari Spanyol agaknya berlaku buat siapa saja, setidaknya diabad ke-17 itu: "Kekuatan Paduka terdiri atas perak pada hari perak habis, perang tak akan dapat dimenangkan." Yang disebut "merkantilisme" dalam sejarah ekonomi adalah semangat mengumpulkan perak dan emas itu bagi seorang raja, untuk sebuah negara. Orang menghimpun cadangan dan sumber kekuasaan. Caranya: perbanyaklah ekspor, persedikitlah impor, dan dengan adanya surplus itu, himpunlah emas. Yang menarik ialah bahwa cara berpikir yang bersahaja itu berumur panjang sekali. Sudah di abad ke-14, Inggris pernah melarang impor besi. Negeri pulau itu juga melarang orang asing mengekspor emas dan perak: logam itu harus dibelikan barang-barang Inggris. Dalam perkembangannya kemudian, niat agar kekayaan tak keluar dari sebuah negara ditampakkah dalam pelbagai variasi. Di abad ke-20 ini ada negara-negara yang membatasi, agar orang tak membawa dolar teramat banyak ke luar perbatasan. Karena itu, sejarah proteksionisme adalah sejarah panjang - dan tampaknya tak berkesudahan. Di tahun 1624, di Swedia orang mengenal Produktplakat: kapal-kapal Belanda tak boleh membawa garam ke Swedia dari Atlantik, dan hanya kapal berbendera Swedia yang boleh. Negeri itu sedang mempertumbuh-kan armada dagang sendirl, meskipun akibatnya garam yang masuk jadi berkurang dan harganya meningkat. Dan tentu banyak yang, untuk itu, harus berkorban. Tapi semangat "untuk-kepentingan nasional" memang bisa mengalahkan segala hal. Di abad ke-17 pula seorang duta besar Louis XIV di London menulis surat ke Paris dengan kata-kata yang sampai sekarang pun berlaku buat para pengusaha tekstil Amerika ataupun pengusaha baja di Indonesia: "Lebih baik membeli daging sapi yang dihasilkan rakyat Baginda, walaupun mahal . . ., ketimbang membelinya dengan harga lebih murah dari orang asing". Memang, semangat seperti itu, di zaman kini, sudah punya bumbu demokrasi. Rencana Undang-Undang Jenkins dan 300 lainnya disiapkan oleh para wakil rakyat Amerika guna melindungi para pemilih mereka, bukannya untuk menyenangkan Presiden Reagan. Di negeri seperti Indonesia, pelbagai subsidi ekspor dan pencegahan impor juga diberikan pemerintah karena ingin memperbanyak kesempatan usaha dan lapangan kerja. Soalnya kemudian, apa jadinya bila ternyata merkantilisme baru hanya melahirkan merkantilisme baru. Apa jadinya bila "kepentingan nasional" yang satu harus bentrok dengan "kepentingan nasional" yang lain? Adolf Hitler punya jawabannya. "Jika manusia ingin hidup," kata pemimpin Nazi itu pula di tahun 1929, "maka mereka harus membunuh yang lain." Lalu Perang Dunia pun pecah. Alhamdulillah, Hitler yang mengerikan itu tidak keluar sebagai pemenang. Di bunkernya di bawah tanah ia membunuh diri, dan di langit para malaikat ikut menyanyi mengiringi idealisme baru. Ada orang mendirikan PBB. Ada yang mendirikan Bank Dunia. Ada yang menyebarkan semangat internasionalisme yang diserukan Karl Marx. Ada yang yakin bahwa nasionalisme harus dikuburkan, mula-mula di Jerman dan Prancis, lalu mendirikan Masyarakat Ekonomi Eropa. Ada yang tetap menerima nasionalisme, tapi dengan catatan perlunya internasionalisme. Di Jakarta menjelang lahirnya Pancasila, Bung Karno dengan indahnya berpidato, dan ia mengutip Gandhi: "Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah peri kemanusiaan." Kini kita memang patut bertanya ke mana perginya banyak cita-cita yang bagus. Internasionalisme bahkan tak cuma digantikan oleh pelbagai entakan nasionalisme baru, tapi juga oleh "lokalisme". Gerakan separatis di Inggris dan India, untuk menyebut dua negeri saja, ikut menegangkan dunia. Pertimbangan kepentingan para pemilik pabrik tekstil di Georgia ikut meresahkan buruh di Bangkok. Kepentingan nasional bentrok dengan kepentingan kelompok, dan tak. selamanya yang pertama menang, utuh. Tuhan memang menciptakan pelbagai bangsa untuk saling mengenal. Sayangnya, perkenalan itu tak selamanya ramah. Imagine, there's no country, John Lennon menyanyi. Tapi ia juga ditembak mati. Goenawan Mohamad
Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

5 hari lalu

Perwakilan dari tiga ratus guru besar, akademisi dan masyarakat sipil, Sulistyowari Iriani (kanan) dan Ubedilah Badrun memberikan keterangan pers saat menyampaikan berkas Amicus Curiae terkait kasus Perkara Nomor 1/PHPU.PRES/XXII/2024 dan Perkara Nomor 2/PHPU.PRES/XXII/2024 perihal Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 kepada Mahkamah Konstitusi (MK) di Gedung 2 MK, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024. TEMPO/Subekti
MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

46 hari lalu

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

50 hari lalu

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

51 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.


ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

Pengunjung melihat karya-karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya di Lawangwangi Creative Space bertajuk Sejauh Ini... di Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Sastrawan, budayawan, sekaligus pendiri Majalah Tempo ini memamerkan lebih dari 100 karya seni rupa yang dibuat sejak tahun 2016 sampai 2024. TEMPo/Prima mulia
ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.


Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Ilustrasi Pemilu. ANTARA
Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.


Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

21 November 2023

Sejumlah orang dari berbagai latar belakang mendeklarasikan gerakan masyarakat untuk mengawasi Pemilu 2024. Gerakan yang dinamai JagaPemilu itu diumumkan di Hotel JS Luwansa, Jakarta Pusat pada Selasa, 21 November 2023. TEMPO/Sultan Abdurrahman
Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

Gerakan tersebut diawali dari kepedulian sekelompok orang yang tidak berpartai dan independen terhadap perhelatan Pemilu 2024.


Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

14 November 2023

Gedung Mahkamah Konstitusi. TEMPO/MAGANG/MUHAMMAD FAHRUR ROZI.
Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

Aliansi yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rembang itu menyampaikan keprihatinan mereka ihwal merosotnya Mahkamah Konstitusi atau MK.