Editorial Tempo.co
---
PEMERINTAH seharusnya tidak asal memenuhi usulan operator jalan tol untuk menaikkan tarif 15 ruas jalan tol di Jakarta dan sebagian Trans pada bulan ini. Langkah itu hanya akan terus memanjakan para pebisnis jalan tol, dan mengabaikan hak masyarakat sebagai konsumen.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat boleh berdalih kenaikan ini sudah diatur dalam Undang-Undang tentang tentang Jalan. Pasal 48 ayat 3 undang-undang itu menyebutkan evaluasi dan penyesuaian tarif tol dilakukan tiap dua tahun sekali berdasarkan pengaruh laju inflasi dan evaluasi pemenuhan standar pelayanan minimal (SPM).
Namun seperti tahun-tahun sebelumnya, operator selalu menagih kenaikan tarif, namun mendadak lupa ketika ditagih soal kewajiban pemenuhan SPM. Dalam urusan ini pemerintah seharusnya berdiri di belakangan masyarakat konsumen jalan tol. Bukan sebaliknya, gelap mata membela kepentingan cuan pebisnis jalan tol.
Ada banyak bukti operator tak pernah peduli dengan SPM jalan tol. Operator misalnya diwajibkan menjaga kondisi jalan agar tidak berlubang, retak, atau tidak rata sampai miring. Jika terjadi kerusakan, durasi perbaikannya maksimal 1-2 pekan.
Tapi nyatanya, bopeng-bopeng jalan itu kerap tak pernah diperbaiki. Bolong-bolong di jalan tol Jakarta-Merak, misalnya, hingga hari ini seperti lubang bekas jerawat. Kondisi jalan ini pada akhirnya menjadi salah satu penyebab kecelakaan. Catatan Badan Pengatur Jalan Tol, dari 3.988 kecelakaan di jalan tol selama 2021, 30 persen karena faktor prasarana dan lingkungan.
Salah satu korbannya Febi Khairunnisa, 21 tahun. Pada Januari 2022, Febi tewas dalam kecelakaan. Mobilnya terbalik karena menghindari lubang Tol Palembang-Lampung. Banyak pengguna jalan tol ini sebelumnya telah mengeluhkan lubang-lubang itu, tapi tak pernah digubris oleh pengelola, Waskita Toll Road, sampai akhirnya Febi lepas nyawanya. Tak ada hukuman bagi pengelola.
Memang ada peran kendaraan obesitas yang merusak jalan tersebut. Di sinilah peran operator dan pemerintah untuk tegas melarang mereka lewat. Bukan malah dijadikan alasan sebagai perusak jalan, sehingga minta lepas tangan ketika ada kecelakaan gara-gara jalan buruk.
Rutinitas kenaikan tarif tol ini juga sebagai bentuk aturan yang usang. Dengan model bisnis yang sudah maju, sudah seharusnya tarif tol tidak naik setiap dua tahun, bahkan harusnya lama-lama jadi turun.
Selama ini, penentuan tarif tol dipakai sebagai instrumen pengembalian investasi. Semakin mahal biaya pembangunan, semakin tinggi tarif. Jika tarifnya dirasa kemahalan, waktu konsesinya yang dipanjangkan.
Mestinya seiring berjalannya waktu, beban modal dan bunga tinggi yang ditanggung investor di awal itu sudah berkurang. Ketika lalu lintas jalan telah ramai, investor tinggal menggaruk keuntungan—yang tentu tak boleh banyak-banyak.
Skema tarif seperti inilah yang kini berjalan di ekosistem listrik energi baru terbarukan. Harga jual listrik di tahun-tahun pertama akan sangat tinggi. Tapi di tahun-tahun setelahnya terus turun karena biaya modal investor sudah kembali.
Jika untuk membiayai pemeliharaan saja harus minta naik tarif, sudah saatnya klaim hitung-hitungan operator dibuka saja ke publik—jika pemerintah tak mampu atau tak mau menghitungnya dengan jujur. Karena sudah jadi rumus umum, pertumbuhan lalu lintas pengguna jalan tol akan selalu lebih tinggi dibanding inflasi. Itulah sebabnya jalan tol tak ubahnya mesin pencetak uang bagi pengelolanya. Kecuali jika yang lewat cuma gajah seperti di tol Sumatera yang tidak layak secara komersial sejak awal.
Pasal 48 Undang-Undang tentang Jalan mengatur, jika tingkat kelayakan finansial jalan tol pada masa operasi melebih ketetapan pemerintah, maka rejeki nomplok itu jadi penerimaan negara bukan pajak, yang akan digunakan untuk pengembangan jaringan jalan tol lainnya. Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) punya kewenangan memeriksa potensi kelebihan keuntungan oleh para operator ini. Sayangnya kita tak pernah mendengar pemeriksaan itu, atau hasilnya. Yang lebih sering kita dengan adalah rengekan operator minta kenaikan tarif dan anggukan pemerintah memenuhinya.