Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Mengembalikan "Rumah" Sebagai Pendidikan Anak

image-profil

Dosen Sosiologi FIS UNJ

image-gnews
Mario Dandy berfoto di Sabana Gunung Bromo dengan mobil Jeep. Istimewa
Mario Dandy berfoto di Sabana Gunung Bromo dengan mobil Jeep. Istimewa
Iklan

BEBERAPA pekan ini publik sedang ramai membahas video yang beredar di media sosial terkait aksi kekerasan yang dilakukan oleh oknum anak pejabat pajak terhadap anak salah satu pengurus organisasi masyarakat berbasis keagamaan. Pada video tersebut nampak adegan sadis dan tidak terkendali emosi pelaku dalam melakukan kekerasan terhadap korban yang sudah terkapar tidak berdaya. Atas perbuatan pelaku, membuat korban mengalami kondisi koma dan mengalami trauma di kepala atau anomia. 

Kasus ini pun membuat geram publik, apalagi yang melihat video tersebut. Kasus kekerasan yang dilakukan oleh salah satu pelaku juga turut menyeret orangtua pelaku beserta kekayaannya yang terbilang fantastis nilainya hingga 56 miliar. Bahkan orang tua pelaku saat ini dicopot jabatannya dan harus menjalani pemeriksaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan ketidakwajaran kekayaannya, baik yang terdaftar maupun tidak terdaftar di Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).

Pada aspek sosiologis, apa yang dilakukan oknum pelaku kekerasan anak pejabat pajak tersebut merupakan konsekuensi dari pola asuh orang tua dan kondisi era masyarakat digital saat ini. Apalagi di tengah tuntutan kehidupan yang tinggi, khususnya pada masyarakat perkotaan, memaksa orangtua disibukan dengan rutinitas pekerjaan maupun aktivitas sosial lainnya sehingga mulai turun perhatiannya terhadap peran dan fungsinya terhadap anak. Namun ada juga orangtua yang walaupun sibuk dengan rutinitas pekerjaan maupun aktivitas sosial lainnya, tetap berjalan baik peran dan fungsinya terhadap anak. Hal ini tentu tergantung bagaimana orang tua menempatkan hubungan posisi peran dan fungsinya dengan anak.

Pola Asuh Cermin Perilaku Anak
Pola asuh orang tua dapat dimaknai sebagai gambaran tentang sikap dan perilaku orang tua dalam kontak sosial dengan anak selama mengadakan kegiatan pengasuhan untuk membentuk perilaku anak sesuai nilai dan norma yang ada. Pada pola asuh keluarga saat ini khususnya di perkotaan, setidaknya terdapat 4 pola asuh. 

Pertama, pola pengasuhan otoriter (authoritarian parenting). Pada pola ini, umumnya orang tua membatasi, mendesak anak untuk mengikuti arahan mereka, dan memberikan hukuman tegas jika melanggarnya. Bahkan tidak segan orang tua yang otoriter sering memukul anak dan menunjukkan kemarahan kepada anak tanpa menjelaskan maksudnya.

Kedua, pola pengasuhan demokratis (authoritative parenting). Pada pola ini, umumnya orang tua membangun komunikasi yang baik antara anak dan orang tua. Selain itu orang tua turut melibatkan diri dan berdiskusi tentang masalah yang dialami anak dan mengajarkan anak agar melakukan segala sesuatu secara mandiri dengan rasa tanggung jawab dan mencerminkan rasa kasih sayang.

Ketiga, pola pengasuhan yang membiarkan (permissive indulgent). Pada pola ini, umumnya orang tua sangat terlibat dengan anak – anak mereka melalui proses memanjakannya namun hanya sedikit menuntut atau mengendalikan mereka. Pola semacam itu membiarkan anak melakukan apa yang mereka inginkan, sehingga anak tidak pernah belajar mengendalikan perilaku mereka sendiri dan selalu berharap mendapatkan apa yang mereka inginkan. 

