Eddi Elison, Pengamat sepak bola nasional
Komunitas persepakbolaan nasional pasti mengenal Ramang, Maulwi Saelan, kakak-adik Ramli dan Ramlan Yatim, Djamiaat Dhalhar, Soetjipto Soentoro, Iswadi Idris, dan Ronny Pattinasarany. Terkenal, populer, dan terpuji, tentu karena prestasi mereka saat memperkuat tim nasional dalam berbagai pertandingan internasional. Tapi ternyata mereka belum pernah menerima penghargaan dari pemerintah.
Hal ini perlu diungkap terkait dengan rencana pemerintah menyiapkan peraturan Menpora tentang persyaratan pemberian penghargaan olahraga kepada olahragawan, pembina olahraga, tenaga keolahragaan, dan organisasi olahraga pada 2015.
Bagi pemain sepak bola, untuk mendapatkan penghargaan, terasa "jauh panggang dari api". Parameter yang dipakai dalam konsep calon permen itu: prestasi di SEA Games, Asian Games, atau Olimpiade via perolehan medali. Berarti cenderung yang tertumpu adalah atlet amatir. Padahal dalam ketiga kejuaraan tersebut atlet profesional dibenarkan berpartisipasi di beberapa cabang olahraga.
Cabang olahraga sepak bola lebih dari dua dasawarsa tidak pernah merebut medali di altar multi-pertandingan internasional. Mereka jelas sulit memperoleh penghargaan. Apalagi, untuk penghargaan itu, calonnya diwajibkan secara individu "melamar" ke pemerintah, dengan berbagai persyaratan. Kian jauh harapan atlet sepak bola untuk mendapatkan penghargaan atau jaminan hari tua, karena dalam konsep Permenpora, dalam bab Ketentuan Umum, tidak tertera definisi tentang prestasi dan profesional.
Bukankah secara individu pemain sepak bola mampu berprestasi? Bukankah mereka menjadi terkenal sebagai pemain hebat karena prestasinya? Ternyata prestasi perorangan ini tidak masuk kriteria untuk dinilai pemerintah, jika tanpa medali. Betapa memprihatinkan Maulwi Saelan dkk dalam Olimpiade di Melbourne 1956 yang menahan tim juara Uni Soviet 0-0. Bagi pemerintah, hal itu bukan prestasi. Padahal sepak bola dunia mengakui kehebatan timnas itu.
Kemenpora tersandung untuk berinisiatif sebagai penentu atlet yang pantas dianugerahi penghargaan dan mendapat jaminan pada hari tua. Sebab, UU Nomor 3/2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, UU Nomor 20/2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, dan Perpres Nomor 44/2014 tentang Pemberian Penghargaan Nasional, berikutnya Permenpora (akan terbit), hanya menentukan Kemenpora sebagai penerima permintaan penghargaan, meneliti, baru menetapkan.
Bagi cabang olahraga beregu, terutama sepak bola, atletnya bagaikan terdiskriminasi, dibanding cabang perorangan. Bayangkan, saat ini PSSI bereuforia dengan sepak bola profesionalnya. Pernahkah PSSI sadar bahwa euforia itu terjadi karena ide besar seorang kolumnis Kadir Yusuf, yang menjadi Ketua Komisi Sepak Bola Profesional PSSI melalui SK Ketum PSSI Ali Sadikin, 18 Desember 1997. Sudahkah Kadir Yusuf dan Ali Sadikin diberi penghargaan? Demikian juga, pernahkah PSSI atau pemerintah berpikir untuk memberi penghargaan kepada pelatih eks Yugoslavia Tony Pogacnic. Padahal dialah yang meletakkan dasar-dasar sepak bola modern Indonesia. Sampai akhir hayatnya, Tony berjuang untuk hal tersebut, sampai melepas kewarganegaraannya menjadi WNI dan meninggal dunia di sini.