Sebuah panggilan telepon terhubung pada petang 11 Maret 2022. Dari seberang tersampaikan pesan dengan nada kegentingan, “Mas, bisakah Kurawal membantu membawa Venan ke lokasi yang aman? Dia sedang dicari aparat.” Venansius Haryanto (Venan) adalah peneliti pada lembaga advokasi Sunspirit for Justice and Peace di Manggarai Barat yang vokal menyuarakan penolakan atas pengembangan wisata premium di Taman Nasional Komodo karena ditengarai akan membawa kerusakan ekologis pada habitat alami satwa langka tersebut. Hari itu, sekelompok orang tak dikenal menyambangi kantor Sunspirit menanyakan keberadaan Venan dan dengan akurat menunjuk kamar yang biasa dia tempati di kantor. Kedatangan gerombolan tak beridentitas tersebut ditolak oleh staff lembaga sebelum akhirnya mereka meninggalkan lokasi. Venan yang saat itu berada di Ruteng memilih untuk tidak kembali ke kantor setelah kejadian dan mengirimkan pesan permintaan bantuan.
Robohnya Reformasi Kami
Initimidasi tersebut dikaitkan dengan rencana kunjungan Wakil Presiden Ma’ruf Amin pada 14 Maret 2022 untuk membuka The 2nd Asia International Water Week (AIWW) 2022 di Labuan Bajo. Sebuah “intervensi keamanan” yang dimaksudkan untuk memastikan tidak terjadi kegaduhan di saat pejabat penting republik tengah mengunjungi etalase baru wisata Indonesia yang masih berperkara.
Pendekatan represif ini semakin merajalela dan menjadi modus operandi pemerintahan Jokowi dalam periode keduanya saat menghadapi kritik dan perbedaan pendapat. Lima warga sipil tewas saat terjadi rangkaian aksi massa #Reformasidikorupsi pada 23-30 September 2019 di berbagai kota di Indonesia, ratusan terluka, dan setidaknya didapati 390 aduan atas tindak kekerasan yang dilakukan oleh Polri dalam penanganan aksi tersebut.
Warga Wadas, Kabupaten Purworejo, yang menolak melepaskan tanahnya bagi tambang batu andesit untuk Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Bener juga mengalami teror kekerasan saat desanya diserbu pasukan gabungan polisi dan militer pada 23 April 2021 dan 8 Februari 2022; sementara itu dua aktivis HAM nasional, Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar, diperkarakan di pengadilan dengan tuduhan pencemaran nama baik saat mengungkit dugaan keterlibatan Menko Marinves, Luhut Binsar Pandjaitan, di balik bisnis tambang emas wilayah Intan Jaya Papua.
Berseberangan dengan pemerintah nampaknya adalah pilihan yang berbahaya di masa pemerintahan Jokowi. Jika di masa Orde Baru para oposan mengalami berbagai stigma seperti kelompok “anti-Pancasila”, “anti-pembangunan”, “PKI”, “Kiri Baru”, maupun “kelompok wts (waton suloyo/asal menolak)”, maka di masa Jokowi bingkai perisakan tersebut berubah menjadi “kadrun”, “kelompok radikal”, “SJW”, “anti-Jokowi”, maupun “anti-pemerintah”. Ini merupakan sebuah bentuk kemunduran atas ruang kebebasan sipil yang menjadi sendi reformasi 25 tahun yang lalu. Hak untuk menyampaikan kritik atau membangkang (right to dissent) adalah bagian tak terpisahkan untuk hak warga negara untuk mengeluarkan pendapat yang dilindungi melalui Pasal 28E ayat 3 UUD RI 1945 dan termaktub dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 28E ayat 3 Konstitusi menetapkan bahwa, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”; sedangkan UU No. 39 tahun 1999 dengan jelas menjamin kebebasan setiap orang untuk “mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan” (Pasal 23ayat 2); “berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai” (Pasal 24 ayat 1); serta “menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” (Pasal 25). Dengan demikian, represi atas perbedaan pendapat adalah bentuk pelanggaran konstitusi dan hukum yang tidak bisa dipandang remeh.