Keempat, pola asuh mengabaikan (permissive indifferent). Pada pola ini, umumnya orang tua tidak terlibat dalam kehidupan anak-anak mereka. Orang tua yang menerapkan pola pengasuhan ini tidak memiliki banyak waktu untuk bersama anak-anak mereka, sehingga menyebabkan anak tidak terbangun kecakapan sosialnya dengan keluarga dan lingkungan sekitarnya. Selain itu juga anak berpotensi memiliki kontrol diri yang buruk dan tidak menangani kemandirian hidupnya dengan baik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Berkaitan dengan pola asuh di atas, oknum pelaku kekerasan yang juga anak pejabat pajak ini dalam melakukan tindakan kekerasan rupanya sudah terbiasa jika ada masalah hukum oleh orang tuanya sering dibantu, misalnya persoalan tilang dan pemalsuan plat kendaraan. Selain itu juga pelaku merasa dengan kekayaan orang tuanya, tindakan kekerasan yang dilakukan dapat dikonversi untuk membeli sanksi hukum. Maka tidak heran saat pelaku menganiaya korban, pelaku mengatakan bahwa pihaknya tidak takut kalau korban meninggal dan dilaporkan. 

Perilaku pelaku mencerminkan pola asuh dari orang tua pelaku. Bentuk pola pengasuhan yang membiarkan (permissive indulgent) membuat pelaku terbiasa melakukan flexing dan kemudian bertindak arogan diluar kontrol dirinya. Pada konteks sosiologi keluarga, William J. Goode (2004) menjelaskan bahwa saat anak melakukan suatu perilaku dalam kehidupannya, maka tidak lepas dengan cerminan pola asuh dalam keluarganya itu sendiri. Dengan demikian, begitu vital peran orang tua membentuk perilaku anak sesuai dengan nilai dan normal yang ada dalam pola asuhnya. Apalagi mengingat di era masyarakat digital saat ini dan era kesibukan bekerja orang tua serta rasa lelah perjalanan dari rumah ke tempat kerja dan sebaliknya, semakin membuat tantangan dalam menjalankan pola asuh semakin berat. Kondisi tantangan peran orang tua terhadap anak saat ini yang kemudian juga memicu maraknya gerakan childfree di media sosial.

Mengembalikan “Rumah” Sebagai Pendidikan Anak
Pelaku yang merupakan generasi Z ini pada umumnya sulit menghadapi tekanan sosial, insubordinat, manja, sombong, dan arogan. Oleh karena itu tidak heran jika pelaku seringkali melalui media sosialnya melakukan flexing kendaraan dan gaya hidup mewah. Perilaku sosial pelaku semakin terhabituasi dengan tidak adanya perhatian serius dari pihak orang tua untuk mengendalikan sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan pelaku, baik dalam kehidupan sosial maupun di media sosialnya. 

Tidak hanya pelaku, perilaku flexing dan arogansi ini juga seringkali dilakukan oleh oknum generasi Z bahkan generasi Alpha lain yang nampak dan viral di media sosial. Sehingga fenomena ini kemudian dapat menjadi imitasi sosial yang tidak baik bagi individu-ndividu lain. Apalagi mengingat saat ini pada generasi Z maupun Alpha identik dengan Fear of Missing Out (FOMO). Maksud dari FOMO, yakni mereka akan merasa dirinya kurang pergaulan, takut dicap tidak gaul oleh temannya, dan cemas jika belum mencoba tren yang sedang viral di internet.

