Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Ujian Sejarah Bernama Munir

image-profil

Konsultan Political Marketing, Peminat Buku

image-gnews
Aktivis Hak Asasi Manusia, Suciwati, istri dari Munir Said Thalib memberikan orasi saat Peringatan 19 Tahun Pembunuhan Munir di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Kamis 7 September 2023.
Kasus pembunuhan terhadap Munir adalah kasus yang sangat penting untuk terus diperingati dan diperjuangkan keadilannya hingga tuntas, sampai dalangnya diproses hukum. TEMPO/Subekti.
Aktivis Hak Asasi Manusia, Suciwati, istri dari Munir Said Thalib memberikan orasi saat Peringatan 19 Tahun Pembunuhan Munir di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Kamis 7 September 2023. Kasus pembunuhan terhadap Munir adalah kasus yang sangat penting untuk terus diperingati dan diperjuangkan keadilannya hingga tuntas, sampai dalangnya diproses hukum. TEMPO/Subekti.
Iklan

Suciwati, Mencintai Munir. (Batu, Jawa Timur: Yayasan Rumah Museum Munir, 2022), xii + 372 halaman.


Ujian untuk Sejarah Kita. Begitulah dulu Presiden SBY menamai pengungkapan dan penuntasan kasus pembunuhan Munir.

Dan ternyata, kita tak lulus ujian. Empat periode kepresidenan, kekuasaan dua orang Presiden, dan rentang waktu hampir dua dekade, ternyata tak cukup untuk menuntaskan kasus itu. Dua termin kekuasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah lewat. Kekuasaan Presiden Jokowi — dua termin juga — sudah akan kedaluwarsa sebentar lagi. Kasus pembunuhan Munir tetap terkubur dalam gelap; menjadi misteri yang tak kunjung tuntas diungkap.

Lewat sepertiga terakhir buku ini, Suciwati menunjukkan bahwa baik Presiden SBY dan maupun Presiden Jokowi tak mampu memenuhi janjinya. Keduanya gagal menuntaskan penanganan kasus pembunuhan Munir. Keduanya gagal menunaikan kewajiban asasinya. Sistem dan aparatur hukum yang bermasalah membuat otak dan pelaku pembunuhan Munir tak tersentuh. Mereka masih— meminjam istilah Suciwati — “berkeliaran bebas” hingga sekarang.

Mengapa Munir dibunuh? Sebegitu berbahaya kah dia? Membaca buku ini saya makin yakin dengan jawabannya.

Munir dibunuh karena demokrasi—sebagai “Zaman Besar”—tetap saja menyediakan pilihan bagi siapapun untuk menjadi “Orang Kerdil”. Munir dibunuh karena ada Orang(-orang) Kerdil yang tak siap melihat kebesarannya. Munir memang berhasil menjadi “Orang Besar” di zaman sempit (Orde Baru) maupun di zaman leluasa (Reformasi).

* * *

Kebesaran Munir terletak pada kualitasnya yang langka. Ia adalah pejuang politik yang lengkap. Ia berjuang dalam semua arena perjuangan politik yang tersedia: membangun kesadaran, membentuk kekuatan dan merebut kesempatan. Suciwati menceritakannya di buku ini secara nyaris lengkap.

Kiprah awal Munir bermula di Malang, Surabaya dan sekitarnya. Dari titik ini pula ia bersua Suciwati. Keduanya terlibat dalam gerakan penyadaran buruh: Membagikan pengetahuan tentang hak-hak buruh (dan kewajiban para pemilik pabrik), menyebarkan empati tentang nasib buruk sesama buruh, dan menggerakkan mereka dalam sikap-sikap pro-aktif dengan segala resikonya (dari pemilik dan antek perusahaan maupun aparat kekuasaan).

Di dalam dunia politik, itulah kesadaran: berpengetahuan, berempati dan mengaktivasi diri. Bersama segelintir aktivis lain, Munir membangun kesadaran.  Dan gerakan pembangunan kesadaran ini digeluti Munir hingga akhir hayat.

Di ujung Orde Baru hingga awal Reformasi, Munir pun menjadi salah satu bintang paling terang di langit diskusi publik Jakarta (dan Indonesia). Saya bersyukur mendapat banyak pembelajaran dari interaksi serba terbatas dengannya dalam periode ini.

Sebagai penyadar Munir punya keunikan. Ia selalu bicara tanpa tedeng aling-aling dan sangat tajam. Ia bukan penggemar eufimisme. Ia selalu mengarahkan anak panah kritiknya langsung ke pokok sasaran.

Selain itu, pada Munir tak ada sekat antara hati, pikiran dan mulut. Ia berpikir dan berbicara sejalan dengan hatinya. Karena itulah antara lain Suciwati jatuh hati—kisah awal mula pertautan hati Munir dan Suciwati di bagian-bagian awal buku ini adalah salah satu favorit saya.

Munir tak berhenti menjadi pembangun kesadaran. Ia juga pembentuk kekuatan. Menggalang buruh (dan kekuatan-kekuatan rakyat lainnya) adalah salah satu aktivitas utamanya sejak di kota Malang hingga meluas malang melintang.

Munir—tentu tak sendirian—mengajak setiap orang untuk berdaya, memperkuat kelompok, mengoptimalkan organisasi dan merawat jaringan. Dalam perjuangan politik, inilah inti pembentukan kekuatan.

Saat Reformasi bergulir dan partai bertumbuhan bak jamur di musim hujan, Munir tak tertarik berpartai. Bukan karena ia anti-partai. Munir memilih membersamai korban-korban pelanggaran hak asasi manusia tanpa sikap politik yang partisan. Justru dengan pilihannya ini, api kekuatan Munir jadi tak mudah dipadamkan.

