Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Kenapa ERP adalah Keharusan

image-profil

Penulis adalah salah seorang pendiri lembaga konsultansi Lestari Negeriku dan sukarelawan untuk B2W Indonesia

image-gnews
Sejumlah kendaraan bermotor melintas di gerbang Electronic Road Pricing (ERP) saat uji coba di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Senin, 12 November 2018.Kementerian Perhubungan berencana memberlakukan kebijakan Electronic Road Pricing (ERP) alias jalan berbayar guna mendorong masyarakat menggunakan transportasi umum atau publik. TEMPO/Muhammad Hidayat
Sejumlah kendaraan bermotor melintas di gerbang Electronic Road Pricing (ERP) saat uji coba di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Senin, 12 November 2018.Kementerian Perhubungan berencana memberlakukan kebijakan Electronic Road Pricing (ERP) alias jalan berbayar guna mendorong masyarakat menggunakan transportasi umum atau publik. TEMPO/Muhammad Hidayat
Iklan

DI JAKARTA, seperti di banyak kota besar lain, kendaraan bermotor menjadi raja jalanan. Kondisi ini menyebabkan pemerintah kota, juga warga kota dan masyarakat yang tinggal di kawasan sekitarnya, seakan-akan mengenakan kacamata kuda dan kesulitan melihat kemungkinan lain yang bisa diwujudkan melalui penerapan electronic road pricing (ERP). Padahal tidak mesti demikian.

Bertahun-tahun kondisi itu dibentuk oleh penyediaan prasarana yang terus-menerus memanjakan dan mengokohkan dominasi kendaraan bermotor, subsidi bahan bakar minyak, dan pengembangan kawasan yang acakadut. Akibatnya, dampak-dampak negatif yang sebetulnya tak bisa disepelekan menjadi tersisihkan. Berbagai dampak itu: polusi udara yang terus memburuk, kemacetan yang bertambah menggila, tingkat kematian di jalan yang tinggi, dan risiko kesehatan bagi publik karena malas bergerak (sedentary lifestyle).

Baca Juga:

Selama ini sudah kelewat banyak yang memaparkan seberapa parah problem-problem tersebut. Polusi udara menjadi sebab lima juta lebih kasus kesehatan per tahun yang menelan biaya di atas Rp 6 triliun; kemacetan merugikan ekonomi yang ditaksir sekurang-kurangnya Rp 51 triliun setiap tahun; tabrakan di jalan menghilangkan 2-3 nyawa per jam; dan biaya kesehatan yang harus dikeluarkan untuk mengatasi penyakit-penyakit akibat obesitas—penyakit jantung dan stroke, diabetes, dan lain-lain—terus membengkak.

Yang juga tak kalah gentingnya adalah ketergantungan kronis akibat kebijakan salah kaprah itu menyebabkan terbelahnya publik ketika kebersamaan justru sedang dibutuhkan untuk menanggulangi masalah-masalah yang ada, juga tantangan paling berat yang dihadapi masyarakat saat ini: krisis iklim.

Krisis iklim merupakan fenomena yang sudah lama diketahui penyebabnya, yakni ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Di perkotaan di seluruh dunia, sektor transportasi merupakan sumber terbesar emisi akibat penggunaan bahan bakar fosil--emisi menghasilkan gas rumah kaca, penyebab krisis iklim, dan mengotori udara dengan polutan yang berbahaya bagi kesehatan. Di Jakarta, menurut kajian Vital Strategies dan Dinas Perhubungan DKI Jakarta pada 2020, angkanya bisa mencapai 70 persen.

Sangat jelas, sebenarnya, apa solusi dari masalah-masalah yang bukan semata-mata isu kemacetan itu: mengurangi penggunaan kendaraan bermotor. Ini merupakan keniscayaan. Jika pemerintah Jakarta mau bersungguh-sungguh menanggulangi semua dampak negatif ketergantungan terhadap kendaraan bermotor, implementasi ERP, sebagai strategi yang bersifat memaksa (push factor), tak bisa tidak harus direalisasikan.

Singapura, yang telah menerapkannya sejak April 1998, hampir selalu disebut dalam pembahasan mengenai ERP. Tapi ERP sebetulnya hanya satu jenis skema pungutan biaya bagi kendaraan bermotor yang mau melewati suatu jalan. Ada skema lain, misalnya low emission zone charge. Tapi, apa pun skemanya, yang sebenarnya perlu diketahui adalah bagaimana penerapannya bisa mencapai tujuan. Efektifkah? Apa alternatifnya? Bagaimana bila skema-skema itu dibandingkan dengan langkah-langkah lain?

Kimberly Nicholas dan Paula Kuss dari Lund University Centre for Sustainability Studies menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut melalui kajian terhadap hasil dari langkah-langkah yang telah dijalankan di kota-kota di Eropa. Hasil atau temuan dari langkah-langkah itu diperoleh dari hampir 800 laporan dan studi kasus yang telah melewati telaah sejawat, yang dipublikasikan sejak 2010.

