Editorial Tempo.co
----------------------------
PERUNDUNGAN di kalangan siswa sudah sangat memprihatinkan dan juga mencemaskan. Ibarat fenomena gunung es, jumlah kasus yang sesungguhnya terjadi bisa jadi jauh lebih banyak dari yang dilaporkan atau terungkap ke publik, salah salah satunya melalui media sosial.
Kasus terbaru adalah perundungan yang dialami seorang siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Cimanggu, Cilacap, Jawa Tengah. Tindakan perundungan atau bullying tersebut direkam dalam video berdurasi 4 menit 14 detik, yang kemudian beredar di media sosial pada akhir September 2023 lalu. Korban beberapa kali mendapat pukulan dan tendangan dari dua rekan sekolahnya, masiing-masing berusia 14 dan 15 tahun.
Polisi sudah menangkap para pelaku dan menetapkan keduanya sebagai anak yang berkonflik dengan hukum. Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, bagi anak-anak yang diduga melakukan tindak pidana maka dikenakan status berkonflik dengan hukum, bukan istilah tersangka. Keduanya merupakan pimpinan geng siswa sekolah tersebut. Perundungan itu terjadi karena korban yang berusia 14 tahun disebut-sebut bergabung dengan geng sekolah lain. Hal inilah yang memicu pelaku melakukan kekerasan menendang, memukul dan menghajar korban habis-habisan dari kepala sampai perut.
Dalam kasus perundungan anak, diperlukan strategi menyeluruh agar masalah serupa tak muncul kembali, bukan hanya diselesaikan secara hukum. Langkah pencegahan yang diatur Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 tahun 2015 tentang Pencegahan Perundungan di Lingkungan Sekolah hendaknya jadi pedoman.
Aturan itu memberikan panduan secara rinci upaya menangkal dan menanggulangi kasus perundungan terhadap peserta didik yang bertumpu pada peran pihak sekolah, orang tua, dan pemerintah. Namun, aturan ini memiliki keterbatasan lantaran hanya mengatur pengawasan untuk kegiatan pembelajaran di dalam dan di luar lingkungan sekolah.
Efektifitas aturan ini nampaknya jauh panggang dari api. Pemerintah seolah merasa cukup hanya dengan menggelar sosialisasi tanpa memastikan penerapan aturan itu di tingkat bawah. Akibatnya bisa ditebak, kasus perundungan kian tumbuh subur. Pelakunya tak hanya siswa, melainkan juga kalangan tenaga pendidik.
Rapor Pendidikan 2022-2023 yang dibuat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi mengungkap 24,4 persen pelajar di Indonesia jadi korban perundungan baik fisik, verbal, relasional, maupun doxing. Menteri Nadiem menyebut itu sebagai satu dari tiga dosa besar dunia pendidikan selain intoleransi dan kekerasan seksual.
Hingga semester pertama 2023, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat jumlah korban perundungan yang membuat laporan ke lembaganya mencapai 43 orang. Umumnya terjadi di sekolah tingkat dasar dan menengah. Dua di antara pelakunya adalah orang tua dan pimpinan sekolah. Penyelesaian sebagian di antaranya berujung ke pengadilan. KPAI juga menyebutkan satu dari tiga siswa berpotensi mengalami perundungan
Penanganan terhadap siswa pelaku perundungan tak boleh asal-asalan. Kalaupun harus menjalani proses hukum, mereka juga berhak diperlakukan secara bijak. Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memberikan rambu yang jelas bahwa mereka tetap berhak atas layanan konseling dan melanjutkan pendidikan.
Masyarakat hendaknya juga menangkap pesan yang sama untuk turut serta mengatasi masalah perundungan ini. Sebab, praktik perundungan tak hanya terjadi di luar sekolah selepas kegiatan belajar. Perundungan seperti kasus Cilacap hanyalah satu contoh kecil.
Pihak sekolah, orang tua, dan pemerintah harus sama-sama mencari dan mencabut akar masalah yang melahirkan praktik kekerasan di lingkungan pendidikan. Perlu edukasi secara intens bahwa kultur geng yang ditengarai sebagai penyebab kekerasan dalam kasus di Cilacap bukanlah simbol kegagahan, melainkan kejahatan serius yang bisa berujung hukuman pidana.
Pada 2017, Anita Dewi Astuti dan Yuniasih Yuniasih dari IKIP PGRI Wates, Yogyakarta, meneliti tentang fenomena geng pada usia remaja SMP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecenderungan berkelompok atau geng muncul karena adanya rasa kurang kasih sayang dari orang tua, orang tua yang terlalu sibuk, dan orang tua yang selalu memanjakan. Adapun faktor lain yang dapat mempengaruhi timbulnya fenomena geng ini adalah faktor lingkungan keluarga, faktor lingkungan sekolah dan dari diri sendiri.
Edukasi sangat penting dilakukan lantaran dalam kasus Cilacap pelaku merupakan pimpinan geng dengan 30 anggota. Para siswa itu bagaimana pun harus dipahami sebagai kelompok orang yang belum memiliki kematangan pola pikir. Karena menurut hasil penelitian Nurul Wulandari dari Universitas Negeri Yogyakarta (2018) soal geng sekolah, pelaku perundungan yang masih remaja ini pada akhirnya tidak mampu berpikir jangka panjang tentang apa efek dan akibat dari perbuatan mereka.