Hal ini, salah satunya, ditunjukkan dengan keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang pada 3 Juni 2020 menyatakan Presiden Joko Widodo dan Kementerian Komunikasi dan Informatika terbukti bersalah atas pemblokiran atau pelambatan koneksi internet di Papua pada medio Agustus 2019. Pemblokiran internet di Papua saat itu dilakukan pemerintah melalui Kemenkominfo menyusul pecahnya aksi unjuk rasa di beberapa wilayah Papua. Awalnya, pemerintah melakukan melakukan throttling atau pelambatan akses di beberapa daerah pada 19 Agustus 2019 sebelum akhirnya melakukan pemblokiran total di seluruh Papua pafa 21 Agustus 2019 sampai 6 September 2019 sebelum dipadamkan lagi pada 23 September 2019 setelah pecah kerusuhan berdarah di Wamena. Majelis hakim PTUN Jakarta memutuskan untuk mengabulkan gugatan para penggugat (SAFEnet, AJI, LBH Pers, YLBHI, KontraS, Elsam, dan ICJR) dan menyatakan perbuatan para tergugat (Presiden Jokow Widodo dan Kemenkominfo) adalah perbuatan melanggar hukum oleh badan dan/atau pemerintahan.
Sayangnya, pengadilan dan proses hukum tidak selalu bersisian dengan perlindungan hak konstitusi warga. Sebagai contoh, upaya untuk menggugat dan mendorong revisi pasal-pasal bermasalah dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)yang membatasi kebebasan berekspresi dan menjadi dasar kriminalisasi warga (pencemaran nama baik, ujaran kebencian) selalu kandas di Mahkamah Konstitusi. Dalam salah satu putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa “kebebasan berekspresi, berbicara, mengeluarkan pikiran dan pendapat adalah salah satu pilar demokrasi. Akan tetapi, tatkala kebebasan tidak diimbangi dengan tanggung jawab moral maka yang terjadi justru kontra demokrasi seperti, kebohongan publik, pelanggaran asas praduga tidak bersalah dan sebagainya”.
Dana Cepat Tanggap Darurat – Saling Bantu, Saling Jaga
Menyadari bahwa banyak penguasa lalim yang tidak peduli atas jaminan hukum serta lemahnya penegakan hukum atas hak konstitusional warga tersebut, para pegiat pro-demokrasi dan lembaga pembela HAM mengembangkan berbagai skema swa-proteksi di tataran internasional maupun nasional untuk melindungi mereka yang memutuskan untuk membangkang. Sebagai contoh, tujuh lembaga internasional membentuk konsorsium di bawah koordinasi Freedom House dengan dukungan pemerintah dari sembilan belas negara untuk menyediakan “Lifeline Embattled CSO Assistance Fund” dalam bentuk hibah bantuan kedaruratan (emergency assistance grants) kepada organisasi masyarakat sipil yang menghadapi ancaman maupun kekerasan karena kerja dalam membela HAM sertahibah cepat tanggap (rapid response grants) dalam mendukung upaya mereka memperjuangkan hak bersuara, berserikat dan berkumpul. Skema ini memungkinkan para pegiat HAM dan aktor pro-demokrasi untuk melindungi diri mereka saat menghadapi represi dengan mendapatkan bantuan hukum, relokasi ke tempat aman, bantuan medis, serta dukungan bagi pengembangan kapasitas, penguatan solidaritas dan jejaring, serta kampanye media. Sejak tahun 2011, konsorsium ini telah mengucurkan hibah senilai $ 11 juta untuk lebih dari 1500 organisasi masyarakat sipil di 105 negara.
Model dukungan swa-proteksi lain yang bisa dirujuk adalah Digital Defenders Partnership. Inisiatif ini berawal dari kolaborasi beberapa pemerintah untuk mengembangkan Freedom Online Coalition yang satu tahun berikutnya menelurkan Digital Defenders Partnership (DDP) Fund. Skema ini menyediakan dana darurat bagi pegiat aktivisme digital yang mengalami ancaman. Selain skema tersebut, untuk mewujudkan ranah internet yang terbuka dan bebas dari ancaman terhadap bentuk ekspresi, hak berserikat dan berkumpul, serta kerahasiaan data pribadi, DDP juga menyediakan sustainable protection funding (bagi pengembangan kapasitas perlindungan keamanan digital organisasi dan aktor pembela HAM), dukungan penguatan kapasitas first responders untuk merespon ancaman digital serta jejaring perlindungan keamanan digital lokal melalui berbagai program pendampingan. Penerima manfaat dari skema-skema ini adalah: aktor digital yang mengumpulkan, menafsirkan dan mebagikan data ke publik (artis, blogger, jurnalis, penyelenggara pemilu maupun organisasi watch dog); aktivis pembela hak-hak lingkungan, agrarian dan masyarakat adat; kelompok minoritas seksual dan pegiat hak-ahak perempuan dan gender. Inisiatif ini dikelola secara independent oleh Hivos.
