Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Menuju 25 Tahun Reformasi : Hilangnya Republikanisme dan Jalan Perubahan

image-profil

Aktivis 98

image-gnews
Ribuan mahasiswa menduduki Gedung MPR/DPR saat unjuk rasa menuntut Soeharto mundur sebagai Presiden RI, Jakarta, Mei 1998. Selain menuntut diturunkannya Soeharto dari Presiden, Mahasiswa juga menuntut turunkan harga sembako, dan cabut dwifungsi ABRI. TEMPO/Rully Kesuma
Ribuan mahasiswa menduduki Gedung MPR/DPR saat unjuk rasa menuntut Soeharto mundur sebagai Presiden RI, Jakarta, Mei 1998. Selain menuntut diturunkannya Soeharto dari Presiden, Mahasiswa juga menuntut turunkan harga sembako, dan cabut dwifungsi ABRI. TEMPO/Rully Kesuma
Iklan

MENUJU bulan Mei, sekitar 25 tahun lalu tidak ada hari tanpa diskusi, konsolidasi, dan aksi-aksi jalanan. Menyuarakan derita dan kematian rakyat. Derita akibat wajah koruptif kekuasaan dan salah kelola negara. Kematian akibat kelaparan karena rezim tak mampu kelola pangan terjadi di Papua saat itu. Bahkan Kematian karena represi aparat kepada anak muda terjadi, mahasiswa Universitas Trisakti ditembak mati. Air mata, darah dan nyawa telah  dikorbankan.

Saat itu kami terus bergerak bermalam di gedung rakyat hingga rezim orde baru jatuh pada 21 Mei 1998. Imajinasi kami saat itu membayangkan bahwa 25 tahun kedepan wajah republik ini berwajah demokratis karena demokrasinya makin berkualitas, para pemimpinya memiliki integritas yang tinggi, korupsi telah diberantas sampai ke akar-akarnya, hak azasi manusia dijunjung tinggi.

Menjadi bangsa besar yang mengelola negara dengan ilmu pengetahuan dan teknologi maju. Itu yang menyebabkan kami punya mimpi, punya tuntutan agenda yang kala itu disebut tuntutan reformasi. Secara substansi memuat agenda tegakan demokrasi, junjung tinggi Hak Azasi Manusia, Berantas Korupsi kolusi nepotisme, tegakan hukum tanpa tebang pilih, dan sejahterakan rakyat sesuai cita-cita konstitusi. 

Awalnya kami percaya bahwa elit politik baru dari mulai Habibie hingga Jokowi mampu membawa cita-cita kami di jalankan dengan baik. Sesungguhnya cita-cita kami hakekatnya sama dengan cita-cita Soekarno, Hatta, Syahrir, Agoes Salim dan lain-lain para pendiri bangsa untuk menjadikan negeri ini betul-betul negara Republik yang berdaulat, melayani publik, mengutamakan kepentingan rakyat banyak. Itulah konsep negara Republik.

Dalam literatur tentang negara Republik, sebagaimana dinarasikan dalam “The Classical Republicans: An Essay in the Recovery of a Pattern of a Thought in Seventeenth-Century England”  yang ditulis Zera Fink tahun 1945 sangat jelas menegaskan tentang substansi negara Republik yaitu negara yang melayani urusan publik, melayani rakyat, mengutamakan kepentingan umum,  kepentingan rakyat banyak dan mendengarkan aspirasi rakyat. Res Publica!

Baca Juga:

Karenanya dengan semangat republikanisme saat 1998 itu kami memberi jalan kepada elit politik baru untuk berkuasa. Kami kembali ke kampus masing-masing menyelesaikan studi. Usai lulus sebagian besar kami fokus pada profesi masing-masing baik sebagai akademisi, jurnalis, advokat, pedagang hingga petani dan lain lain, termasuk ada sedikit yang masuk partai politik. 

Tetapi kini 25 tahun berlalu yang terjadi justru sebaliknya. Jiwa republik ini makin remuk. Air mata ini menetes kembali, darah juang ini rasanya mendidih kembali. Karena ternyata rakyat tidak menjadi orientasi utama untuk disejahterakan sebagaimana misi negara Republik.

Faktanya, korupsi semakin merajalela hingga skor indeks korupsi Indonesia jeblok di angka 34, apalagi kini mencuat ada Rp.349 triliun transaksi yang mencurigakan, kejahatan pencucian uang dan ada ratusan triliun uang APBN di korupsi. Celakanya 60% koruptor adalah politisi.

Indeks hak azasi manusia juga masih merah dibawah 35, ratusan jiwa manusia masih terbunuh tanpa pertanggungjawaban secara komprehensif, nyawa rakyat seperti tak berharga lagi, indeks demokrasi kita masih level flawd democracy (demokrasi cacat) dengan skor masih dibawah 70 dan dengan rapot merah kebebasan sipil 59 (The Economist,2022). Apalagi kini Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti dibawa ke pengadilan hanya karena diskusi hasil riset di chanel youtube. Wajah kebebasan sipil makin suram.

Disaat yang sama utang Indonesia semakin membengkak hingga Rp7.733,99 triliun (Kemenkeu,2023). Angka pertumbuhan ekonomi kita masih kalah jauh dibanding Filipina yang sudah 7%, Vietnam 13% dan Malaysia 14%. Kita masih dikisaran 5%, padahal hampir Rp1.000 triliun uang digelontorkan untuk pemulihan ekonomi.

