Editorial Tempo.co
---
SEBAGAI pejabat publik yang memimpin lembaga penegak hukum, sudah seharusnya Firli Bahuri memberi contoh kepada masyarakat bahwa ia patuh pada hukum. Tapi sikap Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mangkir dari pemeriksaan menunjukkan ia tidak menghormati proses penyidikan yang sedang berjalan. Ketidakhadiran Firli bisa menghambat upaya membongkar kasus korupsi.
Sejatinya Polda Metro Jaya memeriksa Firli pada Jumat, 20 Oktober 2023 sebagai saksi dalam kasus dugaan pemerasan yang dilaporkan mantan Menteri Pertanian Syahrul Limpo. Kasus ini telah naik ke penyidikan. Kasus ini bergulir setelah KPK menetapkan Syahrul Limpo sebagai tersangka pemerasan dan gratifikasi di Kementerian Pertanian. Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian, Kasdi Subagyono serta Direktur Alat dan Mesin Pertanian Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Muhammad Hatta turut menjadi tersangka.
Sebagai pimpinan lembaga anti-korupsi, Firli mesti memprioritaskan kasus ini, bukan malah menghindar dengan berlindung di balik agenda lain. Anehnya, alasan itu tidak keluar dari mulut Firli, melainkan dari Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron melalui surat yang dikirim kepada Polda Metro Jaya. Padahal panggilan pemeriksaan itu datang atas nama individu dan menjadi tanggung jawab pribadi.
Alasan Firli perlu mempelajari materi pemeriksaan tidak masuk akal. Tidak ada yang perlu dipersiapkan karena penyidik sudah memiliki alat bukti dan barang bukti. Firli tinggal menjawab sesuai kapasitasnya mengenai apa yang dia lihat, dengar, dan alami. Ketidakhadiran Firli bukti bahwa ia tidak punya nyali menghadapi kasus ini.
Bila merasa tak bersalah, Firli seharusnya datang menyampaikan fakta sejujurnya. Tak ada gunanya memutarbalikkan fakta dengan mencari simpati publik bahwa seolah-olah kasus ini merupakan serangan balik para koruptor terhadap KPK.
Dengan melihat sepak terjang Firli selama ini, publik paham ia berusaha mengulur-ngulur waktu. Namun masyarakat tidak akan mudah terkelabui oleh siasat culas ini. Apalagi pernyataan ‘serangan balik kepada KPK’ itu keluar dari pejabat publik yang berkali-kali tersandung masalah.
Firli sudah menabrak etik sebelum menjadi ketua KPK. Saat menjabat Deputi Penindakan KPK, ia pernah bertemu dengan Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Tuan Guru Bajang M Zainul Majdi pada 2018. Padahal KPK sedang menyelidiki dugaan korupsi kepemilikan saham PT Newmont yang melibatkan Pemerintah Provinsi NTB.
Dewan Pengawas KPK pernah memvonis Firli melanggar kode etik lantaran mengunakan helikopter mewah saat kunjungan ke Baturaja, Sumatera Selatan, pada 2020. Namun Dewan Pengawas hanya menjatuhkan sanksi ringan berupa teguran tertulis. Pada November 2022, Firli menemui Gubernur Lukas Enembe, tersangka kasus dugaan suap Provinsi Papua. Terakhir, Firli diduga membocorkan penyelidikan kasus dugaan korupsi izin ekspor hasil pertambangan di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Citra Firli sehitam jelaga. Bukannya menunjukkan prestasi, rentetan kontroversi terus terjadi saat ia memimpin KPK. Di era Firli, upaya pemberantasan korupsi bukan untuk penegakan hukum, melainkan dideterminasi untuk kepentingan politik semata. Para koruptor terlibat dalam permainan ini. Ambisi Firli memaksakan kasus Formula-E naik ke tahap penyidikan tanpa alat bukti kuat merupakan salah satu contoh bagaimana KPK telah menjadi alat politik penguasa.
Firli adalah ironi dari upaya pemberantasan korupsi. Ia meminta kepada orang-orang yang dipanggil KPK bersikap kooperatif. Namun Firli bersikap sebaliknya saat akan diperiksa Polda Metro Jaya.
Firli alpa hidup ibarat roda berputar: kadang memeriksa, kadang diperiksa. Absennya Firli dari panggilan Polda mengindikasikan bahwa ia tidak berani menghadapi kasus dugaan pemerasan yang tengah melilitnya.