MASIFNYA partai politik merekrut pesohor sebagai calon anggota legislatif adalah bukti kegagalan partai melakukan kaderisasi. Menjadikan para pesohor sebagai calon legislatif, partai politik sepenuhnya berorientasi mendulang suara di pemilihan umum, dan melupakan fungsi membangun sistem kaderisasi yang baik.
Pada Pemilu 2024 ini, sebagian besar partai politik menyertakan selebritis dalam daftar bakal calon legislator yang diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum. Bukan hanya partai politik baru, tapi partai inkumben juga berbondong-bondong mendaftarkan selebritas sebagai bakal calon legislator. Tercatat lebih dari 50 orang selebritas menjadi bakal calon anggota legislatif, yang pendaftarannya berakhir pada 14 Mei lalu.
Partai politik semestinya melihat efektivitas para legislator dari selebritis selama ini. Sudah banyak terbukti, para pesohor yang terpilih menjadi anggota legislatif di setiap Pemilu hanya menjadi pelengkap saja. Hal wajar yang dipetik dari sekolah partai yang hanya berlangsung beberapa hari saja, di sela-sela rangkai proses pemilu.
Selebritas terjun ke pentas pemilu menggeliat sejak 2004. Ketika itu pemilu menganut sistem proporsional terbuka, yaitu pemilih dapat memilih langsung calon legislator. Berbeda dengan pemilu terdahulu, yang menggunakan sistem proporsional tertutup.
Masalahnya, partai politik mengangkangi sistem pemilu yang dianggap lebih demokratis tersebut. Mereka berusaha mempertahankan kekuasaan di Senayan dengan cara gampang.
Kekacauan paling nyata dari rapuhnya kaderisasi partai tergambar dari pencalonan Aldi Taher. Penyanyi dan model tersebut terdaftar sebagai bakal calon legislator di Partai Bulan Bintang dan Partai Perindo. Di PBB, Aldi tercatat sebagai bakal calon anggota DPRD DKI Jakarta. Sedangkan di Perindo, dia terdaftar sebagai bakal calon anggota DPR.
Arus politik selebritas ini tidak hanya menggurita di deretan daftar calon anggota legislatif. Partai politik juga kerap menggunakan artis untuk menyemarakkan kegiatan kampanye dan sebagai penarik massa.
Ada juga partai yang menjadikan selebritas sebagai ketua umum. Mereka bahkan menjagokan selebritas itu sebagai calon presiden. Di sisi lain, ada politikus maupun ketua umum partai politik justru mengadopsi tampilan selebritas. Bahkan sang ketua umum itu mendadak menjadi penyanyi dan ada yang tampil di acara idol.
Serupa di Indonesia, politik selebritas juga bersemai kembali di Filipina pada Pemilu 2016. Adalah calon presiden Rodrigo Duterte mengadopsi gaya selebritas. Ia menyebut dirinya “Duterte Harry”. Mantan Wali Kota Davao ini mencitrakan dirinya sebagai “Dirty Harry”, film Hollywood yang bercerita tentang Harry Callahan, yaitu seorang inspektur polisi di San Fransisco yang menumpas penjahat jalanan. Duterte menjanjikan akan menumpas kejahatan jalanan jika memenangkan pemilihan. Ia pun terpilih menjadi Presiden Filipina.
Gejala politik selebritas ini memperlihatkan bahwa politik memang bukan soal ide dan substansi lagi, melainkan hanya permainan penampilan dan citra diri para politikus. Karena itu, pemilih mesti semakin cerdas memilih wakilnya yang akan duduk di DPR dan DPRD.
Jangan hanya melihat popularitas calon legislator, tapi perhatikan rekam jejak mereka secara utuh. Kita tidak sedang memilih pemenang kontes pencari bakat di televisi, tapi mereka yang mampu memperjuangkan hak-hak rakyat dalam lima tahun mendatang.