Faktanya, Kemiskinan terus meningkat,  ada 26,36 juta orang berada di bawah garis kemiskinan (BPS,2022). Pengangguran juga terus bertambah, bahkan 59% pengangguran adalah generasi berusia muda (BPS,2022).  Di saat yang sama justru 70,3% pejabat bertambah kaya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebuah studi terbaru dari Black Dog Institute Australia (2022) menyebutkan bahwa angka bunuh diri di Indonesia mungkin empat kali lebih besar daripada data resmi. Salah satu faktor dominan penyebab bunuh diri adalah karena kondisi ekonominya. Faktanya memang tidak sedikit anak muda bunuh diri setelah di PHK. Aspirasi buruh yang menolak UU Cipta Kerja agar tidak mudah di PHK, upah tidak dikurangi dan pesangon tidak dipotong tak didengar penguasa.Perpu Ciptaker tetap disahkan menjadi UU Cipta Kerja ditengah protes jutaan buruh, rakyat dan mahasiswa.

Jalan Perubahan
Sudah terlalu banyak jalan diupayakan untuk memperbaiki republik yang semakin rusak ini. Bahkan pada periode rezim ini rival kontestan pilpres Prabowo dan Sandiaga pun diangkat jadi menteri. Tetapi belum mampu membuat Indonesia mengalami lompatan kemajuan.

Proses runtuhnya kepercayaan kepada pemerintah terus terjadi. Rakyat yang sangat percaya kepada Presiden hanya 26% saja apalagi kepada DPR hanya 7% (LSI,2023). Runtuhnya legitimasi itu sesunghunya karena performa pemerintah yang buruk, sering tidak konsisten dan banyak janji yang tidak dipenuhi. Berjanji bangun kereta cepat dan IKN (Ibu Kota Negara) tanpa menggunakan uang APBN nyatanya kemudian menggunakan uang APBN, membebani APBN hingga puluhan bahkan ratusan triliun rupiah. Membebani rakyat. 

DPR juga terlalu banyak UU yang dibuat tidak sesuai aspirasi rakyat tetapi lebih mengutamakan kepentingan oligarki dan banyak menimbulkan masalah misalnya Revisi UU KPK, UU Cipta Kerja, UU KUHP, dan lain-lain. Penyelenggara Pemilu 2024 KPU kini juga kehilangan kepercayaan rakyat karena telah diberi sanksi peringatan keras dan terakhir dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan banyak kalangan memintanya mengundurkan diri karena terbukti melanggar kode etik. Padahal tahapan pemilu baru dimulai. Bagaimana publik percaya pemilu akan berlangsung jujur, baru tahap awal justru Ketua KPU nya sudah bermasalah?

Tidak hanya itu, runtuhnya kepercayaan rakyat juga terjadi pada aparat penegak hukum maupun birokrasi. Kasus Sambo yang kemudian membongkar borok aparat penegak hukum hingga perjudian online dan kasus Tedy Minahasa yang membongkar borok pola bisnis narkoba di kalangan aparat penegak hukum telah meruntuhkan kepercayaan rakyat kepada aparat penegak hukum secara drastis. Ketidakpercayaan masyarakat juga termasuk terhadap KPK yang kini kisruh akibat dugaan adanya upaya paksa dari Komisioner KPK mentersangkakan seseorang, termasuk peristiwa pembocoran dokumen penyelidikan korupsi di sebuah kementrian.

Kasus Rafael Alun dan mencuatnya kasus dugaan kejahatan pencucian uang hingga Rp349 triliun yang diungkap Mahfuzd MD adalah deretan persoalan aparat birokrasi yang membuat semakin anjloknya kepercayaan publik kepada pemerintah. Tentu banyak kasus-kasus lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu dalam tulisan ini, termasuk kasus yang saya laporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 10 Januari 2022 silam.

Dukungan 80% lebih parlemen kepada pemerintah dan bergabungnya Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno di dalam pemerintahan ternyata tidak mampu membuat pemerintahan ini semakin baik. Tetapi justru semakin terpuruk. Ada semacam paradox pada diri Jokowi, karena wajah gandanya dalam mengelola negara, antara kata dan perbuatan sering tidak seiring. 

Misalnya, menolak perpanjangan periode kekuasaan disatu sisi tetapi disisi lain membiarkan menteri-menteri kesayanganya berbicara perpanjangan periode kekuasaan. Kini arah Republik seperti mulai menemukan jalan buntu. Tekanan kekuatan global dan jeratan utang yang semakin membumbung tinggi membuat negeri ini seperti kepala kerbau yang dicucuk hidungnya. Kehilangan marwah sebagai bangsa dan negara yang seharusnya berdaulat. Disaat yang sama konflik antar orang istana, antar menteri terus terjadi dan semakin meruncing. Bahkan mereka sibuk untuk menjadi capres-cawapres. Rakyat tidak lagi dipikirkan.

Di tengah merosotnya kredibilitas pemerintah, stagnasi ekonomi, dan kebuntuan jalan itu Indonesia memerlukan inisiatif baru untuk berubah. Perubahan yang dilakukan secara mendasar dan Perubahan besar-besaran mau tidak mau harus dilakukan. Jika tidak, Indonesia hanya akan terus terjebak dalam stagnasi yang tiada akhir bahkan semakin terpuruk. Oleh karena itu sudah waktunya seluruh elemen bangsa yang peduli pada masa depan republik ini untuk merenung dan bergerak bersama untuk melakukan perubahan besar memenuhi panggilan konstitusi, panggilan rakyat banyak, panggilan republik.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

2 hari lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


25 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

31 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.


Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.


Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Tangkapan layar tayangan video Tempo.co berisi kampanye Prabowo Subianto di Riau, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024.
Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.


Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) dan Wakil Ketua MK Aswanto (tengah) meninggalkan ruang sidang seusai mengikuti sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa 28 Januari 2020. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.