Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst yang telah dibacakan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada Kamis, 2 Maret 2023 yang lalu menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Putusan tersebut merupakan hasil gugatan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Partai Prima kepada KPU terkait sengketa proses pemilu, dimana pihak Partai Prima sebagai penggugat merasa mengalami kerugian materiil dan immateriil akibat rekapitulasi hasil verifikasi administrasi partai politik calon peserta pemilu yang dikeluarkan KPU pada tanggal 13 Oktober 2022 dengan berita acara nomor: 232/PL.01.1-BA/05/2022.
Secara filosofis, harus dipahami bahwa putusan hakim atau majelis hakim yang pada awalnya merupakan putusan yang bersifat individual atau majelis, namun pada saat palu hakim diketukkan sebagai tanda putusan, maka pada saat itu putusan hakim harus dipandang sebagai putusan pengadilan yang bersifat kelembagaan, karena setelah putusan hakim atau putusan majelis hakim tersebut diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum, maka putusan yang demikian telah menjelma menjadi putusan lembaga pengadilan dan telah menjadi milik publik.
Masalah Yuridis
Putusan hakim yang tidak dapat cukup pertimbangan merupakan masalah yuridis. Akibatnya, putusan hakim yang seperti itu, dapat dibatalkan pada tingkat banding atau kasasi karena dianggap melanggar salah satu asas dalam membuat putusan, yaitu asas memuat dasar alasan yang jelas dan rinci. Ketentuan tentang ini sudah secara tegas diatur dalam Pasal 50 Ayat 1 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berisi bahwa putusan pengadilan, selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
Jika memperhatikan sengketa antara Partai Prima dan KPU ini, maka sengketa ini digolongkan pada sengketa proses pemilu. UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur dan membagi kerangka penegakan hukum dalam 2 (dua) jenis, yaitu pelanggaran dan sengketa. Pelanggaran di dalam UU Pemilu terbagi menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu pelanggaran administratif, pelanggaran kode etik, dan pelanggaran pidana. Sedangkan untuk sengketa dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu sengketa proses dan sengketa hasil. Dan apabila terdapat permasalahan hukum berupa sengketa, maka lembaga yang diberi kewenangan untuk menyelesaikan adalah Bawaslu, PTUN, dan MK.
Mengenai pelanggaran administratif pemilu, diatur dalam ketentuan Pasal 460 ayat (1) UU Pemilu. Dan untuk penyelesaian dugaan pelanggaran administratif pemilu merupakan kewenangan dari Bawaslu. Ini diatur dalam Pasal 461 ayat (1) UU Pemilu, yang menerangkan bahwa Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota menerima, memeriksa, mengkaji, dan memutus pelanggaran administratif pemilu.
Gugatan PMH Partai Prima vs KPU
Jika melihat dari bentuk kerugian yang dimaksud oleh Partai Prima adalah perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) dari kebijakan secara administratif KPU dalam proses verifikasinya, maka posisi onrechtmatige daad KPU dalam konteks penyelenggaraan teknis pemilu adalah tidak tepat, dengan alasan bahwa sengketa antara Partai Prima dengan KPU merupakan sengketa proses pemilu. Secara materiil, apa yang dilakukan oleh Partai Prima, yaitu proses verifikasi parpol, merupakan syarat yang sudah ditentukan oleh KPU dalam PKPU 3/2022 tentang Tahapan dan Penyelenggaraan Pemilu 2024. Dengan demikian, tindakan Partai Prima adalah tindakan yang masuk dalam ranah UU Pemilu. Maka dari itu, sesuai dengan ketentuan UU Pemilu, kompetensi absolut yang dapat menyelesaikan sengketa tersebut adalah Bawaslu dan PTUN karena terkait dengan proses dan tahapan penyelenggaraan pemilu.
Jika memperhatikan salinan Putusan PN Jakpus No. 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, harusnya sengketa ini sudah putus di tangan Bawaslu pada tanggal 4 November 2022 yang lalu dengan Putusan Penyelesaian Bawaslu RI No. 002/PS.REG/BAWASLU/X/2022. Dan terhadap putusan Bawaslu tersebut, KPU telah menanggapinya dengan Surat KPU RI No. 1063/PL.01.1-SD/05/2022. Apabila KPU tidak menindaklanjuti putusan Bawaslu, maka sesuai Perbawaslu No. 21 Tahun 2018, Bawaslu dapat melaporkan KPU kepada DKPP sebagai bentuk pelanggaran etik.
Asas Memuat Dasar Alasan yang Jelas dan Rinci
Partai Prima sebagai penggugat pernah mengajukan dismissal proses ke PTUN terkait perkara ini, namun pihak PTUN tidak menerima gugatan ini dengan alasan bahwa berita acara bukan merupakan keputusan KPU yang terungkap dari keterangan saksi bernama Bin Bin Firman Tresnadi. Mungkin saja pihak penggugat merasa tidak puas dengan upaya hukum yang pernah ditempuhnya melalui Bawaslu dan PTUN sehingga menempuh gugatan perdata ke PN Jakarta Pusat. Akan tetapi, harusnya majelis hakim objektif melihat persoalan ini, misalnya memperhatikan hubungan antara objek perkara, kompetensi absolut pengadilan negeri dengan putusan yang akan diterbitkan kemudian. Jadi, majelis tidak bisa menafsirkan suatu sengketa jika itu diluar dari kompetensi absolutnya, walaupun melekat asas ius curia novit pada hakim.
Jika sudah lahir putusan pengadilan yang bukan kompetensinya dalam mengadili dan melanggar asas memuat dasar alasan yang jelas dan rinci, maka di tingkat banding atau kasasi nanti, apabila pihak yang merasa dirugikan atas putusan pengadilan, dapat melakukan upaya hukum. Dengan demikian, putusan tingkat pertama ini berpeluang untuk dibatalkan.