Editorial Tempo.co
---
Sungguh malang Hasya Atallah Syahputra. Sudah jadi korban tewas akibat kecelakaan lalu lintas, dikambinghitamkan sebagai tersangka pula.
Meski polisi menghentikan penyidikan pada 16 Januari 2023 lantaran tersangka sudah meninggal, penetapan status tersebut mengusik nalar dan rasa keadilan. Hasya menjadi tersangka atas kecelakaan Jalan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan, 6 Oktober 2022, yang mengakibatkan dirinya tewas. Polisi menjeratnya dengan Pasal 310 Ayat 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang menyebutkan bahwa pelaku atau tersangka dalam kecelakaan adalah orang yang mengakibatkan orang lain luka berat atau meninggal.
Dari sisi konstruksi hukum, polisi jelas keliru. Hasya tak patut mendapat label tersangka karena sudah meninggal dan bukan lagi merupakan subjek hukum. Alasan polisi menjadikan Hasya sebagai tersangka karena lalai dalam berkendara yang menyebabkan dirinya meninggal juga bisa diperdebatkan. Sebelum terlindas mobil Eko Setia Budi Wahono, pensiunan Polri berpangkat Ajun Komisaris Besar Polisi, Hasya terjatuh karena menghindari tabrakan dengan kendaraan di depannya, bukan meleng atau abai.
Di luar konstruksi hukumnya yang serampangan, kebiasaan polisi memproses kasus secara diam-diam dan tidak transparan harus dihentikan. Sejak semula penanganan kasus kecelakaan Hasya laksana berjalan dalam lorong gelap. Mulai dari pembuatan laporan, penyelidikan, penyidikan, penetapan tersangka, hingga pencabutan status tersangka berjalan tanpa transparansi. Menurut klaim keluarga Hasya, Polres Jakarta Selatan juga tidak menindaklanjuti laporan pengaduan orang tua Hasya.
Sejak kasus ini bergulir, kritik masyarakat atas buruknya penanganan Polres Jakarta Selatan menggema di mana-mana. Kritik berubah menjadi kecaman tatkala status Hasya berubah menjadi tersangka. Kepolisian Daerah Metro Jaya kemudian menanggapi kritik tersebut dengan membentuk tim pencari fakta gabungan yang beranggotakan personel kepolisian dan para pakar, membuka kembali penyelidikan kasus, serta menggelar rekonstruksi ulang pada 2 Februari 2023.
Walau dianggap sebagai jawaban atas kritik masyarakat, kebiasaan membentuk tim gabungan seperti ini tidak boleh menjadi praktik yang terus dibudayakan. Sebabnya, pembentukan tim gabungan sesungguhnya merupakan bukti betapa tidak dipercayanya proses hukum di kepolisian. Kalau sedari awal penyelidikan dan penyidikan kasus ini dilaksanakan secara objektif, adil, dan transparan, kejanggalan demi kejanggalan tidak akan terjadi.
Sekalipun melibatkan personel ataupun pensiunan Korps Bhayangkara, polisi harus bisa bersikap objektif dalam menangani setiap kasus. Salah satu adegan dalam rekonstruksi kedua yang memperlihatkan Eko tidak langsung mengevakuasi korban ke rumah sakit dan memilih menunggu ambulans yang baru datang sekitar 30 menit kemudian, dapat menjadi pintu masuk untuk menyelidiki ulang kasus ini. Patut didalami apakah ada unsur pembiaran dalam peristiwa tersebut.
Tambal sulam dalam penyidikan kasus kecelakaan Hasya memperlihatkan polisi masih belum profesional dalam menangani perkara. Apalagi jika kasus tersebut melibatkan personel atau pensiunan Polri sehingga penyidik terkesan berat sebelah. Maju-mundurnya penyidikan, keterangan yang berubah-ubah, dan rekayasa kasus menjadi modus yang lazim dipertontonkan polisi.
Banyak yang berharap terbongkarnya pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat oleh Inspektur Jenderal Ferdy Sambo dan upaya merekayasanya adalah titik balik polisi menjadi aparat penegak hukum yang profesional. Tapi sepertinya kita harus menunggu lebih lama lagi hingga harapan itu terwujud.