Editorial Tempo.co
---
MULAI sepinya Pasar Tanah Abang, Jakarta karena kurang pembeli menjadi momentum pemerintah untuk mengevaluasi pelbagai kebijakan terkait dengan bisnis ritel dengan konsep jadul. Bukan semata hanya menyalahkan keberadaan platform digital seperti TikTok Shop, yang dari waktu-waktu akan terus berkembang.
Pasar Tanah Abang mengalami penurunan penjualan yang drastis sejak setahun terakhir. Menyusutnya jumlah pengunjung juga terjadi di pusat perbelanjaan lain di Thamrin City, salah satu pasar grosir terbesar di Jakarta. Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki secara lantang menyebut ambruknya transaksi di sejumlah pasar itu karena kehadiran TikTop Shop, sebuah aplikasi jejaring sosial dan platform video milik ByteDance asal Cina yang dipakai untuk memasarkan produk.
Teten menyebut konsumen belanja online itu dinavigasi serta dipengaruhi perbincangan di media sosial. TikTok berpotensi menjalankan praktik monopoli, karena menjadi platform mereka sebagai tempat transaksi dan sedang menjajaki menyediakan sistem pembayaran.
Argumentasi Teten ada benarnya. Sebab, dalam kenyataan pedagang pasar tradisional serupa Pasar Tanah Abang dan Thamrin City, kalah bersaing dengan platform jual-beli online. Kendati tak sedikit juga, para pemilik toko offline itu merintis toko online, mereka sudah jauh tertinggal. Pedagang online lain yang tumbuh bak jamur di musim hujan ini berani menawarkan produk sejenis dengan harga jauh lebih murah.
Pemerintah memang harus membuat regulasi soal transaksi produk ritel yang dipasarkan masif secara online yang sejak lama tak kunjung tuntas. Banyak potensi penyimpangan, misal barang-barang itu hasil penyelundupan, tanpa pajak impor atau barang palsu yang bisa merugikan masyarakat banyak.
Hampir pasti jika produk-produk impor itu masuk secara ilegal akan mematikan produk yang sejenis yang diproduksi para pengusaha UMKM. Selain jauh lebih murah, karena tanpa bea masuk, sering kualitas jauh lebih baik.
Dengan alasan itu, perlindungan terhadap UMKM bisa dilakukan lewat perbaikan aturan. Poin-poin perlindungan segera masuk karena pemerintah berencana merevisi regulasi perdagangan online melalui revisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, Dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
Namun jika hanya menuding keberadaan platform digital, tanpa melakukan perbaikan di sana-sini hanya akan mubazir. Perdagangan yang begitu terbuka, dan platform digital yang terus berkembang tidak akan sanggup dibendung dengan regulasi semata.
Tak kalah penting adalah melakukan evaluasi keberadaan pusat perbelanjaan tradisional yang sudah berusia puluhan tahun. Mengkaji ulang konsep, termasuk keberanian melakukan revitalisasi menjadi kunci agar keberadaan mereka menjadi daya tarik para pembeli. Tanpa itu, hanya akan sia-sia, dan hanya tinggal menunggu waktu mereka gulung tikar.
Salah satu cara, misalnya mendekatkan jalur transportasi massal seperti Lintas Rel Terpadu (LRT), Kereta Rel Listrik (KRL) ke pusat perbelanjaan, baik modern maupun tradisional. Stasiun pemberhentian yang terintegrasi dengan pusat perbelanjaan dapat menjaga eksistensi toko di kawasan tersebut.
Kita bisa melihat bagaimana stasiun kereta api (Mass Rapid Transit/MRT) di Singapura yang mayoritas terintegrasi dengan pusat-pusat perbelanjaan besar maupun kecil. Begitu pula stasiun kereta api di Tokyo, Jepang, yang juga terhubung ke banyak pusat perbelanjaan. Solusi ini lebih masuk akal dibandingkan memindahkan pusat perbelanjaan ke dekat jalur transportasi massal.