Harus diakui arus informasi yang menggunakan perantara internet tidak bisa terbendung. Maka untuk itu jika peran keluarga mengalami disfungsi, maka internet akan mengambil kendali sebagai role mode perilaku generasi Z maupun Alpha. Internet ini dapat menjadi role model yang positif maupun negatif.  Bisa saja agresivitas yang dilakukan pelaku selain pola asuh orang tua yang membiarkan (permissive indulgent), juga terstimulus oleh tayangan yang bersumber dari internet berupa film maupun game online

Bercermin dari beberapa kasus yang terjadi terkait dinamika sosial pada generasi Z maupun Alpha, maka penting mengembalikan peran “rumah” sebagai sekolah utama anak menginternalisasi nilai dan norma yang baik. Harus diakui bahwa gagalnya pendidikan anak disebabkan hilangnya peran “rumah” dalam pendidikan anak. Persepsi mengenai pendidikan anak itu hanya ada di sekolah dan orang tua menyimpan harapan besar terhadap sekolah, harus dihapuskan. Sebab justru “rumah” menjadi sekolah pertama dan bernaung bagi anak. Melalui “rumah”, orang tua memainkan perannya masing-masing ditengah kesibukan pekerjaan maupun aktivitas sosial lainnya saat ini. Disini peran Ayah sebagai kepala sekolah, sedangkan ibu sebagai gurunya. Jika peran orang tua berfungsi dengan baik, maka anak akan berkembang dengan baik. Namun jika disfungsi peran orang tua, maka jangan harap anak akan berkembang dengan baik. 

Setiap anak tidak berharap dilahirkan, tetapi orang tuanyalah yang memilih anak tersebut lahir ke dunia. Untuk itu, anak tidak berhutang apa pun kepada orang tuanya, tetapi orang tuanyalah yang berhutang tanggungjawab pada kehidupannya untuk menjadi pribadi yang baik sesuai nilai dan norma yang ada. Anak dapat mengangkat harkat dan martabat orang tuanya, namun anak juga dapat menjatuhkan harkat dan martabat orang tuanya. Tinggal bagaimana orang tua memilih mendidik anaknya. Untuk itu kasus flexing dan kekerasan yang dilakukan oknum anak pejabat pajak, menjadi momentum merefleksikan vitalnya peran “rumah” bagi karakter anak, terlepas orang tua itu kaya ataupun tidak.

Iklan

Berita Selanjutnya



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Tips Berwisata saat Musim Hujan agar Rencana Liburan Tidak Berantakan

6 jam lalu

Ilustrasi gaya liburan (pixabay.com)
Tips Berwisata saat Musim Hujan agar Rencana Liburan Tidak Berantakan

Mulai dari memilih tempat yang tepat sampai jadwal penerbangan, berikut traveling saat musim hujan.


Pemilihan Presiden Tanpa Penyalahgunaan Jabatan

1 hari lalu

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menyampaikan paparan dihadapan ribuan orang kepala desa dan pengurus Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia di GOR C-Tra Arena, Bandung, Jawa Barat, 23 November 2023. Prabowo Subianto bersama mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan mantan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi, menghadiri Rakerda Apdesi Jawa Barat yang dihadiri sekitar 5.000 orang kepala desa dan pengurus pemerintah desa. TEMPO/Prima Mulia
Pemilihan Presiden Tanpa Penyalahgunaan Jabatan

Agar pemilihan presiden dan wakil presiden terhindar dari mudarat kecurangan dan ketidakadilan, semestinya para menteri dan kepala daerah yang menjadi calon melepas jabatan.


4 hari lalu


Bapak-isme

8 hari lalu

Ribuan mahasiswa menduduki Gedung MPR/DPR saat unjuk rasa menuntut Soeharto mundur sebagai Presiden RI, Jakarta, Mei 1998. Selain menuntut diturunkannya Soeharto dari Presiden, Mahasiswa juga menuntut turunkan harga sembako, dan cabut dwifungsi ABRI. TEMPO/Rully Kesuma
Bapak-isme

Adakah jalan untuk mencegah kemunduran demokrasi? Panduan dari Bung Hatta perlu dijadikan pedoman