Inisiatif Dana Cepat Tanggap Darurat (DCTD) Yayasan Kurawal yang diperkenalkan kepada publik pada tanggal 9 Maret 2023 lalu merupakan upaya untuk mereplikasi skema-skema di tingkat global dan regional, seperti yang dikembangkan oleh konsorsium Freedom House maupun Freedom Online Coalition, tersebut ke tingkat nasional untuk memastikan ada sumber daya domestik yang tersedia pada saat situasi genting. Inisiatif ini pertama kali kami gunakan untuk mendukung liputan bersama beberapa media (The Jakarta Post, Tirto.id, Tabloid Jubi) paska kerusuhan berdarah di Wamena, 23 September 2019, guna mengungkap fakta yang ditutupi oleh para penguasa sipil dan militer di Jakarta dan Papua saat jaringan internet di seluruh pulau dipadamkan dan kita semua harus menebak-nebak dalam kekosongan informasi tentang apa yang sebenarnya terjadi. Investigasi tersebut menemukan perbedaan jumlah korban OAP (Orang Asli Papua) yang tewas dengan jumlah resmi yang dilaporkan oleh pemerintah, mengidentifikasi berbagai tindak keranas aparat yang tidak dilaporkan oleh media nasional, serta mengkonfirmasi adanya massa tak dikenal yang menyulut pembakaran di Hom-Hom dan memicu kerusuhan setelah ditembaknya Kelion Tabuni. Liputan tersebut kemudian memenangkan penghargaan The Best Investigative Reporting untuk ketegori surat kabar dalam ajang IPMA (Indonesia Print Media Awards) 2020.
Dalam periode empat tahun setelahnya, inisiatif kecil ini “dipaksa” untuk tumbuh seiring dengan meningkatnya aktivitas Yayasan Kurawal dalam merespon lonjakan represi yang dialami oleh individu, warga, kelompok warga, maupun organisasi masyarakat sipil yang berseberangan dengan penguasa. Di Papua, dana ini digunakan untuk membendung serangan digital terhadap portal berita independen yang melawan arus disinformasi dari Jakarta. Skema ini digunakan di Ternate untuk memberikan bantuan dan pendampingan hukum guna memulihkan hak-hak pendidikan empat mahasiswa Universitas Khairun, Fahrul Abdullah W Bone, Fahyudi Kabir, Ikra S Alkatiri dan Arbi M.Nur yang diputus studinya karena ikut ambil bagian dalam unjuk rasa tanggal 2 Desember 2019 bersama sekitar 50 orang lainnya tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua. Sementara itu di Luwu Timur, kami menggunakannya untuk memindahkan saksi dan korban perundungan seksual yang dirisak oleh aparat kepolisian di Polres Luwu Timur dan Polda Sulawesi Selatan setelah mengungkapkan kasus tersebut ke media nasional; sedangkan di Labuan Bajo dan Wadas inisiatif ini diberikan untuk memulihkan perlawanan akar rumput yang dihajar represi tak berkesudahan dari negara.
Secara umum, skema DCTD Yayasan Kurawal merupakan dana yang dapat dimanfaatkan sewaktu-waktu apabila terjadi keadaan darurat yang menimpa individu warga maupun organisasi masyarakat sipil di Indonesia. Kondisi kedaruratan tersebut merujuk pada berbagai bentuk represi terhadap kebebasan sipil dan kebebasan berekspresi, bersuara dan menyatakan pendapat, menyampaikan kritik pada penguasa di saat tidak tersedia dukungan sumber daya lain yang mencukupi untuk menghadapi kondisi tersebut dengan segera. Namun, dana ini juga dapat diberikan untuk mendukung penguatan perlindungan dan promosi kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat di Indonesia, serta mengantisipasi kemungkinan serangan, kekerasan maupun ancaman lain yang timbul dari kasus hukum yang akan, tengah maupun telah diajukan di pengadilan.
