Editorial Tempo.co
------------------------
Berbagai sikap dan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud Md semakin hari semakin sulit diterima akal sehat. Manuver terbaru Mahfud berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi ihwal perpanjangan masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari empat menjadi lima tahun. Pernyataan Mahfud itu terkesan bermuka dua.
Berbicara di Istana Negara, Jumat pekan lalu, ia mengatakan, meski sebenarnya kurang sepakat, pemerintah tetap mengikuti putusan MK dengan dalih sifatnya yang final dan mengikat. Mahfud menerima begitu saja penafsiran serampangan juru bicara MK yang menyebutkan perpanjangan masa jabatan itu otomatis berlaku untuk kepemimpinan KPK saat ini.
Artinya, masa jabatan Ketua KPK Firli Bahuri dan empat komisoner lainnya, yang seharusnya berakhir pada Desember 2023 diperpanjang setahun hingga 2024. Padahal, sebagai mantan ketua Mahkamah Konstitusi serta guru besar hukum tata negara, Mahfud tentu mahfum perihal dalil penolakan para pakar hukum terhadap putusan tersebut.
Merujuk pada Undang-Undang MK, putusan majelis hakim konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka. Artinya, putusan tersebut berlaku ke depan sejak ditetapkan. Maka putusan MK hanya berlaku untuk pimpinan KPK berikutnya, bukan periode sekarang. Putusan MK yangberlaku surut akan menabrak asas non-retroaktif.
Putusan tersebut juga melampaui kewenangan MK karena memutuskan hal yang menyangkut open legal policy atau hukum terbuka. Open legal policy merupakan kebijakan yang hanya bisa dibuat oleh pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR. Maka perpanjangan masa jabatan hingga penentuan syarat usia pimpinan lembaga sepenuhnya wewenang pembentuk UU.
Sikap Mahfud mendukung putusan bermasalah itu bertolak belakang dengan langkahnya membentuk Tim Percepatan Reformasi Hukum melalui Surat Keputusan Menko Polhukam Nomor 63 Tahun 2023. Tim yang beranggotakan puluhan mantan pimpinan KPK, pakar hukum, pegiat antikorupsi, ekonom, dan tokoh media ini berdinas dari 23 Mei hingga 31 Desember 2023.
Tugas mereka mahaberat—kalau enggan disebut muluk, yakni menetapkan strategi dan agenda prioritas, mengkoordinasikan kementerian/lembaga, mengevaluasi agenda prioritas reformasi lembaga peradilan dan penegakan hukum. Tim ini juga bertugas mengurus pencegahan dan pemberantasan korupsi, serta sektor peraturan perundang-undangan.
Bagaimana bisa Mahfud yang baru saja membentuk superteam reformasi hukum kini menyokong perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK terburuk sepanjang sejarah? Apa yang bisa dilakukan sekelompok tokoh masyarakat sipil dalam sebuah tim kecil terhadap sistem hukum negara ini bila pembuat hukumnya sendiri tak pernah mau mendengar?
Kalau sudah begini, lebih baik anggota tim reformasi hukum cepat-cepat mengundurkan diri. Sayang bila integritas yang sudah dibangun seumur hidup runtuh dalam sekejap karena bergabung dengan tim yang hasil rekomendasinya akan berhenti pada selembar dokumen. Mundur lebih terhormat buat mereka di tengah situasi saat ini.
Jejak manuver Mahfud lainnya terlihat pula pada pembentukan Satuan Tugas Dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) pada awal Mei lalu untuk mengusut transaksi mencurigakan Rp 349 triliun di Kementerian Keuangan. Satgas ini berfokus pada laporan hasil pemeriksaan dugaan tindak pencucian uang senilai Rp 189 triliun di Kementerian Keuangan.
Pembentukan satgas ini adalah buntut dari silang pendapat antara Mahfud dan Kementerian Keuangan sejak awal Maret lalu ihwal temuan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK). Sejak Mahfud mengungkap data PPATK hingga kini belum ada kemajuan berarti dalam pengusutan kasus transaksi jumbo itu selain kasus-kasus yang sudah berjalan. Ramai di publik, pengusutan perkara itu sepi tanpa hasil.
Masih berkaitan dengan KPK, Mahfud juga pernah berusaha ‘membersihkan’ citra pemerintahan Presiden Joko Widodo dari cela revisi UU KPK. Dalam sebuah acara bincang-bicang tahun lalu, ia mengklaim Presiden Jokowi sempat ingin menerbitkan perpu untuk mencabut UU KPK hasil revisi. Rencana itu, menurut Mahfud, batal gara-gara DPR mengancam menolak perpu tersebut. Namun dengan melihat sepak terjangnya selama ini, sulit untuk percaya bila pemerintahan Jokowi benar-benar tulus mau mencabut UU KPK hasil revisi.
Langkah Mahfud membentuk berbagai tim dengan menggandeng tokoh masyarakat sipil sepintas terkesan mulia. Tapi sepak terjang serta keputusan-keputusannya justru bertolak belakang dengan reformasi di bidang penegakan hukum.
Pelbagai manuvernya itu boleh jadi hanya untuk memoles citra demi tujuan elektoral yang memang jamak menjelang tahun politik ini.