Sebuah peristiwa politik yang menggabungkan 2 entitas Politik Islam, yakni Islam Moderat dan Islam Tradisional terpampang ketika deklarasi Balal Calon Presiden Anies Baswesan dengan Bakal Calon Wakil Presiden Muhaimin Iskandar (Cak Imin).
Peristiwa politik yang menjadi sejarah perpolitikan nasional, karena selama ini koalisi yang menggambarkan Ke-Indonesiaan selalu antara kelompok nasionalis dengan kelompok agamis, belum pernah terjadi persatuan 2 kelompok dalam jalur agamis secara langsung.
Mungkin Anies Baswedan bisa disebut juga berasal dari sisi nasionalis, namun sejak Pikada Gubernur DKI Jakarta 2017 lalu, Anies labih dikenal sebagai bagian dari kelompok Islam Moderat.
Penyatuan 2 entitas agamis yang selama ini dianggap tidak akan pernah terjadi, ternyata pada Pilpres 2024 mendatang dapat kita saksikan.Ini menjadi euforia tak terkira dari kedua kelompok itu, semua menyambut dengan harapan yang besar untuk kemenangan. Bahkan Ketum Nasdem Surya Paloh sampai mengeluarkan pernyataan 'botol ketemu tutup', tentu saja maksudnya botol itu adalah Anies Baswedan sedangkan tutup adalah Muhaimin Iskandar yang melengkapi kebutuhan pencapresan Anies Baswedan oleh Nasdem terutama dalam ceruk suara Kalangan Nahdlatul Ulama (NU) yang melekat pada diri Cak Imin.
Namun berbeda dengan Surya Paloh, saya malah melihat terbalik yaitu Cak Imin adalah botol dan Anies lah menjadi tutup. Hal ini tentu saja berdasarkan ceruk suara tadi, sisi Islam Tradisional yang selalu identik dengan NU merupakan ceruk suara yang besar yang menurut beberapa lembaga survei mencapai 90-120 juta atau hampir mendekati 50 persen suara pemilih pemilu di Indonesia. Jika Cak Imin merepresentasikan suara dari situ, tentu dia tidak bisa disebut sebagai tutup botol tapi dia adalah botol itu sendiri.
Baca Juga:
Jika kekuatan itu disatukan dengan kekuatan islam moderat yang menjadi representasi Anies Baswedan, maka lengkaplah dan sempurnalah kedua panyatuan itu, ibarat botol ketemu tutup.
Sekali lagi, Cak Imin adalah botol dan Anies adalah tutupnya.
Botol yang sudah ketemu tutup ini, tentu tidak bisa dianggap enteng oleh pesaing mereka. Terutama dari kalangan capres nasionalis yang direpresentasikan oleh Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto. Bergabungnya PKB ke Koalisi Perubahan adalah sebuah 'plot twist' yang membuat terpana dan gelagapan. Karena jika menilik kekuatan dari parpol pendukung, Ganjar Prabowo tinggal berharap dari pendukung PPP untuk meraih simpati dari pemilih NU. PPP sendiri sedang tidak baik-baik saja, dalam berbagai survei partai yang didirikan oleh NU itu bahkan belum melewati ambang batas parlemen 4 persen.
Situasi yang sama juga dirasakan kubu Prabowo Subianto, yang salah satu parpol pendukungnya adalah PAN yang memiliki ceruk suara dari sisi Islam Moderat. Namun menurut berbagai lembaga survei, pemilih PAN sebagian besar lebih condong ke Anies Baswedan. Sulit bagi PAN untuk mempertahankan pemilihnya jika tidak ikut dalam gerbong Anies Baswedan. Sehingga diyakini PKS akan menerima dampak luar biasa besar, jika tetap berada dalam gerbong Koalisi Perubahan.
Arah Dukungan Jokowi
Dalam pertarungan Pilpres 2024 ada satu nama yang diyakini memiliki pengaruh sangat besar, dalam mengarahkan dan membelokkan suara pemilih, yakni Presiden Joko Widodo. Dengan tingkat kesukaan kepadanya yang berkisar 70 sampai 80 persen, arah politik Jokowi tentu menjadi pertimbangan bagi para pemilih.
