Eddi Elison
Pengamat Sepak Bola Nasional
Pemerintah Belanda menetapkan pada September mendatang akan menerbitkan uang baru dengan gambar Hendrik Johannes Cruijff (di Indonesia lebih dikenal sebagai Johan Cruyff), mantan pemain/kapten tim nasional Belanda. Sebagai pemain, Cruyff adalah motor terlaksananya pola total football yang diarsiteki pelatih Rinus Michels dan sempat bikin tercengang persepakbolaan dunia ketika dipraktikkan Michels dalam Piala Dunia 1974 di Muenchen, Jerman Barat. Saat itu Belanda berhasil masuk final, tapi dikalahkan Jerman Barat 1-2.
Penghargaan khusus yang diterima Cruyff tersebut merupakan hal yang biasa dalam dunia sepak bola. Selama kariernya, Cruyff dinilai telah mengangkat martabat negaranya. Hal yang sama dilakukan juga di Inggris. Pelatih/manajer "abadi" klub Manchester United (MU) Alex Ferguson, karena kemampuannya mengangkat nama Inggris melalui MU, mendapatkan gelar kebangsawanan "Sir" oleh Ratu Elizabeth. Hal yang sama diberikan juga kepada eks pemain MU, Bobby Charlton, pemain tim nasional Inggris ketika negara tersebut jadi juara untuk pertama kalinya pada Piala Dunia 1966 di London.
Bagaimana di Indonesia? Penghargaan yang pernah diberikan PSSI (bukan negara) hanya dalam bentuk sertifikat atau uang tunai ala kadarnya kepada beberapa mantan pemain nasional, bahkan juga kepada karyawan yang masa kerjanya melebihi lima tahun ke atas. Peraturan tentang pemberian penghargaan sebenarnya telah dibuat di era Azwar Anas dan sempat dilanjutkan kepengurusan Agum Gemelar. Meskipun peraturan tersebut sampai saat ini belum pernah dicabut, ini tidak pernah lagi dilaksanakan oleh pengurus-pengurus berikutnya, kecuali di era Nurdin Halid.
Melalui SK No. SKEP/22/IV/2007, Nurdin Halid memberi penghargaan dengan kategori Suratin Utama, Suratin Madya, dan Suratin Pratama. Ada 56 pihak yang terdiri atas gubernur, bupati, wali kota, pemain, wasit, pengurus dan tokoh, bahkan perusahaan (termasuk stasiun TV) menerima penghargaan sesuai dengan kategori yang ditetapkan PSSI. Penghargaan tersebut diberikan dalam rangka peringatan ulang tahun PSSI ke-77.
Setelah PSSI melewati periode gonjang-ganjing selama hampir tiga tahun (2012–2015 di era Djohar Arifin dan La Nyalla Mattalitti), selanjutnya PSSI dianugerahi political will "segudang" oleh Istana dan mulai terasa ada pengembalian marwah. Akibatnya, Letnan Jenderal TNI Edy Rahmayadi berhasil merebut tampuk kepemimpinan PSSI.
Berbagai program telah dicanangkan, bahkan mulai diimplementasikan, seperti pembangunan tim nasional dan pembinaan usia dini. Diselingi program-program yang sudah dimatangkan tersebut, sebaiknya pengurus PSSI menyiapkan pogram pemberian penghargaan kategori kepeloporan.
Soeratin Sosrosoegondo, pendiri dan Ketua Umum PSSI pertama, telah diperjuangkan selama enam tahun untuk memperoleh gelar Pahlawan Nasional. Tiga Menteri Pemuda dan Olahraga (Andi Mallarangeng, Roy Suryo, dan Imam Nahrawi) memberi dukungan penuh, tapi masih "nyangkut" di Kementerian Sosial. Untuk tahun ini, seharusnya PSSI memantapkan perjuangan untuk Soeratin.
Sepak bola profesional kini menjalari benak masyarakat luas, tapi sebagian besar pasti tidak mengetahui siapa tokoh yang pertama kali menggerakkannya? Demi kelanggengan sejarah persepakbolaan nasional, PSSI sangat pantas memberi penghargaan khusus kepada Ali Sadikin (Ketua Umum PSSI 1977–1981) dan kolumnis Kadir Yusuf dengan gelar Pelopor Sepak Bola Pro Indonesia karena mereka berdua melahirkan sepak bola pro dengan nama Galatama (Liga Sepak Bola Utama) pada 1979.
Tokoh lainnya yang pantas diberi gelar pelopor adalah Tony Pogacnik (pelatih tim nasional 1954–1964), pelatih pertama yang memodernisasi tata kepelatihan "tradisional" PSSI. Ia juga yang mengantar tim nasional Indonesia sukses besar di Olimpiade Melbourne 1956 dengan bermain 0-0 lawan Uni Soviet, kemudian tampil sebagai juara. Tony kemudian menjadi warga Indonesia dan wafat pada 1978 di Bali.
Tidak pula bisa dilupakan adalah "Bapak Wasit" Indonesia. Nama R. M. Widodo Sosrodiningrat tidak bsa dipisahkan dari kelahiran PSSI. Begitu PSSI terbentuk, Widodo langsung melaksanakan kursus wasit yang dipersiapkan untuk memimpin pertandingan kompetisi I (dimulai 1931). Selama menjadi mahasiswa Sekolah Hukum (RHS) di Jakarta, Widodo telah menjadi wasit yang memimpin pertandingan-pertandingan klub Belanda.
Gelar kepeloporan lain yang layak diberikan adalah untuk enam perserikatan pendiri PSSI, yakni Persatuan Sepak Bola Mataram (sekarang PSIM Yogyakarta), Vortstenlandsche Voetbalbond/PSIS Solo, Voetbalbond Indonesische Jakarta/Persija Jakarta, Bandoengsche Indonesische Voetbalbond/Persib Bandung, Indonesische Voetbalbond Magelang/PPSM Magelang, dan Madioensche Voetbalbond/PSM Madiun.