Rasa penasaran berakhir saat palu keadilan diketuk oleh Majelis Hakim Yang Mulia di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, setelah kurang lebih 4 bulan Indonesia dibayang-bayangi dengan proses persidangan atas sebuah peristiwa tindak pidana pembunuhan berencana yang diprakarsai dan dirancang oleh seorang Intelectual Dader mantan Pejabat Tinggi Polri bersama-sama dengan Istri serta para anak buahnya. Melihat dan mendengar Putusan tersebut sontak masyarakat Indonesia terkejut tentunya juga spontan melahirkan berbagai macam pro kontra atas 4 putusan yang telah dibacakan Majelis Hakim secara berturut-turut dalam waktu 3 hari yakni dari hari Senin 13 Februari hingga hari Rabu 15 Februari terdiri dari pembacaan Putusan Terdakwa FS, Terdakwa PC, Terdakwa KM, Terdakwa RR, dan di hari terakhir Terdakwa RE.
Seluruh putusan tersebut tentu terbit dari hasil musyawarah panjang Majelis Hakim yang dibacakan pada persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dan menariknya putusan ini sangat unpredictable sebab tidak sedikitpun Amar Putusan Majelis Hakim mendekati daripada Tuntutan yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum. Namun Putusan paling mencolok serta sangat jauh dari pada tuntutan ialah Putusan dari Terdakwa RE yang merupakan seorang eksekutor penembakan pada tragedi Pembunuhan Berencana di Duren Tiga Jakarta Selatan, ia divonis pidana penjara hanya 1 tahun dan 6 bulan sedangkan tuntutan Jaksa Penunutut Umum untuknya pidana penjara selama 12 tahun penjara.
Baca Juga:
Menurut pandangan penulis, sikap Majelis Hakim yang memberikan Putusan kepada Terdakwa RE sudah sangat tepat dan tidak menciderai Keadilan sebab dalam Ratio Legis pada kajian pidana modern bermuara di Restorative Justice, dalam ruang lingkup menyoal tentang diskresi pada perkara pidana Majelis Hakim tetap sebagai corong daripada Undang-Undang tentunya bebas membuat pertimbangan maupun dengan cara mengenyampingkan asas legalitas demi tercapainya Keadilan Subjektif yang diiringi dengan sifat Judge Made Law hal ini sudah lumrah dipraktikan karena percampuran hukum antara Civil Law dengan Common Law di beberapa negara modern juga telah menjadi salah satu kebiasaan.
Setelah melihat dan mendengar pertimbangan hukum-hakim hingga amar putusan yang dibacakan oleh Majelis Hakim atas nama Terdakwa RE sepertinya telah membantu menjawab sekaligus membuktikan bahwa tidak ada dilema yuridis dalam teknis pertimbangan hukum hakim melihat status Terdakwa RE yang juga direkomendasikan sebagai Justice Collaborator oleh LPSK. Oleh karenanya sudah sangat tegas Majelis Hakim tidak mengeyampingkan nilai-nilai yang tertuang pada Pasal 10 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Surat Edaran Mahkamah Agung No.4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborators) di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.
Melalui Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dibacakan pada Rabu, 15 Februari 2023 tersebut, Majelis Hakim juga telah menetapkan Terdakwa RE sebagai Justice Colaborator dalam perkara tersebut dan untuk itu penghargaan atas pengakuan serta bantuan saksi pelaku kejahatan untuk memberikan keterangan yang jujur mestilah dipenuhi Majelis Hakim kepada Terdakwa RE. Tentu di lain sisi Putusan Majelis Hakim ini juga menimbulkan kontra seperti halnya ada yang menyebut bahwa Terdakwa RE lah yang mengeksekusi Almarhum JH namun dari perspektif yang terbalik tanpa adanya Terdakwa RE membuka tabir kejahatan ini dapat menjadi perilaku busuk yang tersimpan dalam selimut kejahatan intelektual.
Lantas bagaimana selanjutnya nasib dari Terdakwa RE atas hukuman penjara 1 tahun 6 bulan sebagai ganjaran akibat tidak menolak perintah komando bernada sumbang dari komandan yang sangat ia hormati dan patuhi tersebut? Berkaitan dengan hal ini penulis mempunyai pandangan sederhana yakni Terdakwa RE sudah tentu mendapatkan hukuman penjara 1 tahun 6 bulan dengan potongan masa tahanan selama kurang lebih 7 bulan ini yang telah ia jalani, secara matematis hukuman pidana penjara Terdakwa RE ialah 18 bulan dengan dipotong masa tahanan semenjak 02 Agustus 2022 hingga 15 Februari 2023 kurang lebih telah mencapai 6 bulan jadi Terdakwa RE menyisakan kurang lebih 1 tahun lagi hukuman penjara jika merujuk pada Permenkumham No 32 Tahun 2020 untuk mengajukan Pembebasan Bersyarat salah satu syaratnya ialah telah menjalani masa pidana 2/3 dari masa pidana tersebut minimal 9 bulan.
Artinya dari hitungan matematis di atas kurang lebih dalam waktu 3 bulan ke depan terhitung dari pembacaan Putusan Terdakwa RE dengan didukung syarat-syarat formil pembebasan bersyarat yang lain terpenuhi ia berhak mendapatkan pembebasan bersyarat atau dalam arti lain ia dapat menjalankan pembinaan dari luar Lembaga Pemasyarakatan, dan jika ingin menakar lebih lanjut terhitung setelah pembebasan bersyarat Terdakwa RE berpeluang dapat menghirup udara segar atau bebas murni pada bulan Februari 2024. Walaupun begitu pandangan berbeda dalam melihat vonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan juga merupakan sesuatu yang wajar terutama bagi para pelajar ilmu hukum, akademisi hukum, dan praktisi hukum. Terakhir analisa dari penulis di atas bisa saja tak sesuai dengan realita di hari esok mengingat para pihak masih memiliki hak upaya hukum dan karakteristik dari ilmu hukum yang masih bersifat dinamis.