Lalu, tak berhenti di situ, Munir juga memasuki wilayah “perebutan kesempatan”. Tapi, jalan yang dipilihnya bukan dengan berkuasa dan mengendalikan distribusi kesempatan. Ia memilih jalan satunya: Tak pernah berhenti mempengaruhi kebijakan dan kekuasaan untuk memperjuangan distribusi kesempatan yang lebih adil.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam konteks itu, munir bekerja dari hulu hingga ke hilir. Sepanjang ingatan saya, di hulu, Munir termasuk salah seorang yang sangat aktif memperjuangkan perubahan Konstitusi. Fokusnya adalah mempertegas jaminan konstitusi bagi penegakan hak-hak asasi manusia dan memperkuat bangunan sistem demokrasi berbasis kedaulatan rakyat.

Saya beberapa kali berada dalam satu forum dengan Munir dalam gerakan menuju konstitusi baru di awal Reformasi—terutama yang digalang oleh Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA). Suciwati mengakui bahwa sisi keterlibatan Munir dalam isu ini terlewatkan dalam penulisan bukunya dan ia berniat menambahkannya dalam edisi baru.

Di hilir, Munir terlibat dalam berbagai organisasi dan jaringan, antara lain KontraS dan Imparsial, sebagai bagian dari perjuangannya untuk menciptakan distribusi kesempatan yang berkeadilan bagi semua. Di dalamnya, Munir aktif melakukan advokasi dan pendampingan para korban pelanggaran hak asasi manusia serta pengawasan dan penyelidikan pelanggaran hak asasi manusia. Bersama sejumlah aktivis lain, Munir mengorganisir para pemangku kepentingan untuk memastikan bahwa kekuasaan dan kebijakan publik tak keluar dari koridor penegakan hak-hak asasi manusia.

Tak banyak pejuang politik selengkap Munir. Yang lebih banyak kita temukan adalah mereka yang fokus pada satu atau dua arena saja. Mereka yang bekerja di arena pembangunan kesadaran, tak melibatkan diri dalam arena pembentukan kekuatan. Mereka yang berjuang di arena perebutan kesempatan— dengan menjadi pejabat publik, misalnya—abai pada pentingnya gerakan penyadaran.

Munir berbeda. Sepanjang aktivismenya, kita menemukan Munir hilir mudik di tiga arena itu—arena pembangunan kesadaran, pembentukan kekuatan, dan perebutan kesempatan. 

Beruntunglah kita karena Suciwati punya catatan yang lengkap tentang itu. Bukan hanya detail, catatan-catatan Suciwati itu dibuat dari jarak yang amat sangat dekat dengan Munir—bahkan di banyak bagian Munir dan Suciwati sebetulnya menjadi subjek cerita bersama-sama.

* * *

Munir berkiprah di tengah zaman yang bergejolak, di era pra transisi di penghujung Orde Baru hingga di awal Reformasi. Sebuah “zaman besar”. Zaman Kesempatan. Di dalamnya, Munir berhasil membangun kapasitas dirinya sebagai Orang Besar.

Tetapi, sayangnya, sebagaimana pernah diingatkan Mohammad Hatta suatu ketika, “Zaman Besar bisa melahirkan Orang-orang Kerdil”. Langkah Munir dihentikan oleh Orang-orang Kerdil ini. Otak dan pelaku pembunuhan Munir—siapapun mereka—adalah Orang Kerdil di Zaman Besar.

Di buku ini, Suciwati sama sekali tak menunjukkan tendensi untuk mematut-matut Munir sebagai Orang Besar. Justru inilah kekuatan buku ini. Suciwati menulis Hikayat Munir dan dirinya dengan dingin dan lewat cara yang sungguh bersahaja.

Di mana-mana yang kita temukan adalah hikayat otentisitas Munir. Dan otentisitas ini kadang melampaui bayangan kita. Misalnya, Suciwati tak diizinkan Munir menelpon Ibunya dari kantor. Alih-alih, Suciwati diminta menelpon saat mereka sudah di rumah saja. Sebegitu ketatnya Munir tak mau menggunakan fasilitas kantor untuk keperluan pribadinya.

Yang juga menarik bagi saya, dengan cara bersahaja, buku ini memotret Munir dan Suciwati sebagai sepasang kuda tak berpusar. Keduanya tak gampang lelah. Tak mau menyerah.

Bagi keduanya, dalam perkara memperjuangkan kebenaran, di atas menang dan kalah ada satu nilai yang lebih berharga: Tak pernah dan tak boleh menyerah.

Berbasis cara berpikir itu, kekalahan pada suatu waktu sejatinya adalah kemenangan yang tertunda. Lalu kemenangan pada akhirnya akan menjadi milik siapapun yang tak pernah menyerah. Semoga inilah ujung kasus Munir sehingga pada akhirnya kita menjadi bangsa yang lulus ujian sejarah.

(17/08/2023)

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

4 hari lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

25 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.


26 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

33 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

37 hari lalu

UKU dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menggelar konferensi pers di The Acre, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2024. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.


DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

52 hari lalu

Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kembali membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2024 di Ruang Rapat Paripurna, DPRD DKI Jakarta, Senin, 30 Oktober 2023. Tempo/Mutia Yuantisya
DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.


Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

53 hari lalu

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memberikan pidato politiknya secara virtual pada acara HUT ke-12 Partai Nasdem di NasDem Tower, Jakarta, Sabtu 11 November 2023. HUT tersebut mengambil tema
Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.


H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin, 5 Januari 2024. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan persediaan bahan pokok, terutama beras, cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan 1445 Hijriah. TEMPO/Tony Hartawan
H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.