Dalam konteks tersebut, DCTD akan melayani dua jenis tingkat kedaruratan, yaitu:
- Darurat Primer yaitu situasi di mana bantuan yang diberikan akan memastikan keselamatan dan kelangsungan hidup penerima manfaat serta keberlangsungan perlawanan yang dilakukan atau situasi di mana apabila tidak diberikan bantuan akan mengancam keselamatan penerima manfaat serta perlawananya.
- Darurat Sekunder yaitu situasi di mana penerima manfaat sudah tidak dalam kondisi terancam namun bantuan yang diberikan akan memastikan keselamatan dirinya dan keberlangsungan perlawanan yang dilakukan.
Kurawal memiliki kewajiban untuk merespon kondisi kedaruratan tersebut dalam jendela waktu 1X24 jam untuk kondisi darurat primer; serta 3X24 jam untuk situasi darurat sekunder. Dana tersebut harus bisa diterima oleh pengaju selambat-lambatnya 7X24 jam setelah pengajuan diterima oleh Kurawal.
Skema ini dapat digunakan untuk memberi bantuan berupa, namun tidak terbatas pada:
- Layanan bantuan dan pendampingan hukum;
- Relokasi dan penyediaan rumah aman;
- Bantuan finansial bagi keluarga korban represi dan kriminalisasi dalam keadaan darurat;
- Penggalangan dukungan jejaring dan solidaritas publik dalam penanganan kasus;
- Perlindungan terhadap berbagai bentuk represi digital maupun kekerasan daring; maupun
- Bantuan pelayanan medis, obat-obatan maupun logistik lainnya saat terjadi kekerasan dalam aksi massa.
Sebagai contoh terbaru, pada Februari 2023, skema ini digunakan untuk mendukung kerja advokasi bantuan hukum yang tengah dilakukan LBH Surabaya dalam menangani kriminalisasi dan penangkapan illegal tiga petani Pakel. Pada Jumat, 3 Februari 2023, Pak Mulyadi (Kepala Desa Pakel), Suwarno (Kepala Dusun Durenan), dan Untung (Kepala Dusun Taman Glugoh) ditangkap oleh pihak kepolisian saat menuju Desa Aliyan untuk menghadiri rapat asosiasi Kepala Desa Banyuwangi, serta dikenakan tuduhan Pasal 14 dan atau 15 Undang-undang nomor 1 Tahun 1946 sebagai tersangka dugaan penyebaran berita bohong dan ditahan di Polda Jawa Timur. Ketiga petani tersebut adalah anggota Kelompok Tani Sumber Rejo, Pakel, yang baru saja mengajukan gugatan pra-peradilan di PN Banyuwangi pada atas kriminalisasi yang mereka hadapi dalam sengketa lahan dengan PT Bumi Sari. Penangkapan ini merupakan ekor dari konflik lahan yang berlarut di Pakel dengan kekerasan berulang dilakukan Polres Banyuwangi terhadap petani yang mempertahankan hak atas tanahnya. Sebagai catatan, sepanjang periode 2020-2023, setidaknya 14 warga Pakel menjadi korban karena kekerasan di mana pada November 2021, ada 11 warga Pakel yang mendapatkan surat panggilan dari kepolisian, dan dua menjadi tersangka.
Pembelajaran dalam Pengelolaan Dana
Saat pengenalan skema ini ke publik, 9 Maret yang lalu, beberapa pembelajaran disampaikan oleh beberapa pihak terkait pengelolaan dari inisiatif sejenis yang telah dan tengah dilakukan. Ananda Badudu, penyanyi dan jurnalis yang pernah ditangkap polisi dan ditahan di Polda Metro Jaya terkait aktivitasnya menginisiasi penggalangan dana publik untuk mendukung gerakan mahasiswa #Reformasidikorupsi di tahun 2019, menyatakan bahwa agar efektif maka pengelola dana harus bisa membangun “trust” dan oleh karenanya harus menyatu dengan gerakan yang disokongnya. Ananda juga mengingatkan pentingnya mengembangkan mekanisme mitigasi resiko agar dana yang disalurkan tidak digunakan untuk “menjebak” pengelola dana dalam kasus pelanggaran hukum atau aktivitas lain yang justru merugikan gerakan pro-demokrasi.
