ENTAH sampai kapan kita akan melihat penegak hukum begitu serampangan memakai pasal penistaan agama untuk memasukkan orang ke penjara. Padahal, selain ketinggalan zaman, pasal tersebut seharusnya dibuang karena bertentangan dengan prinsip kebebasan bergama dan berkeyakinan.
Kasus terbaru, Kepolisian Daerah Sumatera Selatan menjadikan Lina Mukherjee, pembuat konten di media sosial Tiktok, sebagai tersangka. Polisi menjerat Lina dengan pasal penistaan agama yang dicomot begitu saja dari Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ancaman hukumannya enam tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Polisi menganggap Lina melakukan tindak pidana karena menyebarkan konten video berisi adegan menyantap “kriuk babi” yang diawali bacaan Bismillah.
Kelakuan Lina memang konyol. Urusan dia menyukai makanan olahan dari babi itu hak dan selera pribadinya. Tapi, ketika hendak menyebarkan konten tersebut lewat media sosial, Lina semestinya menimbang perbedaan keyakinan dan potensi ketersinggungan banyak orang. Umat Islam meyakini makanan yang mengandung babi haram. Adapun bismillah, dalam ajaran Islam, dipakai untuk mengawali perbuatan baik.
Masalahnya, langkah polisi mejerat Lina dengan pasal penistaan agama lebih konyol lagi. Dalam kehidupan sehari-hari, begitu banyak orang yang bertingkah seperti Lina. Bila polisi menjerat mereka semua dengan pasal pidana, bisa dibayangkan, penjara bakal dipenuhi orang-orang konyol seperti itu.
Penghormatan atas agama dan keyakinan orang lain, mayoritas ataupun minoritas, memang sangat penting sebagai adab dalam hidup di tengah keberagaman. Namun, alih-alih dipenjara, orang-orang "kurang adab" lebih baik dididik ulang, agar lebih menghormati perbedaan keyakinan dan keragaman sosial.
Sulit dibantah, dalam kasus banyak kasus, polisi bergerak cepat semata untuk merespons kegaduhan serta kemarahan warganet di media sosial. Ungkapan bernada sinis, “viral dulu, baru diusut”, semakin sering kita dengar. Yang tak kalah janggal, pada kasus Lina Lina Mukherjee, polisi juga menetapkan status tersangka hanya berdasarkan pendapat Majelis Ulama Indonesia, tanpa lebih dulu memeriksa selebgram itu.
Dalam sejarahnya, pasal penistaan agama selalu bias kepentingan kelompok atau agama mayoritas. Itu berlaku dalam tradisi lama banyak "negara agama" di berbagai belahan dunia. Ketika gereja berkuasa di negara-negara di Eropa ratusan tahun lalu, misalnya, hukum penistaan agama (blasphemy) yang multitafsir sering dipakai dalih menjaga "kemurnian" agama. Korbannya kebanyakan berasal dari kaum minoritas atau siapa pun yang tidak disukai gereja yang berkelindan dengan negara.
Indonesia yang katanya modern seharusnya tidak meniru tradisi di zaman “kegelapan” Eropa itu. Faktanya, di negara kita, pasal penodaan agama bercokol sekian lama dalam kitab pidana warisan pemerintahan kolonial Belanda. Entah berapa banyak korban pasal karet yang penafsirannya bisa dibuat mulur mengkeret itu.
Perkembangan terakhir, berkat desakan kalangan ahli hukum dan pegiat hak asasi manusia, delik penodaan agama memang disetip dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hasil revisi. Sayangnya, meski kata "penyalahgunaan” dan “penodaan" agama telah dihilangkan, KUHP terbaru masih mencantumkan delik "permusuhan" atau "hasutan untuk memusuhi" agama tertentu.
Di negara demokrasi modern, fungsi hukum pidana seharusnya lebih melindungi warga negara dan haknya untuk memeluk agama tertentu. Bukanlah tugas negara, lewat hukum pidana, untuk melindungi agama atau kepercayaan tertentu. Toh, keluhuran suatu agama atau kepercayaan seharusnya tidak ternodai oleh penistaan dari siapa pun.
Meski perubahan KUHP belum ideal, polisi semestinya memahami spirit penghapusan pasal penodaan agama tersebut. Karena itu, polisi seharusnya tidak menggunakan pasal penistaan agama yang masih bercokol di undang-undang lain.