Sejak setahun belakangan, langkah dan tanda-tanda arah dukungan Jokowi selalu menjadi perhatian dan menjadi polemik yang berkepanjangan, bahkan selalu dikaitkan dengan ‘cawe-cawe’ politik. Banyak suara-suara yang selalu mengaitkan Jokowi dalam sebuah pergerakan politik nasional, parpol maupun tokoh-tokoh. Bahkan tidak sedikit yang menyebut beberapa parpol tersandera, sehingga harus mengikuti kemauan Jokowi.
Tapi semua itu termentahkan dengan hadirnya pasangan Anies Baswedan dengan Muhaimin Iskandar.
Anies yang selama ini dinarasikan sebagai antitesis Jokowi dan selalu di bawah bayang-bayang penjegalan, sampai saat ini masih berjalan mulus mendekati titik start pencapresan (pendaftaran capres/cawapres).
Begitu juga dengan Cak Imin, yang pergerakannya selalu diidentikkan sebagai 'suruhan istana' karena tersandera beberapa kasus, yang paling menuai perhatian adalah kasus kardus duren 2011 lalu, ternyata dengan santainya memutuskan untuk berpasangan dengan Anies Baswedan. Dan bahkan jika mencermati lagi cerita-cerita, menit ke menit dari awal terbentuk sampai deklarasi pasangan tersebut, tidak ada cerita baik dari Anies maupun Cak Imin yang menyatakan meminta izin ke Jokowi. Sebagai parpol koalisi pemerintahan, PKB tidak merasa perlu untuk meminta persetujuan Jokowi untuk berkoalisi dengan Nasdem atau memasangkan Cak Imin dengan Anies.
Presiden Jokowi sampai saat ini juga tidak pernah menyatakan secara langsung akan mengusung siapa dari koalisi apa, itu membuktikan bahwa tidak ada cawe-cawe Jokowi pada pilpres mendatang. Hal ini jelas semakin membuka peluang kemenangan bagi pasangan Anies-Muhaimin, karena dengan tidak adanya dorongan kepada para calon pesaing maka kekuatan para pesaing tersebut tentu akan memudar.
Hal ini bisa kita cermati dari fenomena hasil survei, ketika tiba-tiba suara Prabowo Subianto langsung melejit menjadi yang tertinggi di banyak survei, itu adalah dampak dari tanda-tanda arah dukungan Jokowi yang mengarah pada dirinya dalam berbagai kesempatan. Hal itu juga diakui sendiri oleh Prabowo maupun Gerindra. Sementara, sebelum itu semua angka-angka di survei selalu dikuasai oleh Ganjar Pranowo yang disebut-sebut sebagai penerus Jokowi yang paling identik. Sama-sama dari PDIP, sama-sama Jawa Tengah, sama-sama bergaya politik 'ndeso'.
Dengan tidak adanya dorongan yang jelas dari Jokowi, maka kemungkinan untuk para pemilihnya berada dalam gerbong Anies-Muhaimin juga sangat mungkin terjadi. Terutama jika Cak Imin bisa memainkan itu semaksimal mungkin, sebagai salah satu orang dekat dan pendukung utama Jokowi sejak Pilpres 2014 lalu.
Jika PKPU tentang waktu pendaftaran capres/cawapres yang dipercepat jadi disahkan oleh KPU, maka itu juga akan menguntungkan pasangan Anies-Muhaimin. Karena mereka bisa lebih duluan start, lebih memiliki waktu untuk konsolidasi internal baik di parpol maupun relawan dan sudah mematangkan persiapan sebelum penetapan.
Bandingkan dengan Ganjar Pranowo dan Prabowo, sampai saat ini mereka belum menentukan cawapresnya masing-masing. Padahal penentuan cawapres itu sangat berpengaruh terhadap kelangsungan koalisi yang telah dibangun, karena bisa saja jika dalam pemilihan cawapres tidak sesuai keinginan, maka akan ada parpol yang berpindah dukungan. Selain itu, kemungkinan terjadinya poros baru juga masih terbuka. Parpol-parpol yang tidak mendapatkan keinginan mereka dalam penentuan cawapres, ada kemungkinan akan bergabung dan membuat poros baru.