Lebih jauh, dia menuturkan refleksinya sebagai berikut:
“Tapi dana darurat seperti ini perlu didistribusikan dengan hati-hati karena di lapangan banyak jebakan-jebakan betmen bertebaran. Pengalaman saya, yang membuat saya akhirnya ditangkap, karena ada transfer dana pada sekelompok mahasiswa yang saya curigai bertindak sebagai cepu alias informan polisi. Di lapangan mereka sengaja berbuat onar dan memancing-mancing perkara dengan polisi, yang membuat mereka akhirnya ditangkap. Polisi menjerat mereka dengan pasal pengrusakan fasilitas umum. Karena ada aliran dana berupa bantuan pendanaan transportasi dari kami pada mereka, yang ditransfer dari rekening atas nama saya, maka saya pun ikut ditangkap. Tuduhannya, saya disebut turut serta dalam pengrusakan yang mereka lakukan. Begitu saya ditahan, tak berapa lama cepu itu dipulangkan. Begitulah kira-kira praktik jebakan betmen di lapangan”.
Hal lain yang harus dipertimbangkan untuk memastikan efektivitasnya adalah kecepatan dalam melakukan respon. Kurawal mengalami sendiri tantangan ini saat bersama Project Multatuli harus berlomba dengan waktu untuk memindahkan ibu Lidya dan tiga orang anaknya yang menjadi korban kekerasan seksual dari Luwu Timur akibat ekskalasi intimidasi yang mereka alami. Kami harus mengandalkan upaya relokasi tersebut pada kawan-kawan LBH Makassar yang berjarak tidak kurang dari 550 kilometer dari lokasi dan harus ditempuh dengan 12 jam perjalanan darat. Dibutuhkan waktu tidak kurang dari 3 x 24 jam setelah tim penjemputan tiba sebelum akhirnya bisa meninggalkan lokasi dan sampai di rumah aman di Makassar pada 13 Oktober 2021. Sampai tim penjemputan tiba di lokasi, kami hanya bisa bersandar pada resiliensi keluarga korban untuk menghadapi perisakan yang intensitasnya meningkat dari hari ke hari.
Di sisi lain, efektivitas juga ditentukan oleh kemampuan calon penerima manfaat untuk mendapatkan informasi yang akurat serta mengakses skema yang ditawarkan. Tidak semua warga, kelompok warga maupun organisasi masyarakat sipil memiliki akses yang setara terahadap informasi, terlebih jika disajikan dalam platform digital. Mereka yang ada di garis depan perlawanan acap kali tidak dibekali dengan infrastruktur Komunikasi yang memadai.
Untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut, tidak ada pilihan lain dalam jangka pendek selain bekerja di dalam jejaring. Strategi untuk berkolaborasi dengan organisasi masyarakat sipil, organisasi bantuan hukum, serta asosiasi profesi yang memiliki jejaring luas di seluruh Indonesia merupakan pilihan terbaik. Organisasi seperti YLBHI, PBHI, AJI Indonesia, bisa memainkan peran strategis dalam memastikan efektivitas DCTDdengan membangun “trust”, memperluas jangkauan serta memperpendek waktu penyampaian layanan. Selain itu, organisasi dan lembaga di tingkat nasional dan lokal yang telah mengembangkan inisiatif serupa namun selama ini menjalankannya dalam diam, harus mulai bisa membangun aliansi, berbagi informasi, serta bicara terbuka pada publik untuk memastikan bahwa tidak ada satu perlawananpun yang dibiarkan bertarung sendirian.
Saatnya Membangkang
Skema DCTD merupakan kontribusi Yayasan Kurawal untuk memperpanjang nafas perlawanan di tengah pusaran kabar buruk yang terus mendera kita dalam tujuh tahun terakhir. Kabar buruk tentang undang-undang yang disahkan tanpa persetujuan dan partisipasi publik, mengabaikan rasa keadilan, serta menelikung konstitusi. Kabar buruk yang hadir tidak hanya saat kita terjaga namun menghampiri di kala kita lelap tentang independensi sistem peradilan yang dirontokkan.