Wajah Kusam Penegakan Hukum

8 hari lalu

Kepala Kejaksaan Negeri Bondowoso, Puji Triasmoro (depan) dan Kepala seksi Tindak Pidana Khusus Kejari Bondowoso, Alexander Kristian Diliyanto Silaen, resmi memakai rompi tahanan seusai menjalani pemeriksaan pasca terjaring Operasi Tangkap Tangan KPK, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Kamis, 16 November 2023. KPK resmi meningkatkan status perkara ke tahap penyidikan dengan menetapkan dan melakukan penahanan secara paksa selama 20 hari pertama terhadap 4 orang tersangka baru Kepala Kejaksaan Negeri Bondowoso, Puji Triasmoro dan Kepala seksi Tindak Pidana Khusus Kejari Bondowoso, Alexander Kristian Diliyanto Silaen, dua orang pengendali CV. Wijaya Gumilang, Yossy S. Setiawan dan  Andhika Imam Wijaya, serta mengamankan barang bukti uang tunai sebesar Rp.225 juta dalam tindak pidana korupsi berupa pemberian hadiah atau janji dalam rangka pengurusan perkara di Kejaksaan Negeri Bondowoso Jawa Timur. TEMPO/Imam Sukamto
Wajah Kusam Penegakan Hukum

Satu per satu aparat penegak hukum tertangkap kasus korupsi. Nasib penegakan hukum kian buram.


Fanatisme Pemilih Indonesia Dalam Kontestasi Politik

8 hari lalu

Ilustrasi Pemilu. ANTARA
Fanatisme Pemilih Indonesia Dalam Kontestasi Politik

Ada sebuah tantangan besar bagi penyelenggara pemilu dan Pemerintah dalam pengejawantahan demokrasi tersebut yakni fanatisme politik dari sebagian pemilih di Indonesia.


Bamsoet Dukung Perlindungan Hak Intelektual Pendidikan

14 hari lalu

Bamsoet Dukung Perlindungan Hak Intelektual Pendidikan

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menjadi penguji ahli disertasi mahasiswa S3 Ilmu Hukum UNPAD yang mengangkat tema tentang Urgensi Pengaturan Penggandaan Karya Tulis Ilmiah di Perguruan Tinggi.


Lika-liku Mahkamah Konstitusi dan Gejala Kemerosotan Sejak 2020

14 hari lalu

Sebagian demonstran di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, yang mendatangi Gedung Mahkamah Konstitusi (MK)  hari ini, Senin 16 Oktober 2023. MK membacakan putusannya atas sejumlah gugatan terhadap batasan usia capres dan cawapres. Tempo/ I Gusti Ayu Putu Puspasari.
Lika-liku Mahkamah Konstitusi dan Gejala Kemerosotan Sejak 2020

Majalah Tempo pada Maret lalu menyebut Mahkamah Konstitusi atau MK mengalami kemerosotan sejak 2020.


Wajah Neo Orba di Ujung Pemerintahan Jokowi

15 hari lalu

Ekspresi Presiden Joko Widodo saat membuka Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Penyelenggara Pemilu di Jakarta, Rabu 8 November 2023. Rakornas diikuti sekitar 1.200 penyelenggara pemilu yang terdiri dari dari Ketua KPU dan Ketua Bawaslu provinsi dan kabupaten/kota serta Sekretaris KPU se-Indonesia. TEMPO/Subekti.
Wajah Neo Orba di Ujung Pemerintahan Jokowi

Intimidasi menimpa sejumlah kalangan dan kelompok yang menentang dinasti politik keluarga Jokowi. Meniru tindakan lancung Soeharto.


Kesempatan MKMK Menjaga Demokrasi

22 hari lalu

Anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie memimpin rapat rapat MKMK di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis 26 Oktober 2023. Rapat dengan  agenda klarifikasi kepada pihak-pihak terkait laporan dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi. TEMPO/Subekti.
Kesempatan MKMK Menjaga Demokrasi

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi akan membuat putusan penting besok. Kesempatan menyelamatkan demokrasi.