Sudah enam tahun diberlakukan, kebijakan zonasi penerimaan peserta didik baru (PPDB) masih bermasalah. Pemerintah terkesan tak belajar dari pengalaman, karena persoalan yang muncul mirip dengan tahun-tahun sebelumnya. Mustinya masalah-masalah tersebut sudah bisa dideteksi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi serta pemerintah daerah dari awal sehingga tidak lagi berulang.
Kasus terbaru adalah temuan Pemerintah Kota Bogor ihwal ratusan data kependudukan palsu calon siswa sekolah menengah pertama dengan sistem zonasi. Pemerintah daerah terkesan baru tahu ada praktik culas ini dalam sistem PPDB zonasi tersebut. Padahal, penyimpangan ini sudah terjadi sejak sistem tersebut diterapkan pada 2017. Data palsu ini juga menunjukkan betapa bobroknya mental aparatur daerah dan orang tua, yang menghalalkan segala cara agar anaknya bisa masuk sekolah tujuan.
Salah satu modus yang dipakai para orang tua supaya anaknya diterima di sekolah negeri jalur zonasi favorit dengan mencantumkan alamat yang kurang jelas atau menitipkan identitas anak di kartu keluarga orang lain. Sama dengan pelaksanaan tahun-tahun sebelumnya, selain temuan data kependudukan palsu, sistem zonasi tahun ini juga tak lepas dari persoalan seperti terbatasnya kuota, jarak rumah ke sekolah, hingga menyebabkan sekolah kekurangan siswa.
Sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru yang merupakan kebijakan Kementerian Pendidikan ini bertujuan untuk pemerataan kualitas pendidikan. Murid berprestasi diharapkan tidak lagi menumpuk di sekolah favorit. Ide zonasi patut diteruskan demi pemerataan dan keadilan. Namun, niat baik saja tak selalu cukup supaya kebijakan yang bagus tidak kacau implementasinya di lapangan. Temuan kasus di Bogor hanya contoh kecil. Di kota-kota lain juga terjadi hal yang hampir serupa.
Sejak tahun-tahun sebelumnya bahkan sudah sering muncul kasus serupa bahwa zonasi ini diakali dengan berbagai modus. Apalagi dalam satu kasus ada dua kartu keluarga yang memuat 20 nama anak bersekolah di tempat yang sama, seperti ditemukan di Yogyakarta. Fenomena ini menunjukkan masyarakat kita masih permisif serta menganggap praktik kolusi seperti itu sebagai hal yang wajar. Tak hanya orang tua, pihak sekolah kadang juga turut andil dengan mengadakan pungutan liar kecil-kecilan lantaran minimnya informasi mengenai PPDB.
Karena kejadian-kejadian seperti ini tiap tahun terus berulang, perlu perhatian sungguh-sungguh Kementerian Pendidikan untuk menutupi seluruh kelemahan kebijakan tersebut dengan melibatkan pihak terkait. Manipulasi data KK tidak akan mudah terjadi jika sistem kependudukannya ketat. Karena itu, Kementerian maupun Dinas Pendidikan perlu menggandeng aparat RT/RW, kelurahan, kecamatan, serta Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.
Tak hanya melibatkan para pihak terkait, pemberian sanksi yang tegas dengan membatalkan pendaftaran atau mencabut penerimaan siswa yang terbukti mengakali sistem zonasi perlu terus diterapkan. Jika tidak ada penambalan lubang-lubang aturan itu dan minimnya sanksi, konsep zonasi hanya menjadi sia-sia.
Tak kalah penting, persoalan yang musti diatasi segera adalah kurangnya sekolah negeri atau sekolah dengan kualitas bagus. Di Jawa Barat misalnya, jumlah SMP negeri sekitar 1.982. Sedangkan jumlah siswanya mencapai 1.108.220. Adapun SMP swasta lebih banyak yakni 3.843 dengan total siswa 673.266. Keengganan orang tua menyekolahkan anaknya atau siswa itu sendiri ogah belajar di sekolah swasta lantaran biaya yang lebih mahal atau ada pula kualitas pendidikan swasta yang tak sebagus di negeri.
Contoh lainnya Di Depok, pertumbuhan sekolah negeri selama sepuluh tahun terakhir sangat minim. Pemerintah Depok membiarkan sekolah swasta menyewa tanah pemkot, padahal mestinya itu bisa dibangun sekolah negeri sehingga meningkatkan daya tampung sekolah negeri.
Meski banyak persoalan PPDB jalur zonasi, ada pula contoh bagus keberhasilan sistem ini, yakni Pemerintah DKI Jakarta. Selain untuk sekolah negeri, Jakarta mengadakan PPDB bersama dengan swasta. Alhasil siswa bisa memilih sekolah swasta juga. Siswa yang memenuhi kriteria SPP-nya tetap gratis meski di sekolah swasta. Apa yang terjadi di Jakarta tersebut bisa menjadi pelajaran untuk penerapan sistem zonasi di daerah lain.