Merujuk pada Power (2020), corak paling menonjol dari kemunduran demokrasi Indonesia di periode kedua Presiden Jokowi adalah masifnya penggelembungan kekuasaan eksekutif (executive aggrandisement). Kondisi ini mengacu pada proses di mana pemerintah yang tengah berkuasa melemahkan demokrasi dengan mengikis kontrol kelembagaan terhadap pelaksanaan kekuasaan eksekutif melalui pengaturan ulang mekanisme akuntabilitas kelembagaan, baik dengan melumpuhkan atau membongkar lembaga negara independen (yang berperan dalam pengawasan), membatasi kritik terhadap pemerintah, menghalangi aktivitas oposisi dalam lembaga perwakilan formal, atau bisa juga dengan secara sengaja mengabaikan batasan-batasan yang ada terhadap perilaku eksekutif.
Pemerintahan Jokowi mempersenjatai diri dengan penegakan hukum (executive weaponisation of law enforcement), yang, pada awal masa jabatan keduanya mencapai puncak yang tak tertandingi sejak runtuhnya Orde Baru. Singkatnya, pemerintah telah menindas berbagai bentuk ‘tantangan’ terhadap kekuasaannya dengan memanipulasi instrumen represif yang sudah ada dan mengeksploitasi kelemahan lanskap politik Indonesia pasca reformasi.
Pemusatan kekuasaan tersebut menyulut kemarahan namun sekaligus menghembuskan ketidakberdayaan terhadap mereka yang mencoba melawannya. Pencopotan hakim Mahkamah Konstitusi, Aswanto, oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang disetujui oleh Presiden Joko Widodo dengan mengangkat Guntur Hamzah sebagai Hakim Konstitusi yang baru dan melantiknya pada 23 November 2022 merupakan unjuk kekuatan terbaru tentang terkonsolidasinya kekuasaan di bawah presiden. Tidak mengherankan jika kemudian pemerintah berani mengeluarkan Perppu No. 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja tanpa adanya kegentingan yang memaksa dan mengabaikan perintah putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat serta meminta pemerintah memperbaikinya paling lama dalam 2 tahun.
Menciptakan perasaan tidak berdaya yang luas di khalayak untuk mematikan dorongan melawan merupakan strategi setiap penguasa yang berambisi menjadi tiran. Mengapa? Karena kuasa para tiran ditopang oleh kepatuhan dari rakyat yang mereka aniaya, bertumpu pada pilihan warga untuk tunduk dan terus bungkam, disokong oleh keengganan untuk melakukan pembangkangan. Kuasa tiran dipanen dari rasa tidak berdaya dari massa sehingga tidak ada yang lebih mereka takuti lebih dari perlawanan yang menggeliat dari rumah ke rumah, yang dibisikkan dari bilik ke bilik sebelum kemudian tumpah di jalanan.
Jayapura, Jakarta, Wadas, Sangihe, Pakel, Kinipan, Wae Sano, Poco Leok, Lambo. Satu suara bisa mendorong perubahan, namun dia tidak boleh dibiarkan sendirian. Kita harus ingat bahwa kuasa semua tiran dan rezim yang lalim punya masa kadaluwarsa. Rakyatlah yang memutuskan kapan saatnya mereka berakhir di keranjang sampah sejarah.Ketidakberdayaan, oleh karenanya, adalah tipu daya.
Karena itu, tidak boleh ada satu perlawananpun yang dibiarkan bertarung sendirian. Victor Yeimo, juru bicara Komite Nasional Papua Barat (KNPB) sedang menghadapi proses hukum di pengadilan Jayapura, Papua. Dia diadili atas tuduhan makar karena menyerukan tuntutan referendum bagi Papua dalam demonstrasi anti rasisme pada 19 Agustus 2019 di Jayapura. Semenjak ditangkap, Viktor telah ditahan dalam tahanan isolasi (solitary confinement) dan kerap dihalangi untuk mendapatkan layanan medis maupun bantuan hukum. Koalisi Penegak hukum dan HAM Papua yang terdiri dari berbagai organisasi bantuan hukum dan masyarakat sipil di Papua, seperti LBH Papua, PAHAM Papua, AlDP, PBH Cenderawasih, KPKC Sinode Tanah Papua, SKP Fransiskan Jayapura, Elsham Papua, Yadupa, serta WALHI Papua, menuntut proses persidangan dihentikan karena merupakan bentuk kriminalisasi terhadap pegiat pro-demokrasi Papua dengan menggunakan pasal makar untuk menyebarkan rasa takut dan mematikan aktivisme mereka.
