BEGINILAH jika pembelian pesawat tempur dilakukan tertutup: publik tak punya kesempatan untuk memberikan pendapat. Padahal, masukan publik penting sebagai bahan pertimbangan.
Kita baru tahu Kementerian Pertahanan membeli 12 pesawat tempur bekas, Mirage 2000-5, senilai Rp 11,8 triliun dari Qatar setelah media asing memberitakannya. Setelah ramai, barulah Kementerian Pertahanan memberikan penjelasan. Kontrak pembelian ternyata telah ditandatangani pada 31 Januari 2023.
Pembelian pesawat tempur rongsok ini menimbulkan syak wasangka. Pada 2009, Menteri Pertahanan saat itu, Juwono Sudarsono, menolak rencana hibah pesawat buatan Dassault Aviation, pabrikan asal Prancis, tersebut dari Qatar karena biaya perawatannya mahal. Padahal, untuk mendapat pesawat buatan 1997 tersebut, Juwono tinggal mengajukan surat permohonan hibah kepada Menteri Pertahanan Qatar. Jika Juwono menolak gratisan, kenapa Menteri Pertahanan Prabowo membelinya?
Lebih dari itu, pembelian pesawat tempur bekas ini menunjukkan Kementerian Pertahanan tak punya perencanaan jangka panjang yang baik. Menteri Pertahanan Prabowo Subianto beralasan bahwa Mirage 2000-5 ini dibeli untuk menutupi kekurangan pesawat sembari menunggu jet tempur Rafale yang akan tiba beberapa tahun lagi. Dengan kata lain, transaksi terjadi karena Kementerian Pertahanan butuh cepat belaka. Padahal, pembelian pesawat rongsok, apalagi tergesa-gesa, rawan penyimpangan karena tak adanya harga pembanding saat negosiasi harga.
Dengan masa pakai tinggal 10 tahun lebih, pembelian tersebut terhitung mahal. Jika dihitung satuan, harga per unitnya sekitar Rp 1 triliun. Padahal, total kocek yang dikeluarkan bisa membeli 9-10 pesawat tempur baru, seperti Sukhoi Su-35 atau Lockheed Martin F-35A. Karena itu, pembelian pesawat bekas semahal itu sungguh disayangkan.
Dari sisi perawatannya, bukan tak mungkin biayanya kelak akan membebani anggaran negara seperti yang dikhawatirkan Juwono. Belum lagi jika Mirage 2000-5 tersebut harus diretrofit agar betul-betul layak terbang, termasuk melengkapi persenjataannya. Negara pun akan mengeluarkan biaya lagi ratusan juta rupiah per jam untuk tiap pesawat saat dioperasikan di sini.
Pembelian jet tempur rongsok ini juga berpotensi menyalahi Undang-Undang Industri Pertahanan. Menurut undang-undang, pembelian alat pertahanan dari luar negeri dibolehkan sepanjang kita belum bisa memproduksi sendiri. Syaratnya, dengan melibatkan industri pertahanan dalam negeri sehingga ada alih teknologi dan penggunaan bahan baku lokal. Pembelian pesawat tempur bekas akan menutup keterlibatan industri pertahanan dalam negeri dan terjadinya transfer teknologi.
Ketimbang membeli pesawat tempur bekas, Menteri Prabowo lebih baik menggunakan anggarannya untuk memajukan industri pertahanan dalam negeri atau untuk menyejahterakan prajurit. Tak perlulah membangga-banggakan pembelian jet tempur rongsok yang berpotensi menguras kocek negara. Sungguh dangkal jika kekuatan militer sebuah negara hanya diukur dari kepemilikan pesawat tempur—itu pun bekas.