Editorial Tempo.co
---
PERLAHAN tapi pasti ciri-ciri rezim Orde Baru datang kembali di ujung periode pemerintahan Presiden Joko Widodo. Penyimpangan kehidupan bernegara, serta tindakan represi dan intimidasi menghampiri bagi siapa saja mengkritik kebijakan keliru pemerintah.
Dalam sebulan belakangan ini, pelbagai intimidasi menimpa mereka yang mengkritik putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait batas usia calon presiden dan calon wakil presiden. Putusan MK dalam uji materi Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu memberikan karpet merah bagi pencalonan putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai cawapres mendampingi Prabowo Subianto dalam Pilpres 2024.
Intimidasi oleh orang yang ditengarai aparat keamanan menimpa Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia Melki Sedek Huang. Keluarga dan gurunya di Pontianak, Kalimantan Barat, didatangani sejumlah pria berpakaian tentara yang mengaku Babinsa. Mereka menggali asal-usul dan kebiasaan Melki ketika masih duduk di bangku sekolah.
Sebagai mahasiswa dan warga negara, Melki hanya menyuarakan aspirasinya dengan menolak putusan MK soal batas usia capres-cawapres. Lagipula kritik tersebut wajar mengingat Ketua MK saat itu Anwar Usman, terbukti melakukan pelanggaran kode etik berat dalam proses pemeriksaan uji materi tersebut. Sebagai adik ipar Jokowi, dan paman Gibran, Anwar secara ugal-ugalan mengadili perkara sangat tinggi benturan kepentingannya.
Tak cuma Melki, pemerintah juga melarang kegiatan kesenian sejumlah tokoh. Beberapa seniman yang tak setuju dengan pencalonan Gibran mengaku acaranya dibatalkan secara sepihak. Salah satunya Butet Kertaredjasa, yang diundang sebagai pemapar sekaligus standup comedy di pertunjukan musik Kua Etnika di Ibu Kota Nusantara, Kalimantan Timur. Butet sudah tiba di lokasi acara, namun sengaja dilarang tidak boleh mengisi pertunjukan. Butet pernah secara terbuka meminta Gibran untuk tak maju sebagai cawapres dan menyampaikan kekecewaannya.
Hal serupa menimpa Teater Utan Kayu yang akun media sosial YouTube diblokir setelah menampilkan diskusi membedah buku Ketua Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie yang salah satu babnya keras menolak politik dinasti. Meski tak ada intimidasi secara verbal, pemblokiran akun media sosial tetap saja sebagai pembungkaman suara yang semestinya dijaga oleh negara. Sebagaimana mandat Pasal 28 E UUD 1945 mengamanatkan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Jaminan dan kebebasan berpendapat ini dipertegas dalam UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Kemudian, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang sekarang mengkritik Jokowi dan pencalonan Gibran, juga diintimidasi polisi. Sejumlah kantor cabang termasuk di Solo, didatangi polisi meski tak ada kegiatan apa-apa. Kegiatan calon presiden yang diusung PDIP, Ganjar Pranowo, di Sumatera Utara, juga dihentikan lantaran ada upaya intimidasi terhadap warga yang akan didatangi mantan Gubernur Jawa Tengah itu. Lalu ada pula kegiatan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) di gedung pemerintah yang tadinya akan dihadiri Ganjar, dibatalkan sepihak oleh pengelola gedung.
Campur tangan tentara dan polisi untuk kepentingan politik Jokowi, mirip dengan apa pernah dilakukan Presiden Soeharto. Mereka secara represif menindak siapa saja yang berlawan dengan Presiden. Sejarah mencatat penyalahgunaan aparat keamanan yang berujung pelanggara hak asasi manusia di era Orde Baru sebagai menjadi periode paling buruk dalam perjalanan Indonesia.
Maraknya intimidasi dan pelarangan kegiatan menunjukkan bahwa pemilu ke depan tidak akan netral seperti yang digembar-gemborkan Jokowi. Justru sebaliknya, tangan-tangan aparat ini dipakai oleh Jokowi sendiri untuk membungkam siapa saja yang tidak setuju dengan gagasan dan rencana-rencananya termasuk melanggengkan kekuasaan lewat si anak sulung.
Sudah tak terhitung pembungkaman yang dialami tokoh, seniman, maupun masyarakat biasa. Negara menggunakan kekuasaannya bukan untuk melindungi masyarakat, namun justru sebaliknya.
Langkah tercela penguasa dalam membungkam suara-suara yang sumbang bagi mereka jelas berbahaya dan merusak demokrasi. Legitimasi hasil Pemilu 2024 bisa diragukan karena penggunaan lembaga keamanan untuk memenangkan salah satu calon, dan mengintimidasi mereka yang berseberangan. Pemilu curang akan menghasilkan pemimpin dengan moral dan kecakapan yang rumpang.