Saling bantu, saling jaga. Itu satu-satunya pilihan yang kita punya. Chrisanctus Paschalis Saturnus (Romo Paschal), Ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian Pastoral Migran dan Perantau (KKPPMP) Keuskupan Pangkal Pinang, dilaporkan pejabat Badan Intelijen Negara (BIN) Daerah Kepulauan Riau Bambang Panji Prianggoro ke Polda Kepulauan Riau dan tengah menjalani pemeriksaan atas tuduhan pencemaran nama baik. Romo Pascal dituduh telah menyebarkan berita bohong melalui pelaporan yang bermula dari aduan masyarakat dan disampaikan ke dua belas instansi, termasuk Kepala BIN–Budi Gunawan, terkait pengiriman Pekerja Migran Illegal yang dibekingi oleh Bambang Panji. Surat itu menyebutkan bahwa Bambang melakukan intervensi terhadap kepolisian sehingga lima orang pelaku perdagangan orang dengan korban enam orang dibebaskan pada tanggal 7 Oktober 2022 oleh aparat di Polsek Pelabuhan Barelang, yang membawahi Pelabuhan Batam Center.Jaringan Hak Asasi Manusia Sikka yang terdiri dari sejumlah organisasi, yakni Pusat Penelitian Candraditya Maumere, Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif [ITFK] Ledalero, Pusat Pastoral Keuskupan Maumere, Majelis Antar Tarekat Religius Keuskupan Maumere, Tim Relawan untuk Kemanusiaan dan Peradi Maumere, serta Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan dari beberapa tarekat religius Katolik, seperti dari Keuskupan Maumere, SVD Ende dan SSpS, menuntut dihentikannya kriminalisasi atas Romo Paschal. Tuntutan serupa juga diajukan oleh Aliansi Warga Negara Kesatuan Republik Indonesia Anti Perbudakan dan Perdagangan Orang di Kupang.
Inisiatif DCTD Yayasan Kurawal ini merupakan upaya kecil untuk menularkan keberanian dan memberlanjutkan perlawanan untuk menahan agar demokrasi tidak makin surut dan ruang sipil jadi kian menciut. Skema ini merupakan peluk hangat bagi siapapun yang memutuskan untuk membangkang bahwa mereka tidak akan pernah sendirian.
Satu penanda yang tidak boleh luput dari perhatian kita adalah keputusan Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) untuk tidak menerima pengujian Pasal 218 ayat (1), Pasal 219, Pasal 240 ayat (1), dan Pasal 241 ayat (1) UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik terhadap presiden/wakil presiden dan lembaga negara/kekuasaan umum, termasuk dengan sarana teknologi informasi. Majelis menolaknya dengan alasan KUHP tersebut baru akan berlaku tiga tahun lagi yakni pada 2 Januari 2026, sehingga pasal-pasal KUHP yang digugat para pemohon belum berdampak atau menimbulkan kerugian konstitusional baik kerugian secara potensial (di masa depan) maupun aktual (saat ini). Keputusan terkini ini menjadi janggal karena sebelumnya Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 dan putusan Nomor 6/PUU-V/2007 pernah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam KUHP. Tak dapat disangkal bahwa putusan ini menunjukkan terjalnya upaya mempertahankan ruang kebebasan sipil ke depan.
Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman dalam pidatonya di depan Kongres AS pada 8 Agustus 1950 pernah mengatakan,“Once a government is committed to the principle of silencing the voice of opposition, it has only one way to go, and that is down the path of increasingly repressive measures, until it becomes a source of terror to all its citizens and creates a country where everyone lives in fear.” Peringatan itu jadi penting untuk konteks kita hari hari ini di Indonesia.
*Yayasan Kurawal bekerja untuk memperkuat praktik, lembaga, dan nilai-nilai demokrasi di Indonesia dan kawasan Asia Tenggara. Kurawal mendorong persemaian ide baru dan eksperimentasi bagi terwujudnya tatanan demokrasi yang bermartabat dan bermaslahat bagi warga negara. Informasi lebih lanjut dapat dijumpai dalam situs web kami: https://www.kurawalfoundation.org/.
Baca lebih lanjut informasi tentang skema Dana Cepat Tanggap Darurat Yayasan Kurawal dan bagaimana cara mengaksesnya di sini: https://www.kurawalfoundation.org/page/emergency-respond-fund