Peringkat Teratas Strategi Pengurangan Kendaraan Bermotor

Intervensi

Elemen Sanksi

Elemen Insentif

Congestion charge

Pengemudi membayar untuk masuk kota

Pendapatan dimanfaatkan untuk memperkuat sistem transportasi lestari

Pengendalian parkir dan lalu lintas

Mengurangi tempat parkir, mengubah rute lalu lintas

Mengalihkan tempat parkir jadi jalur sepeda dan trotoar; menambah jalan bebas kendaraan bermotor

Zona lalu lintas terbatas

Membatasi kendaraan bermotor di sebagian kawasan kota (kecuali penghuni)

Denda dari pelanggaran digunakan untuk mendanai angkutan umum

Layanan mobilitas bagi pelaju

Karyawan diberi kartu bebas angkutan umum, lalu disediakan angkutan terbatas menuju kantor

Biaya parkir di tempat kerja

Pengemudi membayar parkir di tempat kerja

Skema pemberian uang untuk penggunaan angkutan umum; pendapatan parkir untuk mendanai angkutan umum

Sumber: Kimberly Nicholas, “12 Best Ways to Get Cars Out of Cities”, The Conversation, 14 April 2022

Nicholas dan Kuss secara khusus berupaya membuat peringkat untuk 12 langkah yang secara kuantitatif terbukti paling efektif (lima di antaranya ada dalam tabel). Peringkat ini dinilai merupakan refleksi dari keberhasilan mengurangi penggunaan kendaraan bermotor dan juga memperbaiki kualitas kehidupan serta mobilitas yang lestari bagi warga kota.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hasilnya? Dari 12 langkah itu, tidak salah jika fokus diarahkan ke tiga urutan teratas yang secara langsung bisa dijalankan pemerintah kota. Tindakan yang paling efektif adalah congestion charge atau pungutan untuk memasuki kawasan macet (skema yang serupa dengan ERP). Pungutan ini bisa mengurangi volume kendaraan di perkotaan antara 12 dan 33 persen.

Di urutan kedua dan ketiga adalah pemberlakuan jalan bebas kendaraan bermotor serta pembangunan jalur sepeda terproteksi, dan penetapan larangan masuk bagi kendaraan bermotor di sebagian kawasan kota. Masing-masing dari kedua langkah ini bisa merealisasikan pengurangan volume kendaraan bermotor 11-19 persen dan 10-20 persen.

Tentu saja, bisa timbul perkiraan tentang bagaimana hasilnya jika langkah-langkah itu dijalankan simultan. Dalam kenyataannya, begitulah yang berlaku di kota-kota yang pengalaman dan keberhasilannya dikaji: tidak ada langkah tunggal, selalu berupa kombinasi. Inilah yang sebetulnya diperlukan di Jakarta.

Dengan kata lain, ERP saja tidak akan cukup. Meski demikian, argumentasi yang selalu diajukan bahwa “ERP boleh saja diberlakukan tapi benahi dulu angkutan umum” atau “ERP baik tapi… [alasan yang lain]” tidak serta-merta harus diakomodasi. Ini logika usang telur atau ayam dulu. Dengan kegentingan situasinya, sebuah langkah bagaimanapun harus dimulai; langkah ini bisa dari mana saja dalam kondisi yang ada. ERP tampaknya merupakan keniscayaan sebagai “langkah pertama dalam perjalanan seribu kilometer”.

Kebijakan yang baik mestinya tidak didasarkan atas keberatan-keberatan dari kelompok tertentu yang selama ini menikmati privilese, mendapat prioritas. Dasar kebijakan untuk kepentingan yang luas haruslah kajian ilmiah, atau, sekurang-kurangnya, pelajaran dari pengalaman yang ada, dari mana pun asalnya. Penerapan ERP di banyak kota sesungguhnya telah memperlihatkan bahwa ia berpotensi membukakan mata sebagian publik yang selama ini tergantung pada kendaraan bermotor pribadi bahwa ada kemungkinan lain.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


19 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

25 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.


Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.


Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Tangkapan layar tayangan video Tempo.co berisi kampanye Prabowo Subianto di Riau, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024.
Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.


Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) dan Wakil Ketua MK Aswanto (tengah) meninggalkan ruang sidang seusai mengikuti sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa 28 Januari 2020. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.


Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

15 Januari 2024

Mantan Menkominfo Johnny G. Plate divonis 15 tahun penjara setelah ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Mei 2023 dalam kasus korupsi proyek pembangunan Base Transceiver Station (BTS) 4G yang dikerjakan Kemenkominfo. Johnny bersama sejumlah tersangka lainnya diduga melakukan pemufakatan jahat dengan cara menggelembungkan harga dalam proyek BTS dan mengatur pemenang proyek hingga merugikan negara mencapai Rp 8 triliun. TEMPO/M Taufan Rengganis
Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

PPATK menemukan 36,67 persen aliran duit dari proyek strategis nasional mengalir ke politikus dan aparatur sipil negara. Perlu evaluasi total.