Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi seharusnya tidak cawe-cawe urusan internal kampus. Apalagi sampai berujung pemecatan tanpa alasan yang jelas, seperti yang dialami oleh dua orang Guru Besar di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo.
Pada 26 Juni lalu Menteri Pendidikan Nadiem Makarim mengeluarkan keputusan yang mencabut gelar guru besar dari Hasan Fauzi, yang juga Wakil Ketua Majelis Amanat (WMA) UNS dan Tri Atmojo Kusmayadi, Sekretaris. Keduanya kini menempati posisi pelaksana teknis, pangkat terendah dalam kepegawaian di kampus. Pencopotan tersebut terkait dengan kisruh pemilihan rektor UNS oleh WMA.
WMA UNS menggelar sidang pleno pemilihan rektor untuk periode 2023-2028 pada November 2022 lalu. Hasilnya, Sajidan terpilih. Dia meraih 12 suara, mengalahkan Hartono yang dapat 11 suara, dan I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani dengan 2 suara. Hartono, pesaing berat Sajidan, disebut-sebut sebagai jagoan pemerintah pusat.
Tapi kemudian muncul banyak protes yang menuding Hasan dan Tri Atmojo telah berlaku curang memenangkan Sajidan. Buntutnya, Nadiem membatalkan penetapan Sajidan sebagai rektor definitif dan membekukan WMA. Untuk mengisi posisi rektor yang terancam kosong, Nadiem memperpanjang masa jabatan rektor lama.
Dalam surat keputusan pemberian sanksi, kedua guru besar disebut telah menyalahgunakan wewenang saat menyelenggarakan pemilihan rektor. Tapi sampai sekarang tak jelas betul apa bentuk penyalagunaan wewenang yang dituduhkan kepada mereka.
Hasan mengklaim pemilihan rektor sudah berjalan sesuai aturan. Dia malah bertanya-tanya, apakah mereka dijatuhi sanksi karena berkirim surat kepada Nadiem, mempersoalkan pembatalan pengukuhan rektor UNS pilihan WMA? Jika hanya lantaran surat protes, keputusan Nadien menjatuhkan hukuman yang sedemikian keji, jelas mengada-ada. Apalagi pemilihan rektor memang masih dalam ranah kewenangan Hasan dan Tri Atmonjo sebagai MWA.
Martabat perguruan tinggi memang perlu dijaga. Tapi bukan dengan tindakan semena-mena, dan harus konsisten. Yang sering kita saksikan Kementerian Pendidikan malah bungkam dalam kasus-kasus yang jauh lebih penting. Dugaan plagiarisme tesis doktoral Rektor Universitas Negeri Semarang Fathur Rohman di Universitas Gadjah Mada, misalnya, berujung tanpa sanksi. Kementerian Pendidikan seperti sengaja menutup mata.
Yang terbaru, rencana Universitas Negeri Makassar memberikan gelar guru besar untuk politikus Golkar Nurdin Halid pada Senin, 17 Juli 2023 mendatang. Belum terdengar ada langkah displiner dari Kementerian. Padahal, jelas hal tersebut merusak martabat kampus dan melanggar aturan karena gelar guru besar hanya boleh diberikan pada dosen, sedangkan Nurdin bukan.
Pemilihan rektor sebaiknya menjadi bagian dari otonomi dan demokrasi kampus. Kalau ada masalah pemerintah mestinya sebatas membatu mencarikan penyelesaian terbaik, bukan malah ikut campur dan sewenang-wenang memecat guru besar.